Nafas Kapitalisasi Nodai Proses Ibadah Haji
Wacana kenaikan ongkos ibadah haji yang diusulkan oleh kementrian agama menimbulkan perdebatan. Pasalnya, Pemerintah Arab Saudi menurunkan biaya haji hingga 30 persen dibanding tahun 2022 yang lalu. Hadirnya nafas kapitalisasi ikut menodai proses ibadah haji , adanya wacana kenaikan ongkos haji kian kentara cengkraman kapitalis dalam tata kelola biaya ibadah haji yang kian melangit, tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Saw, untuk tidak mempersulit urusan orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang menyulitkan (orang lain) maka Allah akan mempersulitnya para hari Kiamat.” (HR Al-Bukhari )
Bukan hanya menimbulkan perdebatan ditengah masyarakat, namun wacana kenaikan biaya haji ini pun disorot oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI bertanya-tanya alasan biaya haji naik setinggi itu. Tidak tanggung-tanggung, biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditanggung setiap jemaah diusulkan naik dari Rp 39 juta menjadi Rp 69 juta. Tidak heran semua ini mendapat sorotan dan kritikan tajam semua kalangan.
Melansir media CNN.Indonesia, Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerjanya bahwa pemerintah mengusulkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah sebesar Rp98.893.909, naik sekitar Rp514 ribu dengan komposisi Bipih Rp69.193.733 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 persen. Wacana kenaikan akan dibagi beban pembiayaannya dengan skema 70-30 persen. Sebesar 70 persen atau Rp 69 juta dibebankan kepada jemaah, sementara 30 persennya atau Rp 29,7 juta ditanggung pemerintah melalui dana subsidi.
Dengan demikian biaya haji tahun ini melonjak drastis hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta. Menag menyatakan bahwa kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.
Menyoroti tingginya biaya haji menjadi pertanyaan dan silang pendapat. Ada yang menilai kenaikan tersebut sebuah kewajaran jika diiringi dengan peningkatan kualitas dalam pelayanan. Namun tidak sedikit komentar negatif ditengah tingginya keinginan kaum muslim untuk melaksanakan ibadah haji.
Pengelolaan ibadah haji yang seharusnya dipermudah justru menjadi sulit akibat tingginya biaya yang harus dikeluarkan, hal ini disebabkan diterapkanya sistem ekonomi kapitalis, yang berorientasi pada keuntungan dan manfaat semata. Pengelolaan ibadah haji atas prinsip bisnis membuat hati miris karena pastinya akan menimbulkan konflik ditengah tingginya antusiasme kaum muslim untuk menunaikan salah satu rukun Islam secara maksimal.
Pemerintah sebagai pengelola ibadah haji harus bisa mengurai masalah yang terjadi, seperti masalah panjangnya antrean calon jamaah yang akan berangkat. Dengan menyediakan quota yang realistis, panjangnya antrean setiap tahunnya dikarenakan pemerintah terus menerima setoran dana awal jemaah, memudahkan setoran tanpa mempertimbangkan dan memperhitungkan dampaknya yaitu akan terjadin antrean hingga puluhan tahun.
Negeri mayoritas muslim merupakan lahan subur bagi para kapitalis meraih untung, tak terkecuali pengelolaan ibadah sekalipun tidak lepas dijadikan lahan bisnis yang manis bagi kapitalis. Bagaimana tidak, urusan kaum muslim akan jadi bahan perhatian dan pengurusan penguasa manakala mendatangkan keuntungan materi meski harus dengan cara zalim.
Pemerintah yang seharusnya melayani rakyatnya, justru berperan layaknya pengusaha, keberadaan rakyat yang dipimpinya, pelayanan terhadap rakyat dijadikan komersialisasi, segala sesuatu diperhitungkan untung ruginya. Urusan ibadah sekalipun dijadikan sebagai ladang untuk mendapat keuntungan duniawi, sehingga harus dibayar dengan harga tinggi.
Solusi Atasi Pengelolaan Ibadah Haji
Dalam Islam pengurusan ibadah haji bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Para jemaah haji dilayani dengan sebaik – baiknya tanpa unsur bisnis, semua dilakukan dengan prinsip riayah ( pengurusan ). Dalam sistem pemerintahan Islam, negeri-negeri muslim adalah sebuah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam penyelenggaraan haji tidak boleh ada komersialisasi oleh pihak mana pun apalagi pemerintah sebagai pelayan rakyat. Tanah Haram merupakan tanah seluruh kaum muslim yang menjadi tujuan dalam melakukan ibadah haji yang tidak boleh dikomersilkan.
Dalam sistem Islam, keberadaan khalifah sebagai pemimpin akan mengelola ibadah haji dengan sebaik – baiknya, yang dilakukan oleh orang yang bertaqwa dan cakap dalam memimpin. Negara akan menentukan biaya ibadah haji sesuai kebutuhan jamaah selama melaksanakan ibadah haji, beserta dengan akomodasi selama di Tanah Suci hingga kembali pulang ke Tanah Air.
Pembangunan sarana dan prasarana akan dilakukan khalifah, untuk kelancaran, kemudahan, kemanan, kenyamanan dan ketertiban. Faktor yang akan mendatangkan gangguan apalagi menghalangi ibadah haji akan dihilangkan.
Semua dilakukan dengan prinsip pelayanan ( riayah ) bukan bersifat bisnis seperti kapitalis yang mencari keuntungan materi dari jamaah. Tidak adanya kesatuan kepemimpinan hari ini membuat pengelolaan ibadah haji semrawut, sering terjadi konflik seperti pembagian kuota, tiket katering, hotel yang dikomersilkan dan sebagainya.
Khilafah merupakan identitas seorang muslim, yang wajib diwujudkan dalam sebuah kepemimpinan umum dan menerapkan seluruh syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan yang akan mampu menjaga rukun Islam serta penjagaan terhadap aturan lainnya secara sempurna. Hanya dengan sistem Islam segala aktifitas atas spirit pelayanan terhafap umat bukan spirit bisnis dan keuntungan.
Wallahu a’lam
Komentar