Ironis, Bersuka Cita Diatas Penderitaan Rakyat Gempa Cianjur

Oleh : Khadijah An-Najm

Dikutip dari bnpb.go.id, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperbarui data total 327 orang meninggal dunia akibat gempa di Cianjur, Jawa Barat. Jumlah korban tersebut terhitung hingga Selasa (29-11-2022).

Kepala BNPB Suharyanto menyebut, jumlah pengungsi sampai Selasa (29-11-2022) mencapai 108.720 orang yang tersebar di 39.985 titik pengungsian.

Cianjur memang dikenal sebagai daerah rawan gempa dan dilalui sesar Cimandiri, yaitu patahan geser aktif sepanjang 100 kilometer. Sesar ini memanjang dari muara Sungai Cimandiri di Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi, hingga timur laut melewati Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat hingga Kabupaten Subang.

Ditengah penanganan dan periayahan masyarakat Cianjur yang belum usai, ternyata pemerintah mengadakan acara besar. Tidak tanggung-tanggung acara ini diadakan di kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Acara yang bertajuk Nusantara Bersatu ini dihadiri 150 ribu relawan Presiden Joko Widodo ini menghasilkan puluhan ton sampah, Sabtu (26/11/2022).

Seperti dilansir Tribunnews.com, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan 500 personil untuk membersihkan sampah dan mencatat sampah yang berhasil dikumpulkan di sekitar kawasan GBK mencapai 31 ton.

Sungguh ini sebuah ironi. Ini menunjukkan minimnya empati penguasa terhadap rakyat khususnya korban gemba Cianjur. Tidak selayaknya seorang penguasa bersuka cita apapun alasannya, sementara rakyat Cianjur sedang berduka. Bahkan Nusantara hakikatnya tengah berduka dengan musibah gempa Cianjur dan bencana banjir yang terus melanda.

Apalagi acara Nusantara bersatu ini sebenarnya merupakan unjuk kekuatan demi kontestasi politik 2024. Bukankah dalam undang-undang sudah ada batasan bahwa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode. Untuk apa lagi menggalang opini dan kekuatan sementara aturan mainnya sudah ada. Bukankah penguasa memang secara undang-undang harus mengakhiri masa jabatannya di tahun 2024.

Sungguh Acara Nusantara Bersatu semakin membuka mata kita. Bahwa penguasa dalam sistem demokrasi memang bukanlah menjabat demi kesejahteraan rakyat. Penguasa dalam sistem demokrasi tidak lain mengabdi demi kepentingan politik partai pengusung dan golongannya. Rakyat sedang menderita akan tetapi penguasa justru bersuka cita bertemu dengan relawannya.

Sungguh ini sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem islam. Penguasa benar-benar hadir dan meriayah rakyat dengan sepenuh hati. Kita sering mendengar bagaimana Amirul mukminin Umar bin Khattab
di tengah bencana kelaparan Yang mendera, Khalifah Umar bin Khattab justru menahan diri tidak mau makan enak.

Pada tahun ke 18 hijrah kekeringan dan kelaparan parah sempat terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad. Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya. Saat itu, Khalifah Umar sendiri yang mengangkut gandum mengantarkan kepada rakyatnya yang membutuhkan.

Sungguh umat merindukan pemimpin yang amanah. Pemimpin seperti ini hanya ada dalam sistem islam, pemimpin amanah dan peduli nasib rakyat.

 

Wallahu alam.

Artikel Lainnya

Tanggung Jawab Pemerintah Lemah

Sistem kehidupan sekuler hanya mencetak pemerintah yang terbiasa melakukan kelalaian, kelalaian pemerintah sudah menjadi karakter dan sifat bawaan rezim sistem politik demokrasi.

Berbeda dengan Islam, Rasulullah Saw menegaskan yang artinya _”Imam atau khalifah yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya”_ (HR. al-Bukhari).

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *