Tata Kelola Pertanian untuk Ketahanan Pangan
Ketua umum Serikat Petani Indonesia atau SPI Hendri Saragih menyebutkan persoalan pupuk menjadi hal penting dalam memastikan ketersediaan dan ketahanan pangan. (cnbcindonesia.com, 19/11/2022)
Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini Petani dalam negeri dihadapkan pada persoalan mahalnya harga pupuk non subsidi dan terbatasnya ketersediaan pupuk subsidi.
Serikat Petani Indonesia mencatat harga pupuk non subsidi melonjak 100% sejak awal 2022. (cnbcindonesia.com, 19/11/2022)
Kepala pusat pengkajian dan penerapan Agro ekologi SPI Muhammad qomaru Najmi mengatakan, kenaikan ini dikarenakan peningkatan harga bahan baku produksi terutama gas alam dan permintaan di samping itu harga pupuk di pasar internasional juga mengalami kenaikan sebagai dampak kondisi perang Rusia Ukraina.
Inilah yang menjadi alasan utama pemerintah melakukan pembatasan produksi pupuk bersubsidi, adanya pembatasan produksi dan distribusi pupuk subsidi memaksa petani memikirkan opsi dengan menggunakan pupuk organik.
Serikat Petani Indonesia pun mengharapkan ada sokongan pemerintah untuk memastikan ketersediaan pupuk sekaligus mendorong pengembangan pupuk organik di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi.
Namun sayang, yang terjadi di lapangan tidak banyak petani yang berpengetahuan tentang produksi pupuk organik, semua keadaan ini berdampak pada kerugian yang dialami petani, hingga berujung pada berkurangnya produksi pangan dalam negeri, impor bahan pangan pun tak terelakkan bukan karena tidak adanya potensi sumber daya alam dan manusia dalam negeri akan tetapi akibat salah tata kelola negara dalam bidang pertanian demi terwujudnya ketahanan pangan.
Persoalan pupuk sejatinya hanya persoalan cabang yang berakar pada sistem tata kelola pertanian yang buruk yaitu kapitalisme neo liberal, mengakibatkan minimnya kepemilikan lahan, keterbatasan modal, lemahnya penguasaan teknologi, hingga lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen.
Sistem ini telah memikirkan peran Negara hanya sebagai regulator sementara operator diserahkan kepada korporasi.
Bahkan bobroknya sistem ekonomi kapitalisme yang mengizinkan kebebasan secara mutlak, menciptakan kapitalisasi korporasi pangan yang terus menggurita sistem tata kelola inilah yang menyebabkan ketimpangan kepemilikan aset, penguasaan rantai produksi distribusi pangan hingga kendali harga pangan oleh korporasi raksasa.
Sementara pemerintah, ibarat wasit yang juga cenderung berpihak pada korporasi, sebagai contoh akses terhadap sarana produksi pertanian atau saprotan yang murah dan berkualitas masih menjadi angan-angan petani, hingga saat ini pengadaan benih pupuk pestisida dan sarana lainnya masih dalam dominasi korporasi, bahkan selain mahalnya mendapatkan benih berkualitas dan unggul, benih-benih introduksi korporasi juga berhasil menciptakan ketergantungan petani, hingga menghilangkan benih-benih varietas lokal.
Paradigma dan konsep batilnya liberal kapitalisme sangat berbeda dengan Islam, aturan Islam yang berdasarkan Alquran dan Sunnah telah terjamin kesohihannya dan teruji kemampuannya untuk menyelesaikan problematik manusia selama kurang lebih 1300 tahun.
Konsep pertanian Islam pun berhasil mewujudkan ketahanan pangan dan menyejahterakan rakyat termasuk petani di bawah institusi Islam.
Khilafah Islamiyah Islam menetapkan bahwa pengaturan pertanian wajib berada dalam tanggung jawab negara atau Khilafah, mulai dari hulu hingga Hilir sebab negara adalah roin dan junnah bagi rakyat, sebagaimana sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam Imam atau khalifah adalah roin atau pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.
Hadits riwayat Ahmad Bukhari hadis tersebut menunjukkan bahwa negara adalah penanggung jawab semua urusan rakyat dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain apalagi korporasi.
Negara diharamkan membisniskan pelayanannya kepada rakyat, pertanian wajib dikelola berdasarkan prinsip syariat Islam. Pengaturan pertanian Islam ini akan mewujudkan dua hal sekaligus yaitu ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
Dalam aspek produksi, Khilafah akan mengambil kebijakan pertama menjalankan hukum pertanahan Islam. Islam memandang asas dari pertanian adalah lahan, ketika lahan dikelola dengan hukum yang shahih maka semua problem seputar tanah akan terselesaikan.
Islam menetapkan kepemilikan lahan pertanian sejalan dengan pengelolaannya, bagi siapa saja yang mampu mengelolanya maka dia berhak memiliki lahan seluas apapun. Namun bagi yang tidak mampu, lemah dan malas memproduktifkannya, maka hilanglah kepemilikannya.
Hal ini terlihat pada tiga hukum terkait lahan yaitu hukum menghidupkan tanah mati, larangan menelantarkan lahan lebih dari 3 tahun dan larangan menyewakan lahan pertanian.
Hukum ini menjamin terdistribusinya lahan kepada orang yang mampu mengelolanya dan akan terhindar dari banyaknya lahan-lahan yang menganggur.
kedua, dukungan penuh terhadap upaya memaksimalkan pengelolaan lahan karena lahan pertanian tidak boleh ditelantarkan, maka Khilafah akan memberikan berbagai bantuan kepada petani, seperti saprodi, infrastruktur penunjang, modal, teknologi dan sebagainya, untuk memaksimalkan pengelolaan lahan.
Ketiga, mendorong pelaksanaan riset untuk menghasilkan bibit unggul dan berbagai teknologi dan inovasi yang dibutuhkan petani, semua riset yang dilakukan berada di bawah pengaturan khilafah dan anggarannya ditanggung Baitul Mal.
Produk yang dihasilkan akan ditujukan bagi kemaslahatan petani, bahkan untuk petani yang tidak mampu bisa dibagikan secara gratis.
Alhasil produk pertanian dalam negeri akan mencukupi kebutuhan seluruh rakyat. Oleh karena itu, ketahanan pangan hanya bisa terwujud jika pertanian dikelola dengan aturan Islam di bawah sistem politik Khilafah.
Komentar