Mei Ling
Gadis bermata sipit usia 20 tahun itu telah siap. Ia duduk bersimpuh dengan celana soft jeans hitam dan baju panjang warna merah muda. Wajahnya nampak tenang. Gadis dengan tinggi 160 cm itu telah mantap akan pilihannya.
Mei Ling, itulah namanya. Ia akrab dipanggil Mei. Nampak seorang perempuan muda berkerudung navy mengulurkan tangan di depan Mei. Mei langsung menyambut uluran tangan tersebut.
“Mei Ling, tolong ikuti semua yang saya ucapkan,” kata perempuan itu.
Mei mengangguk tanda setuju. Disaksikan belasan pasang mata, Mei secara perlahan mengikuti semua yang diucapkan perempuan yang ada di depannya, yang bernama Nabila. Tak lama kemudian ada suara tangis yang terdengar dari mulut beberapa pasang mata yang mengamati keduanya.
“Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah,” begitulah ucap Mei setelah sebelumnya mengucapkan basmalah.
Mei Ling, mahasiswi semester 5 jurusan tata boga asal kota Paris Van Java. Kini telah menjadi seorang muslimah. Mei segera mendapatkan pelukan hangat dari Kak Nabila. Diikuti dengan belasan pelukan dari mahasiswi lain yang ada di dalam masjid Al Kautsar. Tangis haru Mei pecah hal itu menambah haru suasana pada pagi itu.
Inilah hasil perjuangan Mei sejak 2 tahun terakhir. Ia memutuskan menjadi muslimah setelah banyak melakukan diskusi dengan muslimah shalihah seperti kak Nabila dan juga yang lainnya. Diawali dengan rasa penasaran mengapa muslimah harus berhijab, ternyata menjadi pengantar hidayah Allah datang kepadanya.
Usai mengucapkan syahadat, Mei lantas belajar untuk menutup aurat, melaksanakan shalat dan membaca huruf hijaiyah. Semangat Mei untuk mempelajari Islam tetap terjaga lantaran kini ia memilih untuk tinggal di “Rubin” atau rumah binaan yang diasuh oleh kak Nabila.
Mei senang karena keberadaannya sangat diterima. Mei merasa sangat terbantu ketika ia menghadapi masalah untuk mempelajari Islam. Hati Mei sangat tenang berkumpul bersama orang-orang yang beriman. Hingga suatu hari, kak Nabila mengatakan hal yang membuat cemas dirinya.
“Mei, kapan kamu pulang? Apakah kau tidak rindu kepada keluargamu?” Ucap Kak Nabila.
Mei hanya diam. Ia ingat bahwa sudah 4 bulan ia tak pulang sejak ia menjadi muslimah. Meski komunikasi tetap berjalan, namun keluarga Mei belum mengetahui ia telah menjadi mualaf.
Ia belum siap untuk bertemu dengan kerudung dan gamis yang ia gunakan sekarang. Ia pun selalu beralasan kepada keluarganya jika mereka meminta Mei pulang. Ia mengatakan bahwa tugas kuliah telah membuatnya sibuk hingga tidak dapat pulang.
Sabtu sore itu, tepat 120 hari sejak Mei menjadi muslimah, ia pergi bersama kak Nabila untuk mengikuti sebuah kajian. Kajian remaja Islam yang diisi oleh kak Nabila sendiri.
Nampak sebuah masjid berwarna putih tempat acara tersebut berada di samping klenteng berwarna merah. Mei memandang ke arah klenteng, tempat ibadah sebelum ia masuk Islam.
Namun, tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Seorang pemuda berbaju seragam SMA bermata sipit berlari menghampiri dirinya.
“Kak Mei, ini Ling Chen. Kakak kapan pulang? Kenapa pakaian kakak seperti ini?”, tanya pemuda itu.
“Maaf, Chen. Kakak belum bisa pulang sekarang. Tolong kamu jangan bilang ke Mama dan Papa tentang ini ya,” pinta Mei.
Adiknya hanya mengangguk. Ia dari dulu memang patuh kepada Mei. Sebab Mei selalu ada untuknya. Tidak seperti Mama dan Papa yang selalu sibuk dengan urusan bisnisnya.
Mei lantas memasuki masjid menyusul kak Nabila. Sedangkan Chen kembali ke rombongan sekolah. Rupanya sekolah Chen mengadakan tour ke klenteng di kota Hujan, tempat Mei kuliah.
Pertemuan Mei dan Chen kala itu berlanjut dengan pesan dari aplikasi gawai keduanya. Chen banyak bertanya kepada Mei mengapa ia memutuskan berpindah keyakinan. Bahkan ketika keduanya luang, mereka tak segan telepon karena Chen ingin tahu lebih jauh apa itu Islam.
Komentar