Persoalan Umat: Lemahnya Berpikir Benar
Menjelang pemilihan hari ini, suasana kian memanas. Tak hanya para kontestan, terlebih saat KPU telah menetapkan ada 18 partai politik pemilu yang resmi terdaftar, sedangkan 6 gugur. Ke-18 partai ini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI resmi dinyatakan lolos verifikasi administrasi dan perbaikan berkas administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024 lewat pengumuman Nomor 9/PL.01.1-Pu/05/2022.
Nyatanya, rakyat pun ikut memanas, terutama mereka yang konsisten membentuk kelompok atau gerakan pendukung salah satu partai. Saking panasnya, hingga tak ada lagi ruang diskusi, reaksioner dan tega memutus tali silahturahmi hanya karena beda pendapat atau prinsip. Padahal seakidah. Jika bergabung dalam grup, dengan tanpa pemberitahuan akan didepak. Sekejam itulah dampaknya.
Dalam sebuah diskusi mengenai hal ini, ternyata sikap yang demikian menandakan ada kemunduran berpikir yang sangat memprihatinkan. Ibarat sumbu pendek, gampang terbakar, pragmatis dan opportunitis. Padahal sikap yang demikian tak ada dalam Islam.
Sikap kaum Muslim yang demikian bukanlah tanpa sebab, karena sesungguhnya setiap perilaku manusia akan selalu didasari dari apa yang ia pahami. Adalah wajar jika langkah perjuangan menumpas kezaliman akibat penerapan sistem batil ini memunculkan beragam langkah. Ada yang sepakat menggunakan perangkat dalam sistem ini, parlemen dan ada yang berjuang menghimpun kekuatan sendiri di luar parlemen. Keduanya memiliki landasan berfikir, dan alangkah bijak jika bisa duduk bersama mendiskusikannya sebelum muncul stigma “ Nggembosi” ( mengeluarkan angin dalam sebuah ban hingga kosong=bahasa Jawa). Dan menganggap mereka yang memiliki di luar parlemen bukan berjuang.
Dalam pandangan Islam, proses berpikir di awali dengan fakta, dirasa oleh panca Indra, maklumat tsabiqot (informasi terdahulu dari fakta) kemudian akal untuk meribat ( mengaitkan) menjadi sebuah pemahaman. Jika maklumatnya negatif maka hasil dari proses berpikir akan negatif. Sebaliknya bila positif maka akan menghasilkan pemahaman positif. Dan tidak ada maklumat tsabiqot yang shahih selain bersumber dari Qur’an dan As Sunnah. Banyak dalil yang menegaskan hal demikian seperti firman Allah SWT,” Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” [ QS al-Baqarah :2).
Akibatnya, banyak kaum Muslim meskipun identitasnya Islam namun tak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam karena cara berpikirnya belum benar. Ia masih banyak terkooptasi dengan sistem hari ini, yaitu demokrasi. Padahal, demokrasi baik secara teori maupun praktik tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan tak ada yang bisa menunjukkan seberapa sempurna demokrasi saat menjadi sistem kehidupan yang menyelesaikan banyak persoalan manusia.
Seringkali demokrasi disamakan dengan asas musyawarah mufakat dalam Islam. Jelas ini pembelokan kebenaran, Islam tidak pernah memusyawarahkan apa yang sudah jelas dilarang seperti zina, khamar, riba dan lainnya. Maka, tak perlu ada sidang lagi yang memusyawarahkan untuk mencapai mufakat apakah hukumnya boleh atau tidak, haram haram sebaliknya halal halal. Musyawarah hanya ada pada ranah mubah, atau boleh. Misal, apakah berangkat ke Monas dari Surabaya menggunakan bus atau kereta api?
Wajar demikian, sebab demokrasi asasnya saja sekuler, meniadakan campur tangan agama dalam menentukan salah-benar, baik-buruk, terpuji dan tercela. Maka jika ada yang mengatakan hendak menegakkan syariat dengan terlebih dulu menempuh jalan demokrasi untuk mewujudkan maka selamanya tidak akan terwujud. Justru inilah tindakan mencampur adukkan Haq dan yang batil, yang itu diharamkan oleh Allah SWT.
Sepanjang sejarah Rasulullah tidak pernah tergiur bergabung dengan pemerintahan resmi saat itu, meskipun pamannya, Abu Talib, adalah salah satu tokoh di Mekkah yang disegani. Pun ketika para pemuka Thaif yang memberi Rasulullah kompromi, mereka mau tunduk patuh pada Rasulullah sebagai pemimpin ,asalkan membiarkan mereka 2 tahun membiarkan berhala-berhala mereka tetap untuk disembah.
Atau apa yang disodorkan para petinggi Quraisy tak kalah menarik hati, Utbah bin Rabi’ah, salah seorang pemuka Quraisy berkata kepada Rasulullah Saw, ”Wahai anak saudaraku, jika engkau menginginkan harta kekayaan sebagai pengganti apa yang engkau bawa ini (Islam), maka kami siap menghimpun harta kami untukmu. Jika engkau ingin kedudukan, maka kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami. Jika engkau ingin kerajaan, maka kami siap mengangkatmu sebagai raja kami.”
Dengan jawaban yang masyhur inilah Rasulullah Saw menjawab,”Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya.’’
Iitiba ( mengikuti) Rasulullah tidak sekadar memuji dan bershalawat untuk beliau namun juga mempelajari apa saja aktifitas beliau untuk Islam ,bagaimana teguhnya beliau menjalani proses menuju tegaknya Islam. Dengan demikian, menjadi keharusan bagi kaum Muslim hari ini untuk mengkaji Islam secara Kaffah. Tidak hanya mencukupkan pada kajian yang berhubungan dengan dirinya saja, seperti ibadah, nafsiyah dan yang lainnya, jika ranah belajar hal itu sangat diperbolehkan. Namun di sisi lain kaum Muslim juga harus belajar bagaimana Islam mengatur ekonomi, politik, pemerintahan, kesehatan, keamanan, pendidikan dan lain sebagainya. Agar, dalam benaknya kaya akan maklumat tsabiqot yang shahih sehingga bisa menyikapi setiap kerusakan yang diakibatkan sistem batil. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar