Bencana Alam Bertubi-tubi, Reaksi Penguasa Tanpa Evaluasi
Suara Netizen Indosia–Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Penggalan syair lagu karya musisi kawakan Ebit G.Ade di tahun 1996 ini kiranya bisa menggambarkan kondisi negeri ini beberapa minggu terakhir. Bencana bertubi-tubi, dan belum ada evaluasi berarti yang berujung solusi.
Banjir, longsor, hingga puting beliung di beberapa daerah menjadikan BNPB dan BPBD mengalami kesulitan proses evakuasi akibat terkendala cuaca, medan dan keterbatasan tim berakibat banyak korban dari warga terdampak bencana.
DEPUTI Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Budi Irawan, memastikan penanganan tanggap darurat tanah longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang saat ini masih menyisakan korban hilang.
Presiden Prabowo menginstruksikan dilakukan percepatan penanganan. Untuk itu, dalam rapat koordinasi bersama Pemerintah Kabupaten Cilacap itu, Budi memastikan pengerahan 512 personel petugas gabungan melibatkan Basarnas, BPBD, TNI, Polri, Tagana dan berbagai organisasi relawan lainnya (mediaindonesia.com,15-11-2025).
Selain itu, BNPB juga menambah jumlah alat berat menjadi delapan unit dan menurunkan anjing pelacak (K9) untuk mempercepat pencarian korban tanah longsor yang melanda Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap ini, data terakhir dari posko darurat BNPB mengkonfirmasi masih ada 20 orang korban hilang dalam pencarian.
Di Desa Pandanarum, Banjarnegara, Jawa Tengah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara juga memperkirakan masih ada 27 warga tertimbun tanah longsor. Sebelumnya, Tim SAR gabungan telah berhasil mengevakuasi 34 orang dari kawasan hutan di sekitar longsoran (CNNIndonesia.com, 17-11-2025).
Pemkab Banjarnegara menetapkan Status Siaga Darurat Bencana Tanah Longsor, Angin Kencang, Cuaca Ekstrem, dan Banjir berdasarkan Keputusan Bupati Banjarnegara Nomor 300.2/871/TAHUN 2025 yang berlaku sejak 28 Oktober 2025 hingga 31 Mei 2026. Diduga pemicu longsornya tebing yang menimpa area persawahan dan perkebunan itu karena derasnya hujan dan kondisi tanah labil.
Indra Permanajati, pakar geologi Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, mengatakan longsor yang terjadi di Pandanarum hampir sama dengan di Cibeunying. Yaitu akibat adanya pelapukan batuan breksi yang merupakan jenis batuan sedimen, karena tebingnya sangat terjal dan pengaruh gaya gravitaI membuat luncuran lebih cepat. Hanya faktor pemicu longsor yang sedikit berbeda, di Pandanarum karena tebing terjal, sedangkan di Majenang karena tinggi air tanah dan curah hujan dari kawasan hutan mempercepat pergerakan tanah (mongabay.co.id, 19-11-2025).
Berbagai Bencana Mendera, Penanganan Lamban dan Insidental
Bencana alam memang tak bisa dipresdiksi kapan terjadinya, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan mitigasi atau upaya pencegahan agar dampaknya tidak terlalu buruk. Apalagi untuk bencana musiman seperti banjir dan tanah longsor. Namun, setiap tahun tetap saja memakan banyak korban, dan area terdampak kian meluas. Tentu hal ini akibat adanya kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan.
Tak ada evaluasi berarti yang berujung pada solusi efektif. Rakyat terus menjadi obyek penderita, padahal pajak selalu tertunaikan, lantas kemana kalimat ” Pajak untuk pembangunan”? Semestinya mitigasi bencana masuk dalam pembicaraan penguasa di tingkat nasional maupun daerah. Karena pembangunan yang dibiayai pajak bukan hanya gedung menjulang, bandara atau gedung pelayanan publik yang megah, tapi nasib rakyat setiap kali terjadi bencana bagaimana mengupayakan tindakan preventif dan kuratifnya.
Namun inilah fakta yang harus kita telan mentah-mentah. Bukan karena Tuhan sudah bosan dengan tingkah kita yang bangga dengan dosa atau alam mulai bosan tapi karena penanganan bencana lamban. Yang menunjukan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif, baik pada tataran individu, masyarakat dan negara.
Pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana. Dan inilah wajah kapitalisme yang diterapkan di negara ini. Mengurusi rakyat adalah bagian dari proyek, dana APBN yang dialokasikan untuk bencana, tidak serta merta dikeluarkan untuk tujuan sebenarnya, sebab ada pihak yang mengitung untung rugi jika berurusan dengan rakyat.
Pemanfaat ahli lingkungan, insinyur dan beberapa ahli terkait mitigasi berkelanjutan sebetulnya bisa dimanfaatkan oleh negara, kontribusi mereka nyatanya dibatasi oleh syahwat pejabat yang lebih memilih pencitraan daripada turun gunung mendengarkan keluh kesah rakyatnya.
Kita pun masih ingat, bagaimana ketika bencana Covid-19 menyerang, harga masker dan sanitizer melonjak, namun ternyata ada saja pejabat yang tega berbisnis barang penunjang kesehatan itu. Begitu pula dengan vaksin, sejak dari produksinya, siapa pihak yang boleh memiliki hak paten hingga jaring distribusinya.
Tahun 2025 ini, DIPA anggaran BNPB 2025 senilai Rp1,427 triliun. Namun setelah rapat rekonstruksi anggaran pada maka anggaran BNPB mendapat efisiensi Rp470,9 miliar sehingga yang tersisa senilai Rp956,67 miliar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) siap memaksimalkan pemanfaatan anggaran tahun 2025 hasil akhir setelah dilakukan efisiensi berjumlah senilai Rp956,67miliar untuk program prioritas yang salah satunya mengenai ketahanan bencana. Suharyanto menjabarkan bahwa sebelumnya (antaranews.com, 13-2-2025).
Kepala BNPB Suharyanto seusai Rapat Kerja Penyesuaian Anggaran Rekonstruksi Tahun 2025 bersama anggota Komisi VIII DPR RI mengatakan untuk pelayanan publik atau masyarakat terdampak bencana tetap bisa bisa dilaksanakan secara maksimal, meski ada efisiensi karena yang diefisiensikan itu adalah pelaksanaan tugas yang bersifat rutin di kantor pusat.
Mitigasi mencakup upaya fisik dan non-fisik untuk mengurangi risiko bencana, seperti pembangunan infrastruktur tahan bencana, penataan ruang, dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi dan pendidikan. Maka butuh upaya yang terstruktur dan berkelanjutan.
Dan memang itu bukan tanpa kendala, apalagi dalam Sistem Kapitalisme dimana amanah para pejabatnya setipis tisu dibelah tujuh, ketika bicara dana, meski ada namun tidak selalu terserap dengan baik karena masalah birokrasi, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni, atau ketidaktepatan pertanggungjawaban anggaran.
Semoga efisiensi dana kantoran, bisa sedikit memberi efek, sebab sering kali dana yang ada lebih banyak untuk proyek fisik, sementara dana untuk pemeliharaan infrastruktur penting seperti sensor gempa dan tsunami kurang memadai.
Sanksi hukum bagi pelanggar ketentuan mitigasi juga masih masih lemah dan jarang diterapkan, sehingga tidak memberikan efek jera yang signifikan. Pemerintah tak memiliki daya tawar yang cukup di hadapan penyandang dana pembalakan liar, pembeli wilayah bibir pantai yang seharusnya menjadi habitat hutan bakau pencegah alami banjir rob, dan lainnya.
Ditambah dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang potensi bencana dan langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil. Hal ini wajar, sebab seringkali malah fakyatlah korban kerakusan para kapitalis yang merampas ruang hidup mereka. Karena sejatinya, rakyat telah menjadi bagian dari alam, menjaganya dengan kesadaran dari tahun ke tahun, generasi ke generasi. Dan aturan negaralah yang merusak keharmonisan itu, dengan ditandatanganinya proyek atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), hilirisasi, investasi dan lainnya.
Islam Solusi Bencana Beruntun
Sebagai agama yang sempurna, paradigma Islam soal bencana memiliki dua dimensi yaitu ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah, memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah. Di sinilah negara wajib mengadakan edukasi ruhiyah dengan memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana akibat ulah manusia, merusak alam itu dosa dan membahayakan kehidupan, dan lain sebagainya.
Manusia diminta bersabar dan tawakal, menerimanya sebagai ujian kesabaran, dan jalan Allah memperbaiki kesalahan manusia agar kembali kepada petunjuk Allah yang lurus, sebagaimana firmanNya yang artinya, ” “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar Rum: 41).
Sedangkan dimensi siyasiyah terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Inilah ranah yang dikuasai manusia, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban Allah di hari penghisaban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya” (HR at-Tirmidzi).
Negara dalam Islam wajib melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Melibatkan para ahli dan rakyat yang memiliki kemampuan, untuk kemudian diarahkan pada aktifitas industri, teknologi, sains, dan semua yang berhubungan dengan mitigasi berkelanjutan.
Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Skema pembiayaan negara Islam sangat berbeda dengan APBN, karena lebih mandiri dan berkah. Disusun atas dasar syariat, terdiri dari jenis harta kepemilikan umum dan harta kepemilikan negara.
Sejarah telah mengukir indah bagaimana Umar bin Khattab, Khalifah kedua bagi kaum muslim membentuk lembaga keuangan yang kemudian disebut Baitulmal untuk mengelola kekayaan negara dan Dewan Ekonomi untuk memastikan ketersediaan pangan dan distribusi bantuan. Selain itu, ia juga menumbuhkan ketahanan spiritual dan mengajak masyarakat bertobat dan berdoa saat terjadi bencana seperti paceklik (Am al-Ramadah) atau gempa bumi.
Maka, tidak ada upaya terbaik bagi kaum muslim untuk kembali kepada pengaturan Allah swt. dengan menegakkan kembali Khilafah, penerap hukum syara yang menjadi solusi bagi semua problem manusia. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar