Kohabitasi Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi

Kasus mutilasi di Mojokerto-Surabaya baru-baru ini mengguncang masyarakat. Polisi menemukan puluhan potongan tubuh seorang wanita muda di Mojokerto. Setelah ditelusuri, ratusan potongan bagian tubuh lain juga ditemukan di kamar kosnya di Surabaya. Pelakunya adalah pacarnya sendiri. Motifnya pun tragis: sekadar kesal tidak dibukakan pintu kos dan beban tuntutan ekonomi dari sang korban (detik.com, 08-09-2025).

Kasus ini menyisakan luka mendalam bagi masyarakat. Peristiwa ini jelas bukan hanya persoalan kriminal biasa, tetapi juga cerminan rapuhnya pondasi moral dan sistem yang menaungi kehidupan masyarakat saat ini. 

Fakta di lapangan menunjukkan betapa parah dampak sekuler liberal terhadap generasi muda. Munculnya fenomena baru yakni kohabitasi atau kumpul kebo di kalangan generasi muda. Tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan dianggap wajar dan dinormalisasi bahkan disebut gaya hidup “modern.” Tren nya semakin meningkat. Alasannya beragam, mulai dari ingin lebih mengenal pasangan, efisiensi biaya hidup, hingga alasan praktis lainnya. Media dan sebagian pakar bahkan memberi tips “sehat” agar kohabitasi berjalan baik, seakan-akan praktik ini adalah pilihan hidup normal.

Padahal kohabitasi adalah buah dari penerapan sekularisme—paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam kerangka sekularisme, kebebasan pribadi ditempatkan di atas aturan halal-haram. Akibatnya, aktivitas yang jelas dilarang agama seperti pacaran, tinggal bersama tanpa nikah, hingga perzinaan, dinormalisasi. 

Di sisi lain, negara dalam sistem sekuler liberal tidak berperan membina rakyat agar memiliki pemahaman hidup yang benar berdasarkan Islam. Bahkan negara sering memberi ruang luas bagi aktivitas pergaulan bebas. Media dan tontonan tak senonoh pun tak dibatasi ruang geraknya meskipun itu merusak generasi. Sebab dari sanalah cuan dihasilkan. Negara pun tidak memandangnya sebagai tindak pidana kecuali berujung pada kekerasan atau korban jiwa. Setelah ada korban baru bertindak, ini artinya negara tidak mencegah masalah ini dari akarnya.

Tragedi mutilasi ini menunjukkan bagaimana liberalisasi pergaulan sosial dapat berujung fatal. Hubungan tanpa ikatan yang sah dan tanpa pagar aturan agama mudah melahirkan konflik. Cinta bisa berubah jadi benci, kasih sayang jadi dendam, dan ketika emosi meledak, tak ada kendali moral maupun spiritual yang menahan. Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana gaya hidup sekuler liberal telah melahirkan pola pikir dan perilaku yang jauh dari nilai kemanusiaan dan ketakwaan.

Dalam Islam, hal semacam ini dicegah sejak awal. Ketakwaan individu menjadi benteng utama agar setiap orang sadar tujuan penciptaannya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, termasuk pacaran, kohabitasi, dan tentu saja tindak kriminal seperti pembunuhan. Masyarakat juga punya peran kontrol sosial—saling menasihati, mencegah, dan tidak mendiamkan kemungkaran.

Lebih jauh, negara seharusnya hadir dengan sistem Islam yang sempurna dan menyeluruh. Negara wajib membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam yakni berbasis akidah, mengatur sistem pergaulan sesuai syariat, serta menegakkan sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran hukum syariat. Dengan sistem yang demikian, tragedi kohabitasi berujung mutilasi bisa dicegah, karena masyarakat tidak dibiarkan terjerumus dalam pergaulan bebas yang merusak.

Maka, kasus ini bukan sekadar kriminal biasa, melainkan cermin betapa bahaya jika kehidupan diatur dengan prinsip sekularisme-liberalisme. Sudah saatnya kita kembali pada aturan yang benar: Islam sebagai sistem hidup yang menyelamatkan manusia dari kebebasan semu menuju kehidupan yang bermartabat.

Artikel Lainnya

Cinta Ditolak, Pembunuhan Jadi Solusi

Kasus pembunuhan di kalangan pelajar kembali terjadi. Kali ini terjadi akibat sakit hati karena cinta pelaku ditolak, korban adalah FPR 16 tahun seorang pelajar SMK yang dibunuh oleh temannya sendiri AI 16 tahun. Pembunuhan ini terungkap setelah polisi menyelidiki temuan jasad wanita yang membusuk di sebuah Warkop di perumahan Made Great Residence Lamongan, Jawa Timur pada rabu 15 Januari 2025 yang dilansir dari Lamongan, Beritasatu.com.

Berbagai kondisi yang melingkupi ini adalah buah dari kehidupan yang diatur dengan sistem sekuler kapitalisme. Sekuler adalah paham yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Agama Islam khususnya hanya sebagai agama ritual yang tidak memiliki peran dalam mengatur aspek kehidupan lain selain urusan privat dan ibadah. Akibatnya sistem pendidikan yang diberlakukan berasa sekuler yang mengabaikan pembentukan kepribadian Islam.

Alhasil emosi pun dilampiaskan sesuai dengan hawa nafsu. Berbagai persoalan generasi jelas membutuhkan sistem yang mampu memberikan solusi komprehensif atas berbagai persoalan yang sedang mereka hadapi. Sistem yang dimaksud adalah sistem Islam, sistem Islam yang diterapkan di bawah institusi Khilafah Islam akan menjadikan negara sebagai penanggung jawab segala urusan umat, termasuk membentuk kepribadian mulia.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *