Krisis Tenaga Kerja Global dan Jalan Keluar di Luar Kapitalisme

Krisis tenaga kerja kini bukan hanya persoalan lokal, tetapi juga menjadi fenomena global. Negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina tengah menghadapi meningkatnya angka pengangguran (cnbcindonesia.com, 30-08-2025). Bahkan, muncul fenomena ganjil: orang berpura-pura bekerja atau rela bekerja tanpa digaji, hanya demi dianggap punya pekerjaan. Gambaran ini menegaskan betapa rapuhnya fondasi sistem ekonomi dunia saat ini. Situasi ini menunjukkan betapa rapuh pemulihan ekonomi global di tengah perlambatan pertumbuhan dan tekanan inflasi.
Di Indonesia sendiri, meskipun secara statistik angka pengangguran nasional menurun, namun persoalan serius tetap membayangi. Generasi muda menjadi kelompok yang paling terpukul. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, ada 3,6 juta gen-Z usia 15-24 yang menganggur (cnbcindonesia.com, 18-08-2024). Hal ini bermakna bahwa 50,29 persen dari total pengangguran terbuka di Indonesia disumbang oleh gen Z.
Data ini menunjukkan bahwa separuh dari jumlah pengangguran di Indonesia adalah anak muda. Fakta ini mengindikasikan potensi bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang, justru berubah menjadi beban sosial.
Fenomena global ini menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai. Lebih jauh, kapitalisme memperparah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang.
Di Indonesia, ketimpangan ekonomi sangat nyata. Menurut laporan Celios, kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia (celios.co.id). Sementara itu, negara seakan lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan lapangan kerja.
Pemerintah hanya sibuk menggelar job fair atau menambah sekolah vokasi, padahal industri sendiri sedang dilanda gelombang PHK. Akibatnya, banyak lulusan vokasi justru berakhir menganggur.
Dengan demikian, persoalan pengangguran bukan semata akibat kurangnya keterampilan tenaga kerja, melainkan karena sistem kapitalisme memang tidak didesain untuk menjamin hak rakyat atas pekerjaan. Selama sistem ini masih menjadi fondasi ekonomi dunia, pengangguran akan tetap menjadi masalah utama.
Islam menawarkan paradigma berbeda dalam mengatasi krisis tenaga kerja. Penguasa dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), yang wajib memastikan rakyatnya mendapatkan pekerjaan. Negara menyediakan fasilitas agar setiap individu bisa bekerja, baik melalui pendidikan berkualitas, pemberian modal, industrialisasi, maupun distribusi tanah bagi yang membutuhkannya.
Sistem ekonomi Islam juga menjamin distribusi kekayaan yang adil. Tidak ada ruang bagi segelintir pihak untuk menimbun kekayaan, sementara mayoritas rakyat terpuruk dalam pengangguran. Dengan mekanisme zakat, larangan riba, pengelolaan sumber daya alam oleh negara, serta distribusi kepemilikan, kekayaan benar-benar kembali pada rakyat.
Selain itu, pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja jangka pendek, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia yang ahli di bidangnya sekaligus memiliki integritas kepribadian. Dengan begitu, generasi muda bukan hanya siap bekerja, tetapi juga mampu berkontribusi membangun peradaban.
Krisis tenaga kerja global, termasuk di Indonesia, membuktikan bahwa kapitalisme gagal menyediakan kesejahteraan. Job fair, program vokasi, hingga berbagai jargon bonus demografi tidak akan menyelesaikan masalah jika akar persoalannya tetap dibiarkan: sistem kapitalisme yang timpang dan eksploitatif.
Sudah saatnya dunia mencari jalan keluar di luar kapitalisme. Islam, dengan sistem ekonominya yang adil dan menyeluruh, menawarkan solusi nyata: lapangan kerja tersedia, kekayaan terdistribusi, dan rakyat benar-benar sejahtera.
Komentar