Kemana Suara Kita di Tengah Serangan Mematikan Gaza?

Suara Netizen Indonesia-Pada 25 Agustus 2025 jurnalis kembali menjadi sasaran serangan Israel. Kali ini menargetkan siaran langsung dari rumah sakit Nasser di Khan Younis. Serangan ini menjadi salah satu yang paling mematikan dalam serangkaian serangan Israel yang menargetkan rumah sakit dan jurnalis selama 22 bulan terakhir. Sedikitnya 20 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.

Di antara korban tewas terdapat lima jurnalis, termasuk syahidah Maryam Abu Duqqah dari Gaza Selatan yang bekerja untuk The Associated Press (AP). Seorang putri berbakti yang menyumbangkan satu ginjalnya untuk  ayahnya, dan ibu penyayang yang mengorbankan hatinya demi keselamatan putra tunggalnya, Ghaith. Ia adalah rekan  seperjuangan jurnalis syahid Hassan Asleeh, yang mengantarnya ke setiap peliputan, tiada gentar terhadap ancaman pendudukan. Kemarin ia dibunuh oleh penjajah saat sedang menjalankan tugas jurnalistiknya, pembunuhan yang disaksikan sebagai sebuah siaran langsung di seluruh dunia.

Kantor berita Reuters melaporkan salah satu reporter tewas dalam serangan awal saat sedang mengoperasikan siaran langsung di salah satu lantai atas rumah sakit. Jurnalis lain termasuk Dagga, dan tim penyelamat mengenakan rompi darurat berwarna oranye, kemudian bergegas menaiki tangga eksternal untuk mencapai lokasi, namun mereka dihantam oleh serangan kedua. Kelima jurnalis yang menjadi syahid masing-masing bertugas untuk Al Jazeera, Reuters dan Middle East Eye.

Sebelum serangan mematikan ini, Israel telah lebih dahulu membunuh enam orang jurnalis dan juru kamera Al Jazeera di gerbang utama rumah sakit al-Shifa pada 10 Agustus 2025. Salah seorang korban syahid adalah jurnalis yang dikenal sebagai “Suara Kebenaran” yang tersisa dari Gaza, Anas al-Sharif. Dedikasi Anas membawanya kepada peliputan ke tempat-tempat yang tidak didatangi jurnalis lain, terutama menyaksikan medan-medan pembantaian terburuk.

Jumlah jurnalis yang syahid di Gaza sejak Oktober 2023 hingga Senin (25/8/2025), sedikitnya, mencapai 245 jurnalis. Dengan jumlah tersebut, genosida Gaza telah memecahkan rekor korban jurnalis terbanyak dalam sejarah, melampaui Perang Dunia I dan II (68 jurnalis), Perang Vietnam (63), hingga Perang Afghanistan (127).

Bagi jurnalis Palestina, serangan semacam ini merupakan pola lama sebagai manifestasi kebiadaban Israel untuk membungkam kebenaran. Hal yang paling ditakutkan oleh Israel adalah runtuhnya mitos-mitos yang mereka ciptakan dan tersingkapnya narasi-narasi palsu yang penuh kebohongan. Oleh sebab itu mereka akan melakukan apapun untuk menjaga eksistensi kepalsuannya.

Meski penargetan jurnalis merupakan kejahatan perang, namun demi tujuannya, Israel berupaya membenarkan pembunuhan dengan membentuk unit intelijen khusus yang bertugas menyediakan dalih untuk serangan-serangan mematikan. Sehingga upaya pembungkaman suara kebenaran yang disampaikan para jurnalis Gaza terkubur dalam serangan tersebut.

Direktur Regional Committee to Protect Journalists (CPJ) Sara Qudah mengatakan pembunuhan jurnalis oleh Israel di Gaza terus berlanjut, sementara dunia menyaksikan dan gagal bertindak terhadap serangan paling mematikan yang pernah di hadapi pers dalam sejarah. Banyaknya jurnalis lokal yang syahid karena Israel tidak mengizinkan jurnalis internasional masuk dan melakukan peliputan di Gaza.

Suara kebenaran yang diungkap oleh para jurnalis pemberani, termasuk gambar-gambar saksi kejahatan perang Israel telah mengubah narasi dan pandangan dunia dalam memandang Genosida Palestina. Jajak pendapat Gallup terbaru yang dilakukan pada 7-21 Juli 2025, menemukan dukungan terhadap genosida Israel di Gaza menurun secara substansial di kalangan orang dewasa AS. Hanya sekitar 1 dari 10 orang dewasa di bawah 35 tahun yang menyetujui serangan militer Israel.

Selain itu, sekitar separuh orang dewasa AS kini memiliki pandangan negatif terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dimana hal tersebut merupakan peringkat paling negatif yang diterimanya sejak pertama kali dimasukkan dalam jajak pendapat Gallup pada tahun 1997. Namun meskipun opini publik di AS terus berubah, kebijakan dukungan tanpa syarat Washington untuk Israel tetap teguh.

Hingga saat ini suara-suara kecaman terhadap Israel terdengar semakin kencang dan saling sahut menyahut, namun tak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban. Alih-alih meminta pertanggungjawaban Israel, kantor berita AP tempat Maryam bekerja malah mengkhianati pengorbanan tim mereka. Kantor berita AP menyebut Maryam, salah satu jurnalis terbaik dan paling berani-kini mereduksinya menjadi sekadar ‘Pekerja Lepas,’ menunjukkan betapa ketakutannya AP terhadap Israel.

Begitulah wajah kusam media Barat dengan standar ganda yang memalukan. Sebagaimana kantor berita AP, Reuters salah satu kantor berita global paling berpengaruh yang memiliki pembaca harian lebih dari satu miliar, juga melakukan hal yang sama terhadap jurnalis Gaza yang telah syahid, Anas al-Sharif. Reuters menerbitkan berita kematian Anas, salah satu tokoh utama dalam serangan Israel bulan ini, dengan judul “Israel membunuh reporter Al Jazeera yang mengaku sebagai pemimpin Hamas.” Penggunaan judul berita ini memicu kemarahan publik, karena sebelumnya Anas bekerja untuk Reuters dan merupakan bagian dari tim Reuters yang memenangkan Penghargaan Pulitzer 2024.

Realita ini menjadi bumerang, karena dukungan pembebasan Palestina semakin kencang disuarakan oleh penduduk di negara-negara Barat. Sementara di negara-negara mayoritas Muslim dukungan itu terdengar sayup-sayup dan timbul tenggelam. Entah kemana suara umat Islam di tengah serangan mematikan Gaza.

Manakala kampus-kampus bergengsi  Amerika dipenuhi aksi solidaritas Gen Z terhadap Palestina, di Indonesia justru sebaliknya. Universitas Indonesia baru-baru ini mengundang seorang akademisi zionis garis keras, Peter Berkowitz sebagai pemberi orasi ilmiah dalam kegiatan Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana UI 2025 yang berlangsung pada 23 Agustus 2025 di kampus UI Depok.

Sementara dua tokoh Nahdatul Ulama (NU), yaitu Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla dan Ketua PBNU Ahmad Suaedy  bungkam setelah Berkowitz membagikan momen saat dirinya menjadi pemateri Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama di Jakarta pada Jumat 15-16 Agustus 2025. Sungguh miris.

Para jurnalis Gaza telah mengabadikan hidupnya untuk menyampaikan pesan kebenaran sementara golongan yang lain dari umat ini menjadikan zionis sebagai teman duduk untuk belajar kepemimpinan, seraya dengan bangga menerima tugas dari Yahudi sebagai agen penjaga narasi palsu untuk memenangkan kepentingan penjajah.

Oleh sebab itu, kita tidak boleh diam, saat ini kitalah yang harus memikul wasiat Anas al-Sharif dan Maryam Abu Duqqah untuk menyampaikan kebenaran kepada dunia. Kebenaran itu bukan sekadar karena solidaritas kemanusiaan namun karena tanggung jawab keimanan. Upaya itu harus terus kita lipatgandakan sampai tibanya tentara-tentara pasukan Khalifah membebaskan Masjidil Aqsa dan Palestina.[]

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *