Islam Menghidupkan Tanah Mati

 

SuaraNetizenIndonesia_ Tuntas sudah keresahan masyarakat, setelah pak mentri meralat pernyataannya yang sempat menjadi polemik, yakni ketika Nusron mengatakan tanah telantar akan ditertibkan, karena seluruh tanah rakyat adalah milik negara. Dia mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

“Jadi ini semata-mata menyasar lahan yang statusnya HGU dan HGB yang luasnya jutaan hektar, tapi dianggurkan, tidak dimanfaatkan, dan tidak produktif. Bukan menyasar tanah rakyat, sawah rakyat, pekarangan rakyat, atau tanah waris, apalagi yang sudah mempunyai status sertifikat hak milik maupun hak pakai,” imbuhnya. (Detik.com, 12-8-2025)

 

Kebijakan ini mirip dengan salah satu hukum Islam pada aspek sebab-sebab kepemilikan (as-sabaabu tamaluk) yaitu menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Namun ketika hal tersebut tegak di atas pondasi sekularisme, maka perlu kita lihat lebih dalam, apakah betul keputusan ini semata-mata untuk menggerakkan roda perekonomian umat? Atau malah memberi peluang bagi pemilik modal, untuk mengusai lahan secara besar-besaran.

 

Isu tanah telantar memang telah menimbulkan perdebatan setelah Pemerintah Indonesia menegaskan akan menertibkan lahan berskala besar yang dibiarkan tak tergarap. Berdasarkan PP No. 20 Tahun 2021, negara akan mencabut status kepemilikan, pada tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun sejak hak diberikan, untuk kemudian dialihkan menjadi Tanah Cadangan Umum Negara.

Sepintas ide ini nampak baik, agar tak membiarkan tanah menganggur dan membuat pemiliknya menggarap hingga menjadi lahan produktif. Namun paradigma kapitalisme yang selalu bertujuan meraih materi, membuat para kapital akan memanfaatkan, untuk menguasai lahan. Paham kebebasan kepemilikan, meniscayakan terjadinya hal tersebut. Akibatnya yang kaya akan semakin jaya, yang miskin tinggal nelangsa. Lagi-lagi masyarakat yang akan dirugikan.

Konsep menghidupkan tanah mati (ihyā’ al-mawāt) pernah diterapkan di masa kejayaan Islam. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad)

 

Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun. Menghidupkan tanah mati adalah mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya. (Kitab Nizhomul iqtishady fi Islam- Syaikh Taqiyudin An-Nabhani)
Prinsip ini ada dalam sistem ekonomi Islam, dengan cara membuka lahan baru, meningkatkan produksi pertanian, dan mendorong pemerataan kepemilikan tanah.

1. Masa Umar bin Khaththab (13–23 H)
Khalifah Umar bin Khaththab pernah mendorong penduduk setempat dan orang-orang muhajirin untuk mengelola tanah di wilayah Sawad, Irak (sekitar Kufah dan Basrah). Umar tidak membagi tanah Sawad sebagai rampasan perang. Penduduk yang mampu mengolah lahan mati, akan diberi hak kepemilikan setelah menghidupkannya.

 

2. Masa Utsman bin Affan (23–35 H)
Khalifah Utsman memberi kesempatan pada masyarakat yang mampu mengelolanya, untuk menggarap tanah mati di Madinah, menjadi lahan pertanian dan perkebuan.

 

3. Masa Abbasiyah
Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun, dari Abbasiyah, membuka lahan mati untuk pertanian di Irak, Khurasan, dan Mesir. Pun dijadikan sebagai proyek irigasi dan penghidupan tanah mati di sekitar sungai Dijlah dan Furat, serta pembangunan kanal-kanal baru (nahr) seperti Nahr Isa dan Nahr Ma’mun, untuk mengairi lahan pertanian.

 

4. Masa Umayyah di Cordoba
Khalifah Abdurrahman III dan penerusnya Al-Hakam II mendorong pembukaan tanah mati di Spanyol selatan kepada para petani dengan pemberian insentif pengolahan lahan kosong di sepanjang sungai Guadalquivir, yang menjadi pusat pertanian Andalus.

 

Dari sini tampak bahwa tanah mati bisa menjadi milik pribadi jika dihidupkan (dengan bercocok tanam, membangun irigasi, atau mendirikan bangunan). Khalifah atau wali akan memberikan izin formal (iqṭā‘) sebagai legalisasinya. Praktik ini terjadi di masa Umar bin Khaththab ra. dan beliau pun melakukan pencatatan, agar tidak terjadi klaim ganda di kemudian hari.

Pemberian ini tidak sama dengan praktik feodalisme, yang mendasari hubungan antara tuan tanah (lord) dan pengikut (vasal). Tanah yang disebut (fief) diberikan sebagai imbalan atas kesetiaan dan layanan, terutama dalam hal militer.

 

Dalam Islam, menghidupkan tanah mati, akan meningkatkan perekonomian masyarakat, dan harta tersebar ke tengah umat. Negara menentukan satus tanah mati (al-mawat), yaitu tanah yang tidak digarap selama 3 tahun. Kemudian memberikannya pada seseorang yang mampu mengolahnya.
Bila penggarap baru tidak lagi mengolah tanah itu dalam 3 tahun, sehingga kembali mati, maka hak miliknya bisa gugur, dan menjadi milik negara. Khalifah akan memberikannya kepada orang lain yang mau menghidupkannya. Inilah yang membuat tanah tetap produktif dan tidak terbengkalai.

 

Inilah yang membuat harta tersebar ke tengah umat. Tidak dimonopoli oleh kapital. Bahkan sebaliknya, setiap individu mendapat jaminan kesejahteraan sebagaimana tanggung jawab kepemimpinan di dalam Islam. Tanah yang dihidupkan tadi bisa menjadi sarana bagi kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya. Allahumma ahyanaa bil Islam. Kembali pada Islam adalah kembali pada kehidupan yang penuh berkah sebagaimana dahulu pernah diterapkan Islam kafah, di sepanjang 13 abad pada 2/3 dunia. [SNI]

Artikel Lainnya

Pengelolaan Tanah Terlantar oleh Negara dan Harapan Pengentasan Kemiskinan

Penarikan tanah terlantar bisa menjadi celah pemanfaatan tanah bagi oligarki. Ini berarti kesempatan masyarakat miskin untuk berkembang semakin kecil. Rakyat kembali menjadi korban, sementara pengusaha mendapat kemudahan. Di sisi lain, pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan. Tidak seharusnya tanah tunduk pada kepentingan bisnis dan investor.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *