Pengelolaan Tanah Terlantar oleh Negara dan Harapan Pengentasan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi tantangan bagi Pemerintah. Berbagai program dan strategi telah direncanakan bahkan telah direalisasikan untuk mewujudkan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Meskipun data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi adanya penurunan angka kemiskinan pada September 2024 menjadi 8,57 %, menurun 0,46% poin terhadap Maret 2024, namun faktanya masih banyak masyarakat yang hidup dalam kesulitan karena kemiskinan.
Kemiskinan bisa disebabkan oleh berbagai faktor.
Distribusi kekayaan yang tidak merata tentu saja menjadi soal. Segelintir orang memiliki tanah yang cukup banyak, aset properti yang memadai, dan lahan perkebunan yang padat. Di sisi lain, banyak orang yang bahkan tidak memiliki tempat tinggal bahkan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Merekalah orang miskin itu.
Mengenai tanah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat ada 99.099,27 hektare tanah di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar yang tersebar di 23 Provinsi.
Menjawab hal itu, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, Pemerintah berencana untuk mengambil alih tanah terlantar. Sebab, sebagai aset yang sangat penting bagi faktor produksi, setiap orang yang memiliki tanah baik dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pengelolaan (HPL) dan Hak Pakai, seharusnya dapat memanfaatkan tanah sebagaimana mestinya.
Melalui peraturan ini, tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih oleh negara. “Tanah-tanah terlantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak, nah itu akan diidentifikasi oleh negara,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis. (Kompas.com, 18/07/2025)
Paradigma Kapitalis Pengolalan Tanah
Penertiban tanah terlantar seharusnya menjadi angin segar dalam soal sengketa tanah ataupun optimalisasi pemanfaatan tanah. Apalagi, pengambil alihan tanah terlantar tetap akan melalui proses konfimasi. Jika pemilik tanah dapat menggambarkan rencana bisnis, proposal jenis usaha atau studi kelayakan saat proses pendaftaran tanah, kemungkinan tanah tersebut tidak teridentifikasi sebagai tanah terlantar.
Demikian pula pada tanah warisan, meskipun berupa lahan kosong, namun keberadaan tanda kepemilikan seperti pagar sederhana dapat mencegahnya masuk dalam kategori tanah terlantar. Hal ini karena warga atau pemerintah setempat mengetahui status kepemilikannya, apalagi jika tanah warisan telah bersertfikat.
Namun, arah kebijakan menuai kritikan. Sejumlah pengamat menilai bahwa Pemerintah belum siap dan belum memiliki kerangka yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan terlantar tersebut. “Kalau bisnis itu harus clear and clean kalau dikelola oleh negara. Dan kalaupun diolah oleh negara, itu harus jelas dulu siapa yang mengelola dan punya modal berapa.” Sebut Yayat Supriatna, Pengamat Tata Kota dan Transportasi. (bloombergtechnoz.com, 19/07/2025)
Tak bisa dipungkiri, paradigma kapitalistik masih sangat kental dalam pengelolaan kebijakan publik, termasuk pengelolaan tanah. Faktanya, masih banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai.
Karena itu, arah tata kelola tanah terlantar ini harus direncanakan dengan baik. Jangan sampai terjadi salah kelola atau bahkan pengelolaan tanah terlantar akhirnya diberikan kepada swasta. Sebab, kapitalisme menjadikan tanah sebagai komoditas, bukan amanah publik.
Tanah dalam skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani atau berdagang. Jika hal ini terjadi, maka tanah terlantar akan tetap dikuasai oleh pemodal, bukan rakyat yang membutuhkan.
Penarikan tanah terlantar bisa menjadi celah pemanfaatan tanah bagi oligarki. Ini berarti kesempatan masyarakat miskin untuk berkembang semakin kecil. Rakyat kembali menjadi korban, sementara pengusaha mendapat kemudahan.
Di sisi lain, pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan. Tidak seharusnya tanah tunduk pada kepentingan bisnis dan investor.
Jika pengelolaan tanah terlantar ini beriorientasi pada pengentasan kemiskinan, seharunya rakyat miskin diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanfatkan tanah tersebut. Tentu saja, pemanfaatan ini harus tetap mendapatkan support dan pembinaan dari Pemerintah.
Islam dan Kepemilikan Tanah
Pengaturan pengelolaan tanah sudah lebih dulu dibahas oleh Islam. Islam membagi tanah dalam 3 (tiga) kepemilikan, yakni tanah milik individu, tanah milik umum dan tanah milik negara.
Untuk tanah milik individu, maka seseorang berhak untuk mengelolanya semampunya. Tanah itu dapat diperoleh dari bekerja, pewarisan, pemberian dari negara, dan perolehan tanpa kompensasi harta/ tenaga.
Salah satu wujud dari aktivitas bekerja adalah menghidupkan tanah mati. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.’ (HR. Bukhari dari penuturan Umar bin Khattab ra.)
Konteks permasalahan tanah tidak terletak pada pendistribusian di antara manusia, melainkan pada aspek produktivitasnya. Produktivitas tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kepemilikan tanah.
Tanah tetap mampu berproduksi tanpa campur tangan pihak lain sehingga kemampuan produksi tanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaannya.
Kepemilikan tanah tidak sama dengan harta benda lainnya.
Kepemilikan tanah akan tetap ada jika produktivitasnya ada dan hak kepemilikan akan hilang jika produksi tidak terealisasi, baik tanah itu luas atau sempit.
Khalifah Umar ra, pernah berkata, “Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia terlantarkan selama tiga tahun, tidak ia gunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.”
Umar juga berkata, “Orang yang memagari tidak punya hak (atas tanahnya) setelah tiga tahun berturut-turut (ditelantarkan)”. Ali Haidar Khawajah Amin Afandi di dalam Duraru al-Hukam fi Syarhi Majallati al-Ahkam, setelah menyebutkan ucapan Umar ini menyatakan, “Sungguh umat telah berijmak atas yang demikian.”
Melalui ijmak sahabat dalam bentuk ijma sukuti’ bahwa pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun berturut-turut maka kepemilikannya atas tanah itu diambil oleh Khalifah yakni negara, dan dibagikan atau diberikan kepada kaum muslim yang sanggup menggarap tanah tersebut. Dengan demikian, seseorang yang menghidupkan tanah mati akan menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya.
Mengenai tanah milik umum, seperti hutan, tanah umum, lapangan, jalan raya dan sebagainya. Tanah umum ini, dari sifatnya, tidak boleh dimiliki oleh individu, tetapi setiap individu boleh memanfaatkannya.
Adapun tanah milik negara adalah tanah yang negara berhak memberikan tanah tersebut kepada individu tertentu dan tidak pada yang lain. Dalam hal ini, negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai oleh individu/ swasta tanpa batas.
Negara akan mengelola tanah milik negara untuk proyek strategis dalam rangka kebutuhan rakyat, seperti pemukiman, pertanian, insfrastruktur umum, dan kebutuhan logidtik lainnya.
Tujuan pengelolaan tanah negara jelas bukan untuk kepentingan profit semata, melainkan pengaturan urusan rakyat (ri’ayah), kesejahteraan dan keberkahan. Dengan demikian, skema pengelolaan tanah terlantar oleh negara akan memberikan kesempatan bagi setiap individu rakyat, termasuk orang miskin, untuk berusaha dan berbuat untuk menopang kehidupan mereka secara layak. Wallahu a’lam Bishawwab.
Penulis
Wulan Amalia Putri, SST
(Pekerja Sosial Dinas Sosial Kab. Kolaka)
Komentar