Aksi Bela Palestina Terhalang Nasionalisme dan Nation State

Suara Netizen Indonesia–Penjajahan Israel atas Palestina hingga kini masih berlangsung. Meskipun sejumlah perjanjian dan gencatan senjata telah disepakati, namun Zionis dengan dibekingi Barat (AS) tetap melakukan penyerangan (baca: genosida) secara membabi buta.

 

Sejak 7 Oktober 2023 lalu, korban tewas akibat agresi Zionis telah mencapai 54.800 jiwa yang sebagian besar anak-anak dan perempuan. Sementara blokade makanan, obat-obatan, serta bantuan kemanusiaan yang terus berlangsung menyebabkan pengungsi Palestina kehilangan akses terhadap bantuan kemanusiaan sehingga kelaparan di jalur Gaza semakin parah. 

 

Sebagai protes akan hal tersebut, ribuan massa dari berbagai negara menggelar aksi solidaritas bela Palestina dengan tajuk ‘Solidarity March with Global March to Gaza.’ Mereka bergerak menuju Gaza, berharap pemimpin dunia menghentikan genosida yang dilakukan Israel di Gaza dan blokade perbatasan Rafah untuk bantuan makanan dan obat-obatan ke jalur Gaza dibuka.

 

Tetapi, ketika sampai di Kairo aksi tersebut terhenti, disebabkan adanya pelarangan oleh pemerintah setempat. Pemerintah Mesir menetapkan bahwa aksi tersebut ilegal. Sejumlah aktivis ditangkap dan dipulangkan ke negaranya. Momen mengerikan tersebut dibagikan seorang artis Zaskia Adya Mecca yang juga merupakan pegiat Global March March. (Liputan6.com, 15-06-2025).

 

Baca juga: 

Anomali Harga Beras, Ternyata Tak Cukup Satgas

 

Global March bukan Solusi Hakiki Bebaskan Gaza

 

7 dekade lebih lebih Palestina dalam pendudukan Israel. Tak terhitung berapa banyak darah yang tumpah, nyawa melayang, dan bangunan yang rusak akibat genosida. Dunia mengakui bahwa Israel merupakan penjahat perang serta melanggar hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi meskipun demikian, dunia masih tak bergeming untuk melakukan aksi nyata, selain hanya mengecam dan mengutuk.  

 

Begitupun dengan lembaga internasional seperti PBB, secara kritis justru PBB terlihat memiliki standar ganda dalam menangani konflik ini, sama halnya dengan AS dan negara-negara Eropa. Terlihat dari ketidaknetralannya dalam menerapkan hukum internasional terhadap Israel. Solusi yang digagas hanya sebatas dua negara dan gencatan senjata, yang semuanya tak berarti apa-apa selain mengukuhkan posisi Zionis di Palestina. Padahal sebagai badan dunia yang memiliki fungsi menjaga keamanan dan perdamaian dunia sudah semestinya PBB bertindak adil terhadap negara yang melakukan pelanggaran. 

 

Tampaknya hal itu yang melatarbelakangi aksi ‘Solidarity March with Global March to Gaza’. Sikap diamnya para pemimpin dunia, dan ketidakpedulian lembaga internasional membangkitkan rasa kemanusiaan umat terhadap Gaza. Meski bukan dengan senjata, setidaknya bantuan makanan, obat-obatan dan logistik bisa menunjukkan bahwa mereka peduli dengan Palestina.

 

Karena menunggu aksi nyata pemimpin-pemimpin dunia ibarat pungguk merindukan bulan. Karenanya, pantas bila umat geram, terlebih pada hakikatnya setiap muslim adalah saudara yang diikat akidah Islam. Mereka umpama satu tubuh, jika ada satu bagiannya yang terluka maka seluruhnya merasakan sakit yang sama.

Baca juga: 

Ancaman Nuklir untuk Gaza, Potret Arogansi Adidaya?

 

Tetapi harus diingat, sejatinya aksi apapun yang dilakukan untuk Palestina tak akan berpengaruh signifikan. Apalagi menjadi solusi hakiki untuk menghilangkan pendudukan Israel. 

 

Penyebabnya, ada tembok penghalang tebal di tengah kaum muslim, yakni Nasionalisme dan nation state (negara bangsa) yang merupakan buah pemikiran sistem Kapitalisme. Nasionalisme adalah paham yang dibawa Barat dan ditancapkan di dunia Islam sejak dahulu ketika negara Islam berjaya sebagai negara adidaya adikuasa.

 

Tujuannya untuk mencekoki pemikiran, mematikan makna persatuan berdasarkan akidah Islam. Sehingga yang tersisa di hati kaum muslim, terlebih penguasa hanya keegoisan, kepentingan ekonomi, dan keamanan negaranya. Bahkan untuk menjaga semua itu, rela melakukan segala cara, termasuk menjadi pembela kepentingan musuh dan menentang saudara seiman. 

 

Karena itu umat harus menyadari selama paham ini ada, dan dunia masih dinakhodai sistem kapitalisme, membebaskan Palestina hanyalah angan. Perlu upaya keras dari umat untuk menyingkirkan kedua penghalang tersebut. Salah satu caranya dengan memahami bahwa arah gerakan yang dilakukan haruslah bersifat politik, yaitu membongkar sekat nation state, lalu bersama-sama mewujudkan tegaknya sistem Islam. 

 

Sistem Islam Solusi Atas Palestina 

 

Sebenarnya, konflik Palestina-Israel dimulai sejak penjaga kemuliaan umat, yakni Daulah Khilafah Islamiah hilang dari kaum muslimin pada tahun 1924, akibat dihancurkan oleh seorang Yahudi bernama Mustafa Kemal. Sejak saat itu beragam penderitaan dirasakan kaum muslimin tanpa henti, bukan hanya di Palestina tapi di seluruh penjuru dunia dengan bentuk yang berbeda-beda, ada yang bersifat fisik dan nonfisik. 

 

Baca juga: 

Kapitalisme Mendatangkan Bencana, Umat Butuh Pemimpin Amanah

 

Padahal dulu ketika Islam berjaya selama hampir 14 abad lamanya, umat benar-benar ditakuti dunia. Selama berabad-abad, negara di Eropa meyakini bahwa umat muslim adalah umat yang tak terkalahkan. Ini semua karena sistem Islam memiliki mekanisme komprehensif untuk menjaga menjaga haibah (kewibawaan) umat, seperti; 

 

Pertama, Islam menetapkan kaum muslim berada dalam satu kesatuan wilayah (tidak tersekat nasionalisme dan negara bangsa) dan diikat oleh akidah Islam. Sehingga tatkala ada saudaranya yang teraniaya tidak ada penghalang untuk segera menolong.

 

Kedua, kaum muslimin dilarang berdamai dan menjalin kesepakatan apapun dengan negara yang memusuhi Islam (kafir harbi). Dalilnya firman Allah yang artinya,  “Sungguh kalian telah dilarang oleh Allah untuk menjadikan teman orang-orang yang memusuhi kalian dan membuat kalian terusir dari negeri kalian….” (TQS Al-Mumtahanah :9). 

 

Ketiga, jihad fii sabilillah satu-satunya jalan yang ditetapkan Islam untuk menghilangkan penjajahan dan mengusir musuh. Dalilnya QS Al-Baqarah ayat 191. 

 

Keempat, posisi negara adalah junnah (penjaga) dan raa’ in (pengurus) kaum muslimin. Seperti kisah tentang Sultan Abdul Hamid ll yang masyhur sampai kini terkait penjagaannya atas Palestina. Beliau tak segan menolak ketika Palestina hendak dibeli seorang Yahudi, Theodor Herzl. 

 

Itulah yang membuat umat Islam di masa kekhalifahan disegani dunia. Karena itu, saat ini perjuangan umat pun jangan hanya terhenti pada sebatas melakukan aksi seperti Global March to Gaza’. Namun harus dibarengi dengan konsep politik terkait tata cara penegakan kembali sistem Islam dalam kehidupan.

 

Caranya bisa dimulai dengan mengkaji lebih dalam terkait syariat Islam kafah dengan banyak mengikuti kajian yang membahas Islam secara menyeluruh, lalu berjuang dengan jama’ah dakwah Islam ideologis mendakwahkan Islam ke tengah umat. Sehingga terbentuk keyakinan di sisi umat akan urgensi penerapan aturan Islam dalam seluruh lini kehidupan.Wallahualam bissawab. [SNI]

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *