Anomali Harga Beras, Ternyata Tak Cukup Satgas

Suara Netizen Indonesia–Sebagai salah satu produsen beras, Jepang menempati posisi kesembilan secara global. Namun berita terkini, Jepang mengalami krisis beras yang makin menjadi-jadi, harga beras melonjak dua kali lipat sejak tahun lalu, antrean mengular untuk permintaan beras 5 kilogram. Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi mengatakan, pemerintah Jepang berencana melepas 200.000 metrik ton beras lagi dari stok daruratnya (cnbc.com , 10-6-2025).
Penyebab krisis setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya, perubahan iklim, kebijakan pemerintah yang mendorong petani untuk beralih kepada usaha lain untuk menghindari surplus beras, masalah distribusi, penyimpanan stok, panic buying pasca gempa dan pemulihan sektor pariwisata dan restoran pasca pandemi dan gempa.
Baca juga:
Di Darat Berebut Gunung, Di Laut Berebut Pulau
Lebih ironi Indonesia yang menduduki peringkat keempat global sebagai produsen beras, ternyata juga mengalami anomali harga beras. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025, hanya terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Pekan kedua Juni sudah melebar menjadi 133 kabupaten/kota, artinya ada tambahan 14 kabupaten/ kota yang mengalami kenaikan harga hanya dalam waktu beberapa hari saja (bisnis.com, 17-6-2025).
Satgas Pangan pun Hanya Identifikasi Bukan Aksi Nyata
Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Lilik Sutiarso memberikan apresiasi terhadap langkah cepat Satgas Pangan dalam menginvestigasi anomali harga beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) di berbagai pasar induk, salah satunya Pasar induk Cipinang, Jakarta Timur (beritasatu.com, 19-6-2025).
Menurut Prof Lilik harus ada langkah untuk validasi di lapangan. Sangat tidak masuk akal, ada kenaikan harga beras disaat produksi beras memuaskan, stok Cadangan Beras Pemerintah( CBP) tahun ini tertinggi sepanjang sejarah.
Anomali semacam ini tidak boleh dibiarkan karena merugikan masyarakat dan juga para petani. Analisa Prof Lilik , kenaikan harga disebabkan adanya anomali (tidak normal) dalam proses distribusi, spekulasi harga pedagang di pasar dan adanya biaya logistik untuk biaya transportasi dan penyimpanan. Tentu analisanya perlu dijustifikasi dengan kondisi di beberapa daerah yang memiliki pengaruh signifikan terkait fluktuasi harga beras di pasar.
Baca juga:
Kemiskinan Kian Ekstrim, Vasektomi Jadi Jalan Pintas
Beras SPHP menurut Prof Lilik seharusnya digunakan untuk kepentingan sosial seperti bantuan pangan dan operasi pasar, bukan masuk ke jalur distribusi komersial yang bisa menekan harga naik. Ketua Satgas Pangan Mabes Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf, memastikan pihaknya akan terus menindaklanjuti laporan masyarakat terkait kejanggalan distribusi beras SPHP ini. Pihaknya akan bertindak tanpa ragu begitu menemukan bukti pelanggaran di lapangan.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori meminta pemerintah melalui Perum Bulog segera menyalurkan bantuan pangan beras periode Juni-Juli, mengingat tak ada gunanya menyimpan terlalu lama di gudang, apalagi stok tahun ini diklaim sebagai stok terbesar sepanjang sejarah, jika masyarakat masih kesulitan mendapatkan beras karena harga melampaui HET.
Khudori mengingatkan, akan menjadi beban Bulog sebagai operator jika stok beras dibiarkan disimpan terlalu lama, akan ada pembengkakan biaya pengelolaan dan penyimpanan. Selain itu, ada risiko turun mutu, susut volume, bahkan jika berkepanjangan bisa rusak. Maka sebaiknya pemerintah segera memutuskan untuk menyalurkan bantuan pangan beras yang dilakukan bersamaan dengan operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Sebelum anomali ini terjadi, Badan Pangan Nasional (Bapanas) meyakini kondisi perberasan nasional terkendali seiring memadainya Stok Beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur. PIBC merupakan barometer pasar beras nasional yang berperan penting dalam pergerakan harga beras di tingkat konsumen.
Data itu disampaikan oleh Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi berdasarkan hasil pantauan pada periode 25 Mei-1 Juni 2025, rata-rata stok beras di PIBC minimal 30.000 ton atau di atas 45 000 ton, terakhir bahkan tercatat sebanyak 49.960 ton. Itulah mengapa Arief sangat optimis stok beras PIBC masih memadai untuk pasar tingkat grosir dan berada di level yang cukup aman. Setelah identifikasi, aksi selanjutnya menurut Arief butuh intervensi pemerintah.
Presiden Prabowo Subianto sudah mencanangkan penyaluran bandos beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat dengan total 360.000 ton periode Juni dan Juli sekaligus pembagian beras SPHP sebanyak 250.000 ton.
Jika Satgas Pangan hanya mampu mengidentifikasi stok beras apalah gunanya? Faktanya memang tak semua persoalan bisa diselesaikan dengan adanya satgas, namun seolah pemerintah tidak belajar dari kegagalan satgas bentukannya. Sementara urusan beras berkaitan dengan urusan ketahanan pangan yang harus segera diselesaikan agar rakyat tidak susah.
Sistem Kapitalisme Gagal Sejahterakan Rakyat
Anomali harga beras sangat menyusahkan rakyat, pemerintah klaim stok beras melimpah ,namun di saat yang sama rakyat kesulitan membeli karena harganya yang jauh lebih tinggi dari HET ( Harga Eceran Tertinggi). Padahal sudah dipastikan, satu kebutuhan pokok harganya naik akan diikuti dengan harga bahan pokok lainnya, seperti bawang merah, bawang putih dan cabe.
Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Suplai beras ke pasar menjadi terganggu dan harga naik. Dan siklus ini tak selalu berulang, apalagi menjelang hari besar atau perayaan keagamaan, inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem Kapitalisme. Samasekali tidak pro-rakyat, melainkan tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.
Kebijakan impor beras, sebagai konsekwensi bergabungnya Indonesia dengan negara kawasan ASEAN dan dunia yang salah satu kerjasamanya adalah adanya pasar bebas, tanpa pajak masuk. Jelas, siapa yang produksinya cepat dan banyak dialah pemenangnya. Sementara negara yang lambat bahkan buruk ketahanan pangannya akan menjadi pasar strategis bagi produk mereka.
Sebagai informasi saja, tak hanya impor beras yang makin membuat stok beras di Bulog membusuk dan tak layak konsumsi, namun juga bahan kebutuhan pokok lainnya. Bahan garam pun, termasuk dalam daftar barang yang diimpor.
Baca juga:
Sekolah Gratis, Bukan Ditolak, Ganti Sistemnya
Sistem Kapitalisme memandang, pangan bukan hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Para investor atau pengusaha besar diberi wadah dan kesempatan untuk bersaing dalam urusan pengadaan bahan kebutuhan pokok rakyat ini, alias negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Jelas setelah terjadi fluktuasi harga, apalagi ditambah dengan mafia yang secara sengaja melakukan praktik penimbunan, rakyat miskin menjadi korban.
Bulog tak berdaya karena kewenangannya bentrok dengan menteri perdagangan. Sementara Satgas Pangan hanya petugas penghitung stok beras, bukan penguasa distribusi. Maka, inilah yang terjadi, sangat ironi. Negeri berjuluk gemah Ripah loh jinawi, rakyatnya tak mampu beli beras. Lebih kejinya lagi, lisan pemerintah santai dan menyarankan agar rakyat jangan banyak makan nasi, pandai-pandailah mengelola bahan lain pengganti nasi, banyak makan nasi itu bodoh dan lain sebagainya. Bukankah semestinya yang berkuasa menjadi pelindung? Yang punya kebijakan dan kewenangan menjadi yang pertama melayani rakyatnya?
Kesejahteraan dalam Islam
Islam sebagai agama sempurna, sekaligus idiologi paling sahih memandang bahwa negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat. Salah satunya pangan. Khilafah, negara berdasarkan syariat, akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Ketahanan pangan yang berkelanjutan sangatlah penting dan Khilafah akan fokus dalam mewujudkannya.
Di antaranya dengan pemberian subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Akan ada bantuan dari Baitulmal terkait permodalan, baik modal bergerak ataupun tidak, pengambilan tanah yang terbengkalai tiga tahun berturut-turut untuk dibagikan kepada yang sanggup mengelola.
Berikutnya, Khilafah akan memberikan pelatihan, mendorong pendidikan murah dan berkualitas agar muncul para ahli pertanian, mendorong para insinyur untuk menciptakan teknologi terkini terkait tata kelola pertanian. Pembangunan infrastruktur yang memadai tak hanya di kota besar, namun juga di wilayah pelosok. Khilafah tidak akan menggenjot kebijakan impor, melainkan terus mendorong setiap aspek terintegrasi guna menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Dari sisi distribusi, Khilafah juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin. Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga atau dengan istilah HET untuk hari ini. Sebab, pematokan harga justru memicu konflik kepentingan, padahal muamalah terbaik adalah adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual.
Pemastian tak ada pematokan harga pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Sebagaimana Rasulullah Saw. Pernah menolak permintaan para sahabat untuk mematok harga saat di Madinah terjadi paceklik yang mengakibatkan semua harga barang naik. Rasulullah saw. bersabda,“Aku sungguh berharap kelak akan berjumpa dengan Allah dan tidak ada seseorang pun yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dirinya dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta.”( HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi).
Jelaslah, solusi yang ditawarkan sistem Islam adalah solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi, tapi perubahan sistem. Ketika sistem hari ini tak bisa mewujudkan kesejahteraan melainkan hanya bencana, maka wajib bagi kaum muslimin untuk kembali kepada pengaturan Allah SWT. Rasulullah Saw. Bersabda,” Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.”(HR. Muslim). Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar