Haji, Momen Persatuan Hakiki

SuaraNetizenIndonesia_ “Dan serukan kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir.” (QS Al Hajj: 27-28)
Saat ini ribuan kaum muslim berkhidmat kepada Allah, di Baitullahu, demi menyambut seruan haji. Berhimpunnya mereka dari seluruh penjuru dunia, sungguh sangat menakjubkan. Seluruh tahapan pelaksanaan haji mereka laksanakan bersama secara serempak, tanpa ada satupun yang tertinggal. Semestinya hal ini bisa menjadi momen persatuan umat yang memiliki beragam latar belakang, bahasa, bangsa, budaya, warna kulit dan sebagainya. Sebab sangat mudah menyatukan perbedaan tersebut dengan tali ikatan Islam.
Hanya saja usai pelaksanaan ibadah, mereka pulang ke negaranya masing-masing dan kembali mengenakan atribut semula, yaitu sebagai warga negara bangsa. Padahal di Tanah Haram, kaum muslim telah bersatu dengan ikatan ruhiyah. Namun ikatan ini memang tak mampu bertahan saat menghadapi berbagai kepentingan. Ia bersifat semu, sesaat, mudah rusak dan hilang. Perlu peningkatan ke level selanjutnya yakni pada ikatan akidah.
Ikatan akidah tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ia mampu bertahan sepanjang waktu, bahkan lebih kuat ketimbang ikatan nasab. Ikatan akidah bersifat tetap, produktif, menyatukan dan mampu menggerakkan umat pada kebangkitan hakiki. Pun mampu menjaga agama Allah dari berbagai gempuran pemikiran rusak. Bahkan menjadikan sesama muslim menyatu laksana satu tubuh, hingga dapat merasakan penderitaan muslim lainnya, sekalipun di belahan dunia yang jauh.
Ikatan yang salah justru akan merusak persatuan umat dan menyebabkan kaum muslim gagal mencapai kemuliaan-kemuliaan yang dijanjikan Allah SWT padanya. Maka umat perlu kembali pada ikatan hakiki yakni akidah, dengan mengembalikan Islam sebagai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan dan memposisikannya sebagai asas pemikiran (qaidah fikriyah).
Paham nasionalisme pun telah membuat garis maya yang tak terlihat, memisahkan muslim satu dengan lainnya, mengoyak ukhuwah dan mencerabut jati diri seorang muslim. Oleh karena itu, negara bangsa sungguh tak layak dijadikan sebagai pengikat. Bahkan ia menjadikan individu muslim terbelenggu dan terpasung dalam wilayah yang sempit dan hingga tak mampu mengatasi persoalan kehidupan. Padahal sejatinya kaum muslim adalah umat terbaik. Karenanya di manapun berada, ia layak menjadi pemeran utama untuk mengatur dan mengelola peradaban, agar senantiasa tunduk pada Ilahi Rabbi.
Maka perlu satu institusi pemersatu umat, yang akan menyatukan seluruh potensi kaum muslim, dan melenyapkan ikatan-ikatan salah yang menghalangi gerak kaum muslim. Institusi inilah yang akan menerapkan syariat secara kafah, menghentikan penindasan terhadap umat dan agama Allah, serta memastikan hukum-Nya tegak di muka bumi.
Semangat persatuan inilah yang perlu ada di tengah kaum muslim. Bahkan harus selalu dihidupkan sehingga menjadi sumber kekuatan bagi umat. Sebagaimana dahulu di masa Rasul saw. momen haji menjadi saat yang tepat untuk mendakwahkan Islam. Karena pada saat itu manusia berkumpul di Baitullahu. Maka diharapkan setelah berhaji, memiliki pemahaman baru tentang Islam dan menyebarkannya lagi di negaranya masing-masing.
Hal semacam ini pun pernah terjadi di Nusantara, ketika Kolonial Belanda menghalangi kaum muslim berhaji sebab setibanya di tanah air mereka semakin militan dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. H. Aqib Suminto menuliskan dalam bukunya yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda, hlm.22,
“Di masa lalu, khususnya di Nusantara, sesungguhnya kaum muslim tidak membedakan antara keutamaan haji dan jihad. Haji dan jihad menjadi dua amalan utama yang sama-sama dirindukan oleh umat. Buktinya, pada era kolonial abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, jemaah haji yang kembali ke Tanah Air banyak menginspirasi bahkan memimpin jihad secara langsung melawan para penjajah Belanda di Nusantara. Ini terjadi di Padang, Banten, Garut, Bekasi, hingga Tangerang. Akhirnya pada tahun 1908 Belanda menegaskan bahwa melarang umat Islam berhaji akan lebih baik daripada terpaksa harus menembak mati mereka.”
Maka umat harus kembali pada ikatan hakiki yakni ikatan Islam, yang akan menyatukan dan menggerakkan kaum muslim. Pun menjadikan mereka sebagai aktor perubahan yang memperbaiki kehidupan. Sebab saat Islam, diterapkan secara menyeluruh, akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang banyak hingga tercurahlimpahkan rahmat bagi semesta alam. Kuntum khairu ummah ukhrijat linnaasi. [SNI]
Komentar