Dari UKT Menuju Janji Pendidikan Gratis

Suara Netizen Indonesia–Selesai sudah pengumuman UTBK SNBT 2025. Hari yang mendebarkan mereka yang sudah lulus SMA dan hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Antusias masuk PTN favorit masih terasa, meski persaingan yang terasa bak unta masuk lobang jarum. 

 

Ketua Umum Tim Penanggung Jawab SNPMB Eduart Wolok mengatakan ada 253.421 peserta yang dinyatakan lulus UTBK SNBT 2025. Dia menyebut tingkat keketatan atau persentase antara peserta yang mendaftar dan yang diterima hanya sebesar 29,43 persen dari total seluruh pendaftar sebanyak 860.976 peserta. “Jadi masih ada sekitar 600 ribuan perserta yang belum lulus di kampus manapun,” kata Eduart (tempo.co, 29-5-2025). 

 

Seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur SNBT tahun ini diikuti oleh 145 kampus yang terdiri dari 75 perguruan tinggi negeri, 26 perguruan tinggi keadaan islam negeri (PTKIN), dan 44 politeknik sebagai PTN vokasi.

 

Eduart Wolok mengatakan jumlah peserta yang diterima melalui UTBK SNBT tahun ini tidak memenuhi daya tampung yang telah disediakan pemerintah yakni sebanyak 284.380 kursi. Menurut dia, tidak terserapnya daya tampung dengan maksimal disebabkan karena kuota yang disediakan oleh masing-masing kampus berbeda, dan banyaknya program studi yang sepi peminat. 

Baca juga: 

Nilai-Nilai Kebangsaan, Kompas Moral Pengabdian Negara 

 

Eduart menyebut sisa daya tampung SNBT yang tidak terserap ini akan digunakan untuk penerimaan mahasiswa baru melalui tahap mandiri, sehingga kuota penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi tidak akan berkurang.

 

Bukti Kapitalisasi Pendidikan Tak Terelakkan

 

Faktanya, yang masih harus berjuang bukan hanya mereka yang tak lolos UTBK dan kemudian “terpaksa” memilih jalur mandiri, namun yang tercatat sudah lolos pun sama, perkara yang paling dekat adalah pemberkasan data untuk menentukan besaran UKT ( Uang Kuliah Tunggal) selama mereka menempuh pendidikan di PTN yang mereka tuju. 

 

Banyak syarat yang diminta, mulai dari gaji, rekening listrik, rekening air, foto rumah dari dapur hingga kamar mandi, slip pembayaran pajak, BPJS, hingga mutasi tiga bulan terakhir di rekening penanggung jawab biaya perkuliahan. Belum lagi dengan kewajiban mengisi berapa jumlah kendaraan bermotor, jarak kampus ke rumah, bagaimana cara sampai di kampus, dan lain sebagainya. Intinya, pihak kampus berusaha sedetil mungkin mengambil data terkait kekayaan dan kepemilikan orangtua calon mahasiswanya. 

 

Banyak hal yang jika  tidak memiliki wajib menyertakan keterangan terlampir daru RT/RW/desa atau lembaga terkait, termasuk ketika ibu hanya sebagai ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Apakah semua ini dalam konteks untuk memungut UKT tanpa menzalimi? Jelas bukan! Tapi semata karena kini pendidikan adalah bisnis. Menuntut ilmu adalah tawar menawar tingkat tinggi, semakin lengkap fasilitas maka semakin tinggi harganya. 

 

Penetapan besaran biaya kuliah tunggal (UKT) yang sangat berkorelasi dengan pembiayaan operasional kampus yang bersangkutan. Jangan tanya bagaimana tarif jalur mandiri, sebab itu sudah menjadi semacam hierarki nominal rupiah yang tak masuk akal. Namun, mereka yang lolos UTBK juga akan menghadapi biaya yang tak murah, nominalnya pun bisa puluhan juta rupiah bergantung data yang sudah para orangtua serahkan dan fakultas yang dipilih. 

Baca juga: 

Yakin Solusi Dua Negara Akhiri Konflik?

 

Hal ini dampak dari minimnya peran negara menjamin terpenuhinya salah satu kebutuhan pokok rakyat yaitu pendidikan. PTN diberi legalitas berupa Badan Hukum untuk mengelola sumber pendanaan operasionalnya. PTN sibuk mengelola usaha, di sisi lain berlomba-lomba memasang tarif UKT. Muncullah kesenjangan sosial, dimana mereka yang disebut batas kanan adalah mereka yang mampu membayar UKT hingga ratusan juta rupiah, jika jalur mandiri di tambah dengan IPI (Iuran Pengembangan Institusi). Kemudian yang miskin harus mengetuk setiap pintu, mulai dari RT, RW, Desa, instansi atau lembaga yang bersangkutan untuk membenarkan ia memperoleh keringanan. Ironi! Jika sepakat pendidikan adalah soko guru peradaban mengapa ada perbedaan? 

 

Lagi-lagi kita dihadapkan pada fakta, negara ini menerapkan sistem kapitalisme, sehingga wajar ada kapitalisasi pendidikan dan bukan pelayanan. Pendidikan menjadi komoditas, yang harus memberikan manfaat materi, mengubah lembaga pendidikan menjadi mesin uang. Bagaimana kita kemudian bisa berharap masa depan anak bangsa lebih baik? Akses pendidikan mahal, orangtua menghadapi lesunya ekonomi yang berimbas pada berkurangnya pendapatan para ayah, PHK datang bergelombang, pengangguran membayang. 

 

Islam Wujudkan Pendidikan Berkualitas Sekaligus Murah

 

Wacana pendidikan gratis untuk tingkat dasar hingga SMA sudah membuat heboh, keputusan MK terkait revisi UU penyelenggaran pendidikan di Indonesia memutuskan menggratiskan pendidikan membuat semua pihak kalang kabut. Seolah negara akan roboh. 

 

Menteri pendidikan dasar dan menteri pendidikan tinggi mengeluhkan kesulitan mereka, dikarenakan selama ini meski mendapatkan 20 persen dari APBN, masih harus dibagi dengan berbagai lembaga yang berkaitan pendidikan termasuk sekolah kedinasan dan vokasi. 

 

Darimana mendapatkan tambahan pendanaanya? Ada yang mengusulkan untuk membubarkan program MBG di beberapa daerah untuk kemudian dananya dimampatkan untuk pendidikan gratis. Apakah benar-benar akan memberikan solusi bagi pendidikan gratis? Lupakan, dalam sistem Kapitalisme,  gratis untuk pendidikan akan selamanya jadi wacana tanpa bisa direalisasikan karena, negara bersikap sekular, memisahkan agama dari kehidupan. Islam dipandang sekadar pengaturan salat saja Islam adalah syariat, solusi bagi seluruh problematika umat manusia. 

Baca juga: 

Judol, Cara Murah Hancurkan Generasi

 

Jelas tidak akan bisa, APBN postur pendanaanya sangatlah rapuh, sebab pendapatan terbesar adalah dari pajak dan utang. Bagi rakyat, ini hanya menambah beban yang selama ini sudah dihajar berbagai harga kebutuhan pokok melambung. Sedangkan dalam Islam adalah Baitulmal, menyimpan harta milik negara, yang berasal dari pengelolaan sumber daya alamnya dan harta milik negara seperti fa’i, jizyah, kharaj dan lainnya. 

 

Indonesia yang kaya raya, justru menyerahkan seluruh kekayaan itu kepada para kapitalis (pemodal) asing maupun lokal, meninggalkan rakyat menghadapi kerusakan ekosistem, terumbu karang dan bencana-bencana lainnya. Kewajiban negara yang seharusnya bisa diselenggarakan secara baik dan optimal lebih banyak cheosnya. Terutama di bidang pendidikan, seolah pendidikan pun barang langka yang tidak setiap orang bisa akses. 

 

Dalam Islam ,pemimpin adalah ra’iin atau pengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Pemimpin negara akan memimpin dengan Islam, bukan yang lain. Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *