Kebijakan Mendang Mending, Saatnya Sistem Islam Trending

Suara Netizen Indonesia–Saat melepas 26 peserta pra-seleksi magang ke Jepang, Bupati Lombok Timur, H. Haerul Warisin, mengatakan, “Lebih baik ke Jepang daripada menjadi honorer yang penghasilannya hanya 750 ribu rupiah. Itu tidak mencukupi untuk kehidupan yang layak.”
Program magang ini merupakan kerja sama Pemda Lombok Timur dengan sejumlah lembaga resmi penyalur tenaga kerja. Tujuannya untuk membuka peluang kerja dan meningkatkan kesejahteraan generasi muda.
Dan Warisin mengaku bangga terhadap para pemuda yang berani mengambil langkah untuk magang ke Jepang. Ia menilai, keputusan itu merupakan bentuk tekad kuat untuk mengubah nasib. Secara terang-terangan Warisin juga menolak jadi honorer, sebab status dan masa depannya tidak jelas, hingga pensiun tetap menjadi honorer (poroslombok.com,16-5-2025).
Baca juga:
Saat Penopang Peradaban Bodoh, Bersiaplah Roboh
Sebaliknya, banyak warga Lombok Timur yang sukses usai merantau ke Jepang. Mereka bisa membangun rumah, membuka usaha, dan meningkatkan ekonomi keluarga.
Negara Dengan Kapitalismenya Gagal Menyejahterakan Rakyat
Kebijakan mendang mending ini jadi solusi praktis pemerintah guna menutupi ketidakmampuannya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Mereka menyandingkan dengan tenaga honorer yang memang tak pernah memberi jaminan kesejahteraan hingga hari ini.
Padahal bekerja adalah salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan. Selama ini kita mendapati fakta, bahwa pengangguran di negeri ini didominasi usia produktif, bahkan fresh graduate sarjana. Sekolah vokasi yang sengaja dirancang untuk link and match dengan lapangan pekerjaan pun hanya ilusi, karena kembali hanya menyediakan tenaga kerja murah terdidik yang dikirim ke luar negeri.
Jepang salah satu negara yang paling banyak permintaan tenaga kerja Indonesia, negara dengan jumlah penduduk yang kian merosot dan banyak menyisakan tenaga kerja lanjut usia jelas akan mengalami ketimpangan dengan kemajuan perekonomiannya.
Bekerja di luar negeri tidak semua berhasil baik, banyak dari tenaga kerja kita yang justru menjadi korban praktik perdagangan manusia, bullying dan penyiksaan oleh majikan. Mereka manusia, apakah fakta ini tidak membuat pemerintah mulai mengevaluasi kebijakannya?
Baca juga:
Pendapatan Negara Macet, PNBP Diseret
Tidak, sebab tenaga kerja migran sama dengan pahlawan devisa, sebuah pos pendapatan yang besar bagi negara dari sektor non pajak. Itulah mengapa jika ada permasalahan terkait pekerja migran solusinya pun ala kadarnya. Bahkan terus mengadakan pelatihan untuk terus memberangkatkan tenaga kerja sesuai permintaan.
Peran pemerintah dalam sistem Kapitalisme ini sangat minim bahkan abai. Miris, negara kaya raya, namun terkungkung dengan sistem yang tidak memanusiakan manusia. Penguasa kita baik pusat maupun daerah lebih condong menjadi pelayan bagi korporasi, pemodal besar yang mereka klaim lebih profesional dan mampu mengangkat harkat dan martabat negara di mata dunia.
Rakyat pun menjadi tumbal, darah dan keringat rakyat menjadi emas bagi negara. Mereka yang hari ini mendapat pekerjaan di dalam negeri pun sebenarnya tak kalah sengsaranya, sebab mereka dibebani dengan pungutan pajak dan biaya hidup yang kian tinggi.
Harus Ada Perubahan Paradigma Kebijakan
Semestinya negara wajib hadir menjamin rakyat berasa dalam keadaan aman dan sejahtera. Rasulullah Saw. bersabda,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Makna ini sangat mendalam, pengurus atau raa’in ditambah dengan wajib bertanggung jawab adalah sebagaimana seorang ibu yang memastikan anaknya kenyang dan nyaman.
Negara dalam pandangan Islam memiliki dua mekanisme dalam menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, pertama dengan membuka lowongan pekerjaan di instansi pemerintahan yang dimiliki negara. Demikian juga BUMN nya yang mengelola kekayaan milik umum ( tambang, energi, minyak bumi dan lainnya) dan milik negara( jizyah, kharaz dan lainnya).
Negara haram menyerahkan pengelolaan tambang dan harta kekayaan alam lainnya kepada swasta sebab itu adalah hak rakyat dan negara hanya menjadi wakil. Hasil pengelolaan dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk zatnya semisal BBM, listrik, air dan lainnya, juga dalam bentuk pembangunan berbagai fasilitas publik seperti jalan, sekolah, universitas, rumah sakit dan lainnya.
Baca juga;
Jihad Ekonomi untuk Palestina, Haruskah?
Semua yang menjadi bagian dari kebutuhan publik mudah diakses oleh rakyat hingga berbiaya murah bahkan gratis. Sehingga seorang ayah hanya wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit sekolah dan kebutuhan publik lainnya.
Mekanisme kedua adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang ingin bekerja mandiri di bidang pertanian, laut, hutan dan lainnya. Negara akan memberikan bantuan berupa tanah, modal, pelatihan hingga jika benar-benar individu rakyat itu tidak mampu bekerja karena uzur maka akan diberi bantuan dari Baitulmal.
Dengan skema pembiayaan Baitulmal inilah negara memiliki harta yang luarbiasa besar. Sebab, negara juga wajib menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis riil dan mengharamkan berbagai transaksi non riil ( berbasis riba). Sepanjang sejarah, terutama saat berbicara peradaban Islam akan kita dapati begitu sejahteranya kehidupan rakyatnya.
Hingga Khalifah Harun Al Rasyid, Khalifah kelima Dinasti Abbasiyah sama sekali tidak menemukan rakyatnya yang layak menerima zakat. Beliau memerintahkan walinya berkeliling ke penjuru negeri, untuk mencari orang yang berutang, ingin modal, hingga mau menikah tapi tak punya mahar dan biaya untuk diberikan harta dari Baitulmal, namun tidak ada.
Jonathan Bloom dan Sheila Blair adalah sepasang ahli sejarah seni dan arkeologi Islam yang sering membahas tentang sejarah dan kebudayaan Islam, termasuk tentang Khilafah. Bloom dan Blair dikenal karena karyanya “Islam: A Thousand Years of Faith and Power” (Islam: Sejuta Tahun Keimanan dan Kekuatan), di mana mereka menyoroti pentingnya Khilafah dalam sejarah peradaban Islam dan kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya di bawah kekuasaannya. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar