Literasi Rendah, Generasi Minim Prestasi

SuaraNetizenIndonesia_ Tanggal 2 Mei di Indonesia dikenal sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas yang dipilih berdasarkan tanggal lahir salah satu tokoh pendidikan, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Akan tetapi tak banyak yang tahu bahwasanya di tanggal itu pula, M Tabrani menggagas Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Sebagai tanda penghormatan, salah satu gedung di Kompleks Badan Bahasa diberi nama Gedung Tabrani.
Hanya saja fakta hari ini sangat jauh dari visi misi pendidikan, seperti yang terjadi pada ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, yang mengalami kesulitan membaca dan memiliki tingkat literasi yang rendah. Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana, dikutip dari Antara mengatakan bahwa, data yang berhasil dihimpun Dewan Pendidikan bersama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat, bahwa hampir sekitar 400 orang anak lebih masih bermasalah pada saat membaca dan mengeja, bahkan banyak pula yang tidak bisa membaca sama sekali. (Antara, 15-4-2025)
Tentu hal ini harus segera mendapat perhatian khusus, sebab literasi adalah salah satu pintu masuknya ilmu. Rasanya sulit bagi kita untuk berharap, agar generasi ini mampu mengemban kepemimpinan. Sedangkan kondisi mereka minim literasi. Sebab kepemimpinan tak muncul dari ruang hampa, tapi perlu dibentuk dalam kurun waktu yang panjang oleh tangan-tangan yang andal mendedikasikan buah hatinya bagi kemuliaan Islam.
Posisi pemimpin pun tak boleh ditempati sembarang individu. Tanpa ilmu, apalagi tanpa pemahaman hakiki bahwasanya amanah tersebut berhubungan langsung dengan Allah Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Maka perlu upaya serius mempersiapkan generasi, agar pundak dan kepala mereka kokoh mengemban tugas kebangkitan umat.
Jika kita kaji lebih mendalam, maka akan kita dapati bahwasanya ini adalah persoalan sistemik. Tidak mungkin hanya memperbaiki kurikulum atau membuat kelas literasi khusus, tanpa perbaikan di aspek-aspek lainnya. Ada banyak faktor di antaranya: kemiskinan. Siswa dari keluarga miskin tentu terbatas aksesnya untuk mendapat buku dan perlengkapan lainnya, karena di alam kapitalisme, seluruh akses kebutuhan pokok berbayar dan sangat mahal.
Di samping itu, kurangnya motivasi juga menjadi penyebab rendahnya semangat mereka menjadi orang berilmu. Bisa jadi karena tidak adanya suasana belajar di rumah. Jerat kemiskinan membuat setiap anggota keluarga tersibukkan mencari nafkah. Pada gilirannya mereka hanya bercita-cita menjadi konten kreator, jalan pintas memperoleh uang banyak dalam waktu cepat. Mereka pun teralihkan dari tugas utama membangun peradaban.
Kapitalisme telah gagal mencetak generasi unggulan. Tujuan kehidupan hanya di seputar materi dan posisi, dengan tujuan untuk memperoleh kerja saja. Alhasil menjadikan manusia kering dari keimanan sebab sekolah bukan lagi wadah untuk menimba ilmu atau pun belajar.
Sejalan dengan itu, era digitalisasi merebak pula tanpa batas, menjadikan media sosial sebagai ajang kebebasan dengan fitur dan konten yang melenakan. Anak muda lebih memilih asik dengan gawainya ketimbang meng-upgrade diri menjadi generasi pembela Islam.
Islam Solusi Generasi
Tanggung jawab memperbaiki generasi tak dapat hanya dilimpahkan hanya kepada guru atau keluarga, tetapi perlu peran negara yang menguatkan pilar pengokoh pembentukan kepribadian. Maka perlu sistem pendidikan alternatif, pengganti sistem yang ada saat ini, untuk membentuk generasi berkualitas. Sistem pendidikan sahih dibangun di atas akidah Islam sebagaimana QS Al-Mujadilah: 11
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَـكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَا فْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَـكُمْ ۚ وَاِ ذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَا نْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ ۙ وَا لَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam hadits pun disebutkan bahwasanya, “Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)
Negara memotivasi warganya agar giat belajar. Tidak hanya melalui janji Allah SWT yang terdapat pada Al-Quran, tetapi juga mengambil keteladanan Rasulullah saw. Masjid-masjid dan rumah para ulama menjadi sekolah bagi para penuntut ilmu. Kebiasaan atau tradisi (bi’ah) belajar menjadi bagian kehidupan umat.
Bahkan di masa kepemimpinan Rasulullah saw., tebusan bagi Badr Quraisy adalah mengajari kaum muslim membaca dan menulis. Dalam Islam, dasar kurikulum adalah membangun kepribadian Islam (aqliyah dan nafsiyah Islam) dan menjadikan generasi sebagai ulama di setiap aspek kehidupan.
Maka saat masing-masing individu menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat keadaan miskin ilmu atau lemah literasi, maka warga Daulah bersegera pergi ke sekolah-sekolah atau masjid-masjid, yang menyediakan beragam pendidikan secara cuma-cuma.
Maka kebodohan tidak merebak di tengah masyarakat, sebab setiap orang senantiasa haus ilmu dan berusaha mengejarnya di manapun ia berada. Karenanya tugas negara adalah memfasilitasi, dengan menyediakan sekolah, bangunannya, faktor-faktor pendukungnya (laboratorium, buku, dan sebagainya), kesejahteraan bagi para guru, pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bagi setiap warga.
Di dalam Islam, media sosial menjadi pendukung pelajaran dan bahkan menjadi sarana dakwah. Negara tidak akan membiarkan media menyajikan informasi sesat yang merusak pemahaman umat. Masyarakat mendidik dan menjaga generasi, negara memfasilitasi melalui sistem persanksian yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir).
Saat Eropa mengalami masa kegelapan (dark age), Islam justru mencapai puncak kejayaannya. Literasi warga Daulah sangat tinggi. Terdapat 400 ribu di perpustakaan Cordova. Di Mesir pun terdapat banyak sekolah tinggi, yang menjadi tujuan siswa dunia. Dan ini tersebar luas di negara Khilafah.
Faktor kemiskinan pun akan dituntaskan melalui penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya, agar setiap kepala keluarga dapat menafkahi orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Jaminan kesejahteraan secara perorangan, merupakan tanggung jawab kepemimpinan kepada Allah SWT. Maka warga tak perlu khawatir akan kebutuhan pokoknya, seluruhnya ditanggung oleh negara. Pembiayaan pendidikan sepenuhnya dalam tanggung jawab negara melalui skema pengelolaan milkiyah aam (kepemilikan umum).
Inilah solusi sistemik bagi masalah literasi generasi, yaitu melalui penerapan syariat Islam secara kaffah. Allahumma ahyanaa bil Islam. [SNI]
Komentar