Ambiguitas Pemahaman, Peran Utama Perempuan Terpangkas

Suara Netizen Indinesia–Hari ini perempuan punya peran penting, yaitu mengembalikan nilai-nilai luhur budaya Indonesia yang kini tergerus perkembangan zaman. Hal itu disampaikan oleh Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah Wilayah III Kementerian PPPA Dewa Ayu Laksmiadi Janapriati (Republika.co.id, 10-4-2025).

 

Dewa Ayu juga mengaitkan hal ini dengan AstaCita, maka Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendukung adanya Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menghadirkan program 1.000 profesi perempuan pada peringatan Hari Kartini pada 21 April 2025 yang lalu. 

 

Dewa Ayu mengajak masyarakat memahami betapa banyak profesi yang dapat dijalankan oleh perempuan. Kowani, akan menghadirkan program 1.000 profesi perempuan dan gen Z, yang bertujuan untuk memperkenalkan dan mengapresiasi beragam profesi perempuan dan gen Z, mendorong literasi karier, teknologi, dan kepemimpinan berkelanjutan, membuka ruang kerja dan peluang ekonomi bagi perempuan, serta mengukuhkan posisi perempuan sebagai motor transformasi sosial, ekonomi, budaya, dan diplomasi.

 

Sayangnya Dewa Ayu tidak menjelaskan secara rinci, nilai-nilai luhur budaya Indonesia dan Nusantara yang bagaimana yang harus dilestarikan? Ada juga ajakan agar dalam membumikan semangat Kartini, kaum perempuan harus terus ditingkatkan imunitasnya dari penyebaran paham radikal terorisme. Perempuan juga harus berperan aktif dalam penanggulangan terorisme.

 

Hal itu dikatakan aktivis perempuan, sosial dan keagamaan, sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. Menurutnya, perempuan rentan terpapar ideologi radikal terorisme karena pertama, secara fisik dan fisiologis, perempuan memiliki peran sebagai ibu yang membesarkan anak. Perempuan cenderung memiliki ikatan emosional yang kuat, sehingga mudah dieksploitasi oleh ideologi-ideologi ekstrem yang menekankan loyalitas dan militansi. Buktinya banyak perempuan yang dilibatkan dalam setiap aksi terorisme, pelaku bom, hingga aksi penyerangan mabes (Republika.co.id, 22-4-2025).

Baca juga: 

Politik Nasionalisme Mematikan Gaza Perlahan tapi Pasti

 

Kedua, masih adanya budaya atau tradisi yang menganggap perempuan tidak mampu mengambil keputusan rasional, sehingga mudah dimanipulasi membuat labeling terhadap perempuan semakin buruk. Menurut Alissa, semisal sisi loyalitas dan naluri mengasuh perempuan dikembangkan dan diarahkan untuk hal yang positif seperti mencintai Pancasila, bela negara dan wawasan kebangsaan, maka ia akan mudah menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam dirinya. Bahkan jika terus dikembangkan, perempuan bisa mengambil peran penting dalam hal pencegahan terhadap ideologi transnasional yang mengancam kedaulatan negara. 

 

Masih menurut Alissa, cara membumikan semangat RA Kartini, sosok perempuan yang berjuang untuk emansipasi perempuan di Indonesia dalam hal pendidikan dan kehidupan sosial adalah dengan membuat perempuan berdaya, mengasah diri dan beradaptasi dengan kemajuan zaman baik melalui pemahaman ideologi yang lebih moderat maupun dengan memperkuat nasionalisme. 

 

Bahkan menurut Alissa, harus lebih banyak upaya menghilangkan belenggu tradisi yang menyebutkan bahwa tempat perempuan adalah di rumah, dan laki-laki lebih unggul dalam hal kepemimpinan. Akibatnya, keterampilan perempuan tidak terasah, sehingga mereka kesulitan untuk berkompetisi. Untuk itu ia mendorong pemerintah memberikan fasilitas yang lebih nyata bagi perempuan, seperti mendorong pendidikan yang lebih tinggi untuk perempuan di desa dan melibatkan perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrembang), mulai dari level desa hingga pemerintahan pusat.

 

Cara Pandang Kapitalistik Justru Membuat Perempuan Sengsara

 

Setiap tahunnya, hari lahirnya RA Kartini, yang lebih dikenal dengan perannya sebagai pejuang emansipasi perempuan memunculkan semangat yang ambigu bagi perempuan sendiri. Sebab selalu dipropagandakan wanita harus lebih powerfull, tampil berani di ranah publik, sebagai decicion maker hingga berani mendobrak tradisi leluhur dan menggantinya dengan kalimat “perempuan setara dengan pria”. 

 

Tidak menjadi masalah jika dimaksudkan untuk memberi motivasi, tapi menjadi persoalan jika landasan pemikiran yang diambil adalah Kapitalisme. Sebab asas Kapitalisme sendiri adalah sekular atau memisahkan peran agama dari kehidupan. Sehingga setiap apa yang dianggap benar salah adalah pendapat hamba atau manusia dan bukan Pencipta manusia. 

Baca juga: 

PayLater Gaya Hidup Konsumtif Meluber

 

Terlebih lagi, sebagai muslimah, tentulah syariat Allah sajalah yang menjadi standar baku ketika beramal atau beraktifitas, apapun itu. Jika kita menelan mentah-mentah setiap ajakan perubahan bagi perempuan ala-ala Kapitalisme itu tentulah kita merugi. Sebab, nyata kita sedang menjadi seorang yang durhaka kepada Allah SWT. Padahal Allah SWT.jelas berfirman yang artinya, “…Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja)…” (TQS Al-Maidah: 48). 

 

Satu lagi yang sering terlupa, bahkan seolah sengaja dihapus dari sejarah yang sesungguhnya, bahwa Kartini adalah muslimah, yang ketika itu sedang dalam proses belajar Islam, dan pada akhir dari aktifitas surat menyuratnya dengan teman di Belanda, Kartini mengungkapkan penyesalannya mengagungkan budaya Barat, sementara pada saat itu Kartini sudah menyadari bahwa kemuliaan perempuan hanya ada dalam Islam. Dimana perempuan wajib pintar, guna mendidik anak, namun juga untuk menjadi hamba Allah yang diridai. 

 

Islam Agama yang Sempurna

 

Propaganda emansipasi atau pendayagunaan peran perempuan dalam ranah publik sejatinya berasal dari negara barat dan eropa yang mengalami kegelapan peradaban yang panjang. Ini tentu bermula dari cara pandang mereka terhadap perempuan. Yang begitu merendahkan, bahkan tak manusiawi. 

 

Sementara di sisi lain, Islam telah sangat maju peradabannya. Sehingga, tak pernah ada polemik berkepanjangan tentang bagaimana seharusnya posisi perempuan, pun ketika dia sebagai salah satu komponen pembangunan. Nyatanya bak langit dan bumi. Kapitalisme memandang perempuan berdaya adalah yang mampu menghasilkan materi. 

 

Apapun profesinya, ia adalah penghasil uang sekaligus ibu rumah tangga, pendidik anak, teladan bagi keluarganya. Jelas ini adalah khayali, sebab peran utama justru dijadikan peran kedua, bahkan saat perempuan hanya punya tenaga sisa. 

 

Islam benar-benar mendudukkan fungsi perempuan hanya sebagai pencetak generasi tangguh dan bertakwa. Jika ia ingin bermanfaat untuk umat terkait keilmuan dan keahliannya, itu bukan yang utama. Sebab negara hadir 100 persen sebagai periayah (pengurus) umat, dengan kata lain, negara sebagai penjamin kebutuhan pokok rakyat tanpa sepeser pun meminta uang rakyat. 

 

Dengan jaminan itu, perempuan disyariatkan bukan pemberi nafkah akan terlaksana, sebab para ayah, suami dan pria yang baligh diberi negara kemudahan bekerja, tidak ada pajak, fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah dan lainnya bisa diakses dengan mudah, murah dan berkualitas. 

 

Tak ada nilai-nilai luhur yang harus diperbaiki, sebab tak ada pilihan bagi hamba kecuali taat kepada RabbNya. Apalagi jika dikaitkan dengan kelemahan perempuan (kelembutan dan kasih sayang) mudah dimasuki ide transnasional hingga terorisme sangatlah menyesatkan. Sejak peristiwa pemboman WTC, dunia telah tahu siapa teroris sebenarnya. Bahkan dengan genosida Palestina, masyarakat dunia semakin paham apa yang terjadi dan rindu perubahan secara global. 

Baca juga:

Perilaku Cabul Rusak Integritas Kaum Intelektual

 

Umat manusia kini begitu jijik dengan yang dilakukan AS dan Israel, mereka hanya suka berperang, AS sendiri dengan membantu Israel bertujuan untuk perdagangan senjata, juga bersama Israel hendak membendung tegaknya kembali Khilafah. Satu sistem kepemimpinan umum di dunia dengan syariat Islam. Saat itu jelas, negara penjajah kafir akan dilenyapkan. Inilah salah satu kekhawatiran mereka. 

 

Lantas, apa alasannya masih percaya propaganda sesat wanita butuh dinaikkan levelnya? Bahkan dianggap belum berperan besar bagi pembangunan. Padahal akar persoalannya pada penerapan sistem pengaturan yang salah. Sebab Islam telah memunculkan nama-nama perempuan hebat, tanpa harus mereduksi peran utamanya seperti Maria Astrulaby, Rufaida al-Aslamia: Seorang perawat dan dokter bedah muslim yang pertama dan masih banyak lainnya. 

 

Upaya yang harus kita lakukan adalah mengembalikan peran perempuan sesuai syariat Islam. Niscaya keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Wallahualam bissawab. [SNI). 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *