Stabilitas Ekonomi Hanya Ada dalam Syariat Islam

Suara Netizen Indonesia–Genderang perang dagang diumumkan Presiden AS Donald Trump. Presiden dari Partai Republik itu memberlakukan serangkaian tarif timbal balik untuk mengimbangi bea masuk yang dikenakan negara lain terhadap barang-barang AS. Besarannya 10 persen pada semua impor ke Amerika Serikat (republika.co.id, 3-4-2025). 

 

Trump dalam sebuah acara di Taman Mawar Gedung Putih mengatakan tarif dasar minimum 10 persen adalah sebuah deklarasi kemerdekaan. Setidaknya 60 negara akan menghadapi tarif individual, yang dihitung sebesar setengah dari tarif dan hambatan lain yang “dibebankan kepada AS” oleh negara-negara tersebut. Misalnya, dia mengatakan, Uni Eropa mengenakan tarif sebesar 39 persen terhadap impor AS, sehingga AS akan mengenakan tarif sebesar 20 persen.

 

Di Asia Tenggara, persentase tarif atas produk Indonesia adalah salah satu yang paling tinggi meski masih di bawah Kamboja (49 persen), Vietnam (46 persen), dan Thailand (36 persen). Sedangkan Tiongkok 34 persen, Uni Eropa dan Jepang masing-masing akan menghadapi tarif sebesar 20 persen dan 24 persen. India akan dikenakan bea masuk sebesar 26 persen. 

 

Dengan arogan Trump menyederhanakan kebijakannya dengan mengatakan, ” Jika mereka mengeluh, jika anda ingin tarif anda nol, maka anda membangun produk anda disini, di Amerika, karena tidak ada da tarif”. Ia menambahkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua impor akan mulai diberlakukan pada 5 Mei nanti. Sedangkan tarif khusus untuk negara tertentu seperti Indonesia akan berlaku pada 9 Mei.

 

Mitra dagang AS bereaksi terhadap perkembangan tersebut dan bersumpah untuk melakukan pembalasan yang cepat. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese misalnya, ia mengatakan rakyat Amerika akan membayar harga lebih mahal untuk tindakan yang tidak dapat dibenarkan tersebut. Kemudian Perdana Menteri Kanada Mark Carney berjanji untuk ‘melawan’ tarif besar Trump, yang katanya akan mengubah sistem perdagangan global secara fundamental.

 

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pun bereaksi dengan mengatakan perang dagang tidak menguntungkan siapa pun. “Kami telah bersiap untuk semua kemungkinan dan kami tidak akan mengesampingkan apa pun,” katanya kepada parlemen.

Baca juga: 

Gentingnya Kurang Makan Dibanding Pengangguran

 

Jerman memperingatkan bahwa perang dagang merugikan kedua belah pihak. Dan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez mengatakan negaranya akan “melindungi perusahaan dan pekerjanya serta akan terus berkomitmen pada dunia yang terbuka.

 

Kapitalisme Jantungnya Kehancuran

 

Indonesia mengekspor sejumlah komoditas ke AS. Salah satu yang terbesar yakni tekstil, produk tekstil, dan produk sepatu, alas kaki. Akankah kebijakan Trump memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perdagangan luar negeri Indonesia? 

 

Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pemerintah akan terus memitigasi dampak negatif dari kebijakan Trump. Kepala Ekonom Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail Zaini menyampaikan di tengah persoalan tarif ini, terdapat ‘malaikat’ yang menjadi harapan. Indonesia masih punya peluang mempertahankan surplus, terutama karena posisinya lebih kuat dibanding China (kena tarif 34%) dan Vietnam (46%).

 

Benarkah demikian? Secara singkat, dampak negatif perang tarif dagang ini bagi negara mitra AS khususnya Indonesia, yaitu, menaikkan cost (biaya produksi), memicu inflasi, mengurangi pilihan barang di pasar, memperlambat pertumbuhan ekonomi, merusak hubungan diplomatis dan pertukaran budaya dan menghambat perdagangan.

 

Sedangkan dampak positifnya yaitu, melindungi perusahaan dalam negeri dari persaingan tidak adil, meningkatkan permintaan terhadap barang-barang lokal, mendorong pertumbuhan lapangan kerja lokal, memperbaiki defisit perdagangan, memberi sanksi terhadap negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang tidak etis (detiknews.com, 5-4-2025). 

 

Dampak-dampak negatif lain juga diperkirakan bakal terjadi berentetan. Sebut saja PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), terpuruknya sektor padat karya, dan penurunan industri otomotif dalam negeri. Tentu tak cukup bagi kita untuk bersiap diri saja menghadapinya, sebab, ekonomi Kapitalisme akan meniscayakan kebijakan ini berulang. 

 

Terlebih lagi, ekonomi Kapitalisme tidak menggunakan standar mata uang emas, yaitu hanya bertumpu pada dollar Amerika, sehingga sangat mudah dipermainkan oleh Amerika. Inflasi adalah salah satu efek yang pasti terjadi. Kemudian transaksi ekonomi non riil lebih dominan seperti balas, bursa efek, bit koin dan lainnya. Inilah yang menciptakan gelembung bencana yang akan meledak pada akhirnya. Uang bukan sebagai alat tukar melainkan komoditas, sangat-sangat tidak menjamin adanya keadilan dan pemerataan perekonomian. 

 

Sementara itu, postur APBN kita sebagian besar berpijak pada pajak. Bagaimana mungkin masyarakat mampu membayar pajak ketika inflasi tinggi? Gaji mereka tentu saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup. Tidak heran, kalangan ekonomi menengah lumayan babak belur karena mereka harus makan tabungan untuk memenuhi biaya hidup, tetapi mereka tidak mendapatkan insentif/bansos dari pemerintah.

 

Semua ini menggambarkan bahwa rapor sistem ekonomi kapitalisme begitu jeblok. Tidak hanya perkara moneter (nilai mata uang dan angka inflasi), tetapi juga soal fiskal (pajak). Terutama adanya ketergantungan kepada negara adidaya yang esensinya merupakan penjajahan melalui ekonomi dan moneter. Berbasis Dollar pula. 

 

Baca juga: 

Tanpa Syariat Pengentasan Kemiskinan Hanya Ilusi

 

Belum lagi adanya sistem bunga (riba), baik pada sistem transaksi ekonomi di tengah-tengah masyarakat maupun riba sebagai buah utang luar negeri. Riba sejatinya merupakan benalu ekonomi karena menyebabkan kondisi keuangan ibarat lebih besar pasak daripada tiang. Kita bisa membayangkan betapa bahayanya ketika riba melanda, apalagi pada keuangan negara. Pantaslah jika mudah sekali timbul resesi karena semua sendi ekonomi berbasis uang. Dengan kata lain, jika tidak ada uang, runtuhlah sendi ekonominya.

 

Islam Solusi Stabilnya Perekonomian

 

Dalam sistem ekonomi Islam, syariat menetapkan mata uang emas dan perak (dinar dan dirham) yang berlaku di dalam Khilafah. Keberadaannya tidak diragukan kestabilannya. Ini karena didukung oleh jenis logam yang digunakan, yakni logam mulia sehingga tidak sulit bagi negara untuk mengedukasi rakyatnya menghargai mata uang tersebut. Ini wajar sebab mata uang dinar dan dirham kebal resesi sehingga anti anjlok. Jelas, ini menunjukkan ketangguhan sistem moneter Islam.

 

Khilafah juga memiliki banyak spot subsidi kepada rakyat, salah satunya bisa berbentuk harta pemberian tanpa riba dari negara kepada rakyatnya. Di sisi lain, Khilafah tidak memberikan ruang bagi terjadinya transaksi ribawi dalam bentuk apa pun.

Baca juga: 

Pemangkasan Anggaran Berhemat untuk Siapa?

 

APBN Khilafah tidak berbasis pajak. Khilafah memiliki sumber pemasukan yang beragam dengan jumlah yang besar untuk menopang APBN, yakni dari ganimah, kharaj, fai, dan sebagainya. Pajak (dharibah) hanya dipungut dalam kondisi terpaksa, yakni ketika baitulmal (kas negara) sama sekali tidak mampu mengeluarkan harta.

 

Itu pun dibebankan hanya kepada para laki-laki muslim kaya (aghniya’) dan dalam waktu sementara, sembari penguasa berupaya sekuat tenaga mencari sumber lain untuk mengisi kas negara. Demikianlah format kebijakan fiskal negara Islam yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama APBN.

 

Maka, satu hal saja yang dibutuhkan agar tidak ada kekhawatiran perang tarif dagang, yaitu dengan menerapkan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Sports Tourism, Wajarkah Menjadi Penyangga Ekonomi Berkelanjutan?

Dikutip dari Tirto.id – Jumat (11/8/23) sport tourism di Indonesia dipandang menjadi awal yang baik bagi kebangkitan pariwisata di Indonesia. Plt VP Corsec Jakpro Melisa Sjach dalam keterangannya, “Tentu angin segar ini menjadi langkah awal dalam membangkitkan pariwisata dan ekonomi di Indonesia, sekaligus membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat”.
Nilai sport tourism ini diperkirakan bisa mencapai 18.790 triliun pada 2024 mendatang, sehingga menganggap sport tourism ini bisa menjadi penyangga ekonomi bangsa dan ini menunjukkan negara abai mencari solusi strategis dan justru menuai berbagai persoalan. sebab Sport Tourism menyangkut banyak hal termasuk aspek ekonomi dan sosial.

Pendapatan ekonomi yang dihasilkan dari sport tourism ini seolah-olah terlihat baik dan dianggap bisa menjadi penyangga ekonomi berkelanjutan. Padahal presentasinya sedikit dibandingkan dengan pendapatan negara dalam sistem Khilafah. Ditambah kegiatan tersebut insidental, maka pendapatanpun jarang didapatkan. Dalam Sistem Islam yaitu Khilafah, pengaturan kepemilikan umum dikelola oleh negara, yang tidak dikelola oleh asing. Islam mengatur sumber pendapatan negara, salah satunya dari pengelolaan SDA.
Semua hasil penghimpunan kekayaan negara dikumpulkan terlebih dahulu, lalu dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Pengumpulan dana tersebut berpusat di Baitul Mal yang pada masa Rasulullah ﷺ terletak di Masjid Nabawi. Peran dan fungsi baitul mal itu bukan hanya sekedar mengumpulkan uang dan membagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan, namun lebih kepada pengolahan tatanan yang menopang perekonomian sehingga tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *