Minta THR

SuaraNetizenIndonesia__ Ada kebiasaan unik yang terjadi di negeri ini setiap jelang Lebaran, yakni adanya permintaan jatah THR, oleh ormas, preman atau peminta-minta terhadap pengusaha atau pedagang kecil. Hal ini tentu merepotkan. Apalagi jika kemudian mereka bertindak anarkis dengan merusak fasilitas yang ada.
Sebagaimana yang tampak pada video anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) yang mendatangi pengusaha sambil marah-marah di Klapanugngal, Bogor, Jawa Barat, viral di media sosial. Diduga anggota Ormas tersebut meminta Tunjangan Hari Raya (THR) ke pengusaha. (Cnnindonesia, 26-3-2025)
Bahkan masih di wilayah yang sama, seorang kepala desa telah memberikan klarifikasi dan permohonan maaf atas viralnya surat permohonan dana THR dan acara halal bihalal kepada pimpinan perusahaan di Desa Klapanunggal, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Surat yang dibuat pada 12 Maret itu menggunakan kop surat desa dan ditandatangani kepala desa Ade Endang Saripudin.
Dalam surat itu tertulis permohonan bersifat tidak terikat, namun dalam lampiran surat, total pemberian THR dan halal bihalal mencapai Rp165 juta. Terdapat 200 peserta yang akan dibagikan THR senilai Rp500 ribu, terdiri dari RT, RW, Karang Taruna, dan lembaga-lembaga di lingkungan pemerintah Desa Klapanunggal. Selain THR, perangkat Desa Klapanunggal juga ingin membagikan 200 paket bingkisan senilai Rp150 ribu. (Republikaonline, 1-3-2025)
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Muhammad Syafi’i menegaskan, Kementerian Agama tidak pernah menyetujui adanya aksi-aksi permintaan THR oleh para ormas. “Agama tidak mengajarkan hal itu. Karenanya, tidak seharusnya dilakukan. Kita tolak itu,” ucap Syafi’i. “Agama mengajarkan untuk memberi, bukan meminta.” (Tempo.co, 26-3-2025)
Bahkan parahnya, fenomena minta THR ini telah mengakibatkan jatuhnya korban, setelah insiden penusukan terhadap satpam SMKN 9 Tangerang di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang, Banten pada Senin (17-3-2025) sekitar pukul 12.10 WIB. (Republika, 20-3-2025)
THR dari Masa ke Masa
Berbagai sumber menyebut, bahwa Tunjangan Hari Raya (THR) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1950-an oleh Perdana Menteri dari Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo.
Pada lingkup pemerintahan, THR diberikan oleh perusahaan, instansi, atau dinas terkait kepada para karyawannya jelang Idulfitri. Namun kemudian tradisi ini berkembang menjadi pembagian angpau ke sanak saudara atau kerabat, bahkan pada para tetangga.
Awalnya sebagai simbol kebahagiaan dan kebersamaan. Tetapi kemudian berkembang menjadi kebiasaan yang seolah ia merupakan jatah yang harus diterima oleh setiap orang. Maka tak heran akhirnya timbul pemaksaan kepada orang lain, pemegang kebijakan, instansi dan sebagainya yang dianggap mampu mengeluarkan sejumlah uang.
Tradisi THR
Ternyata tradisi pemberian THR atau hadiah lebaran telah ada sejak masa Kekhilafahan Utsmani. Di akhir Ramadan atau jelang lebaran, orang-orang kaya akan menggantung kantung berisi uang di pohon-pohon. Siapa saja boleh mengambil dan memanfaatkannya. Tentu hanya orang-orang tertentu yang mau, sebab kesejahteraan orang perorang berada dalam jaminan Khilafah.
Bagi dhuafa, terdapat Sadaka Tasi, yakni sebuah batu tegak setinggi kurang lebih 1-2 m berbentuk persegi delapan, yang memiliki satu lubang di bagian atasnya yang digunakan untuk meletakkan uang bagi orang yang mampu dan untuk mengambil uang bagi yang membutuhkannya. Siapapun boleh menjulurkan tangannya ke lubang tersebut. Dan tak ada yang tahu, apakah ia akan meletakkan uang atau mengambilnya.
Kondisi ini membuat orang berpunya, tak tinggi hati ketika meletakkan sedekah, juga membuat orang tak punya, kehilangan kehormatannya sebab mengambil haknya. Dalam Bahasa Turki, kata sadaka (amal) digunakan untuk mendefinisikan apa yang diberikan seseorang secara sukarela kepada mereka yang membutuhkan, baik berupa uang atau sejenisnya. Batu Sadaka Tasi biasanya terdapat di halaman masjid. Bahkan kini masih tampak di taman di belakang makam Sultan Sulaiman Al-Qanuni Istanbul.
Dibolehkan seseorang meminta-minta kepada orang lain jika dalam keadaan fakir dan darurat sebagaimana ditegaskan dalam hadits Junadah. Namun sebaliknya, ulama sepakat akan haramnya meminta-minta jika tidak dalam keadaan darurat. An-Nawawi ketika menjelaskan bab “An-Nahyu ‘anil Mas’alah” (larangan meminta-minta).
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17508),
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، وَيَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ حُبْشِيِّ بْنِ جُنَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ»
Yahya bin Adam dan Yahya bin Abi Bukair menuturkan kepada kami, mereka berdua mengatakan, Israil menuturkan kepada kami, dari Abu Ishaq, dari Hubsyi bin Junadah radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meminta-minta padahal ia tidak fakir maka seakan-seakan ia memakan bara api”.
Negara wajib memerhatikan kebutuhan pokok rakyatnya berupa pangan, sandang dan papan. Termasuk akses kepada pendidikan, kesehatan dan keamanan. Setiap kepala keluarga wajib bekerja menafkahi orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya. Karenanya negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan.
Setiap warga didorong memiliki rasa kepedulian membantu sesama, dan menyalurkannya dalam pos zakat atau sedekah. Fakir miskin berhak santunan dari pos zakat tersebut.
Islam pun membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. Individu bebas mendapatkan harta asalkan caranya tidak melanggar hukum syara’. Kepemilikan umum berupa kelayaan alam akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Swasta dilarang memilikinya. Kekayaan negara akan dikelola oleh negara untuk keperluan kenegaraan. Melalui pengaturan harta sesuai aturan Allah, meniscayakan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap warga.
Maka tak perlu lagi meminta THR. Apalagi memaksanya dengan ancaman atau kekerasan. Jika hal ini masih terjadi, penguasa perlu introspeksi diri. Bisa jadi karena masyarakat kerap kali disuguhi tontonan kerakusan penguasa mengambil segala yang bukan haknya, hingga menular tabiat buruk ini pada siapapun yang lemah imannya. Wallahu ‘alam bishshawab. [SNI]
Komentar