Ketika Air Menjadi Bencana, Cukupkah Mitigasi Saja?

Suara Netizen Indonesia–Musim hujan yang semestinya menjadi rahmat, kini menjadi bencana, turut berduka cita atas semua korban banjir Jakarta, Bogor, Tangerang dan bekasi. Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menuding program pembukan lahan 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air, menjadi pemicu terjadinya banjir di sejumlah wilayah Jabodetabek (tirto.id, 6-3-2025).
Menurut Firman, pembagian kawasan hutan membuat ekosistem menjadi rusak karena mayoritas digunakan menjadi lahan pertanian dan galian untuk penambangan golongan C ( kegiatan pertambangan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan, dan penjualan bahan galian).
Menurut peneliti ahli madya dari pusat riset limnologi dan sumber daya air BRIN, Yus Budiono setidaknya ada empat faktor banjir di wilayah Jabodetabek, yakni penurunan muka tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut, dan fenomena cuaca ekstrem. Banjir di Jabodetabek bisa masuk dalam kategori tiga jenis utama, yaitu banjir akibat hujan lokal, banjir akibat luapan sungai, dan banjir akibat pasang laut (jabar.tribunnews.com, 9-3-2025).
Kepala pusat riset limnologi dan SDA BRIN, Luki Subehi menambahkan jika banjir yang terjadi bukanlah semata karena curah hujan yang tinggi, melainkan karena pengelolaan SDA dan perubahan tata guna lahan di wilayah perkotaan. Pengurangan luas hutan dan daerah resapan air di hulu khususnya sepanjang Sungai Bekasi dan Ciliwung, sehingga memicu meningkatnya aliran air permukaan yang berujung terjadi banjir.
Luki Subeki juga menyarankan untuk mitigasi yang mesti segera dilaksanakan adalah pengerukan sungai dan saluran air sebelum musim hujan tiba guna meningkatkan kapasitas aliran air. Untuk sungai yang melintasi lebih dari satu kabupaten atau kota lebih diutamakan adanya koordinasi antar wilayah.
Puarman, seorang perwakilan dari Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C), mengaku sudah memberi peringatan ketinggian air di Kali Cileungsi dan Cikeas , dari hasil pantauannya selama ini, penyebab utama dari banjir berulang ini adalah perubahan tata guna lahan di hulu sungai.
Baca juga:
Kontradiktif Kebijakan Pernikahan dan Keluarga, Sampai Kapan?
Seperti pembangunan properti dan pusat wisata yang masif di hulu-hulu sungai seperti Puncak, Bogor dan Sentul, Babakan Madang. Adanya pendangkalan dan penyempitan sungai sebagai penyebab banjir, sungai Cileungsi sendiri terakhir dikeruk tahun 1971, ditambah banyak pelanggaran garis sempadan ( jarak minimum yang harus dijaga dari tepi sungai) sepanjang 15 meter, kini sempadan lebih banyak dibangun rumah warga dan pabrik, sementara tanggul-tanggul yang dibangun berbagai perumahan itu sudah rapuh sehingga tidak mampu mengatasi banjir.
Banjir, Mengapa Kembali Terjadi?
Bencana apapun selalu menimbulkan kerugian, baik material maupun non material. Kegiatan apapun terpaksa berhenti. Sebagai manusia beriman, tentu meyakini bahwa bencana juga bagian dari takdir Allah, namun ada ranah manusia untuk beriktiar mencari solusi. Apalagi jika bencana ini sudah beurulang terjadi. Bencana yang terjadi berulang harus dicari akar masalah, karena bukan sekadar problem teknis, tapi sistemis.
Untuk banjir yang melanda Bekasi saja, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan ada 114 gedung sekolah mengalami kerusakan. Meliputi 90 SD, tujuh SLB, sembilan SMA, lima SMK, dan tiga SMP (beritasatu.com, 6-3-2025).
Merangkum dari semua pendapat ahli, nyata bahwa bencana ini semua bermula dari kebijakan berparadigma kapitalistik, yang menghantarkan pada konsep pembangunan yang abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Semua diatur berdasarkan perolehnan materi semata. Tanpa peduli dampak buruk yang menyertai jika sampai merusak aturan dan ekosistem.
Bukan tak ada upaya dari pemerintah, namun bisa dikatakan mitigasi yang ada sifatnya lemah, banjir tidak tercegah, dan rakyat pun hidup susah. Negara ini tak kurang dari tenaga ahli, potensi kekayaan alam pun berlimpah, sangatlah mampu untuk mengupayakan lebih dari hari ini.
Tak bisa dipungkiri, bencana hari ini pun ada andil dari dampak perubahan cuaca ekstrem global. Deforestasi sebagai akibat industrialisasi besar-besaran negara besar dunia, seperti Amerika, dimana Amerika sendiri keluar dari perjanjian Paris yang konsen kepada upaya pengurangan efek rumah kaca dan zero carbon. Sebagian besar pendapatan negara didapat dari industrinya, inilah alasan mengapa Amerika inisiator cuaca ekstrem tapi ingkar.
Penerapan Sistem Islam Solusi Hakiki Bencana Datang Berulang
Pembangunan harus memiliki paradigma yang tepat, sehingga memudahkan kehidupan manusia, namun juga menjaga kelestarian alam. Jika selama ini sistem Kapitalisme telah gagal mewujudkannya, Islam datang memberikan arahan pada negara bagaimana membangun negara dengan tepat.
Baca juga:
Pemangkasan Anggaran Berhemat Untuk Siapa?
Rasulullah Saw.bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari), artinya, solusi yang bakal ditempuh dalam Islam mengharuskan adanya posisi penguasa sebagai raa’in, yaitu penguasa yang akan terus menerus mengurus rakyat dengan baik sehingga rakyat hidup sejahtera, aman dan nyaman, terhindar dari banjir. Ibarat kasih sayang seorang ibu yang tak ingin anaknya lapar, haus, sakit bahkan sedih. Dengan segala daya upaya, seorang ibu akan mencurahkan kasih sayangnya meski ia sendiri terluka.
Penguasa dengan kriteria demikian, hanya jika ia menerapkan syariat Islam secara sadar. Pemimpin dalam Islam akan menerapkan Islam sebagai asas konsep pembangunan dan melakukan mitigasi yang kuat untuk mencegah terjadinya bencana khususnya banjir. Tak ada masalah untuk pendanaan, sebab Baitulmal, badan keuangan negara memiliki pos khusus untuk tanggap darurat bencana yang tak boleh kosong ada atau tidak ada bencana.
Baca juga:
Badai PHK Meresahkan , Islam Wujudkan Kesejahteraan
Negara dalam Islam, memiliki pengaturan terkait pendanaan negara yaitu dengan membagi kepemilikan harta menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Kepemilikan umum ( SDA, energi, tambang, laut, dan lainnya) dan kepemilikan negara ( fa’i, jizyah, kharaj dan lainnya) akan dikelola oleh negara secara mandiri. Yang akan mendatangkan keberkahan luar biasa.
Negara juga menetapkan pengaturan tata ruang yang tidak melanggar ekosistem. Jangankan hak manusia, hak alam pun akan sangat diperhatikan. Maka, tidakkah kita merindukan pengaturan Islam yang berasal dari Allah SWT ini? Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar