Korupsi Kian Mengkhawatirkan, Sistem Hari ini Dipertanyakan

Suara Netizen Indonesia–Presiden RI Prabowo Subianto mengakui tingkat korupsi di Indonesia sudah mengkhawatirkan dan telah menjadi masalah dasar bagi penurunan kinerja di semua sektor, pendapat ini beliau sampaikan dalam forum dunia World Governments Summit 2025. Presiden pun bertekad untuk menggunakan seluruh energi dan wewenang yang dimiliki untuk mencoba mengatasi korupsi, yang dinilainya sebagai penyakit, serta akar dari seluruh penurunan kinerja di berbagai sektor tersebut.
Menurut Prabowo, dibutuhkan keberanian untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, serta mengakui bahwa korupsi tersebut sebagai kelemahan dan kekurangan di negara ini. Oleh karenanya, inilah alasan presiden untuk melakukan efisiensi di kementerian/lembaga hingga 20 miliar dolar AS, untuk mengalokasikan dana tersebut dalam berbagai proyek strategis dan berkelanjutan (antaranews.com, 14-2-2025).
Yang cukup mengejutkan sebagian besar efisiensi tersebut akan digunakan dalam proyek Danantara. Menteri BUMN, Erick Thohir, mengatakan Danantara merupakan visi Presiden untuk memastikan BUMN melakukan terobosan, tidak bergantung pada anggaran negara.
Danantara akan mengonsolidasikan semua aset dan investasi BUMN ke depan, dan bertujuan untuk menghasilkan pendapatan tambahan untuk membiayai pembangunan nasional dan mengurangi ketergantungan pada APBN. Nantinya semua keuntungan Danantara tidak akan disetorkan ke APBN melainkan akan terus diputar. Sayangnya, Danantara super kebal imun atau tidak bisa diperiksa oleh KPK atau BPK begitu saja tanpa ada izin dari DPR.
Baca juga:
Kapitalisasi Pendidikan, Layaknya Hidup dan Mati
Danantara disebut-sebut mengambil model dari pengelolaan investasi yang diterapkan Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad milik pemerintah Malaysia. Namun justru 1MDB di Malaysia mengalami skandal, bermula dari lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan konflik kepentingan dan berakhir dengan kasus korupsi besar-besaran. Kisah yang sama dikhawatirkan akan membayangi Danantara tanpa adanya tata kelola yang kuat dan pengawasan independen (BBC.com, 19-2-2025).
Kebijakan Tambal Sulam ala Kapitalisme
Banyak pihak yang menyesalkan tujuan efisiensi yang dilakukan presiden, nyatanya tidak sesuai dengan tujuan awal, yaitu untuk pendanaan MBG (Makan Bergizi Gratis) dan menghentikan pemborosan, korupsi dan kelebihan anggaran untuk hal-hal yang tidak terlalu dibutuhkan di kelembagaan dan kementerian pusat maupun daerah.
Ternyata malah untuk investasi. Dengan mengumpulkan tujuh BUMM dimana keuntungan yang diperoleh tidak akan diserahkan untuk APBN, namun diputar untuk investasi yang dijanjikan lagi untuk pembiayaan pembangunan dalam negeri. Lantas mengapa harus bohong?
Mengapa pemerintah seolah menutup mata atas fakta ini? Jika memang bertindak untuk rakyat maka mengapa melakukan kebohongan atas nama efisiensi? Efisiensi untuk membabat habis korupsi, sementara di tingkat pusat malah terus mengangkat stafsus, wakil menteri hingga retreat kepala daerah setelah resmi dilantik di Magelang dan lain-lain. Rakyat lagi yang tergencet, akhirnya memilih berjuang sendirian.
Baca juga:
Pemangkasan Anggaran Berhemat untuk Siapa?
Inilah dampak penerapan sistem Kapitalisme Sekulerisme telah membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik, pada berbagai bidang dan level jabatan serta para pemilik modal yang mendapat proyek dari negara. Mereka dengan leluasa menguasai akses pada perekonomian yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat.
Sistem Sekuler Kapitalisme tidak mengenal halal haram, asalkan ada modal, kedaulatan negara pun bisa dibeli. Hari ini justru itulah yang tampak di negara kita. Mereka yang berteriak NKRI harga mati, nyatanya bertekuk lutut dibawah korporasi. Negara akhirnya lebih berfungsi sebagai regulator. Terus menerus menggelar karpet merah bagi para investor.
Lelang jabatan sudah jadi kebiasaan, dengan Sistem politik Demokrasi, yang tenar dengan biaya mahal saat memilih pemimpin menjadikan korupsi kian marak. Setiap calon pemimpin pasti akan dibantu dana oleh para investor dengan harapan ada imbal baliknya berupa kebijakan, kemudahan perizinan dan lain sebagainya.
Sistem demokrasi membuka peluang para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat, sehingga siapa pun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal. Ketika sudah duduk di kursi pimpinan, pejabat dan wakil rakyat membuat aturan yang akan makin menguntungkan pemilik modal. Akhirnya negara lemah dihadapan oligarki. Rakyat jadi korban.
Islam Tutup Rapat Celah Korupsi
Bagaimana mungkin terus berharap pada sistem hari ini? Sudah terbukti tak bisa menghentikan korupsi. Nama-nama pejabat sialih berganti menjadi pesakitan KPK, jika belum disebut hanya tinggal menunggu giliran. Miris, korupsi berjamaah sudah dianggap lumrah. Para pejabat yang tertangkap KPK tak sekalipun menunjukkan wajah sedih, sebab mereka tahu, mereka hanya umpan. Ada da otak dari mafia korupsi yang tak tersentuh.
Meski mereka hanya tumbal, namun hidup mereka tak bakal berakhir, masih bisa mencalonkan diri jadi pejabat lagi, contohnya Burhanuddin Abdullah Harahap yang ditunjukan Presiden Prabowo sebagai Ketua Tim Pakar Danantara. Padahal semua orang tahu, Burhanuddin adalah mantan terpidana kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR sebesar Rp 100 miliar.
Baca juga:
Tanpa Syariat Pengentasan Kemiskinan Hanya Ilusi
Pilihan perubahan ada pada Penerapan Sistem Islam , yang pasti akan menutup rapat-rapat celah korupsi, bahkan kemungkinan korupsi menjadi nol. Sebab adanya ketegasan dalam penerapan sistem sanksi sehingga menjerakan.
Rasulullah saw. Bersabda,“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, mereka pun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya.” (HR Muslim).
Berdasarkan syariat Islam, korupsi adalah haram, meski sedikit ataupun banyak. Korupsi dengan nominal berapapun akan mendapatkan sanksi yang tegas. Korupsi terkategori ghulul, baik berupa mengambil harta yang bukan haknya dari uang negara, risywah (suap menyuap), hadiah untuk pejabat dan keluarganya (gratifikasi), dan lain-lain.
Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud).
Pencegahan pertama korupsi adalah dengan menyeleksi para pejabat dari orang-orang yang bertakwa. Kemudian Khalifah melakukan penghitungan terhadap harta pejabat sebelum menjabat dan sesudahnya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, Khilafah menerapkan pembuktian terbalik.
Para pejabat harus mampu membuktikan sumber hartanya, apakah dari jalan yang sah atau tidak. Jika tidak mampu membuktikan, atau terbukti terdapat harta ghulul, mereka akan mendapatkan sanksi yang tegas.
Tindakan korupsi masuk dalam kategori takzir, yaitu uqubat (sanksi-sanksi) yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat di dalamnya. Kadar sanksi takzir berada di tangan Khalifah, tetapi boleh diserahkan kepada ijtihad Qadi (hakim). Sanksi takzir bagi koruptor bisa sampai berupa hukuman mati, jika ijtihad Khalifah menentukan demikian. Koruptor juga mendapatkan sanksi sosial berupa pengumuman (tasyhir) dan sanksi ekonomi berupa pemiskinan.
Di sisi lain , negara juga memiliki sistem pendidikan yang membentuk generasi bersyaksiyah Islamiyyah (kepribadian Islam) yang jauh dari kemaksiatan. Sebab senantiasa merasa diawasi Allah. Ditambah dengan adanya kontrol masyarakat dan penerapan Islam secara kafah oleh negara, korupsi dapat diberantas dengan tuntas. Wallahualam bissawab. [ SNI].
Komentar