Kapitalisasi Pendidikan, Layaknya Hidup dan Mati

Suara Netizen Indonesia–Viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan siswa SMAN 1 Mempawah, Kalimantan Barat  meminta pertanggungjawaban kepada sekolah terkait gagalnya 113 siswanya mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) tahun ajaran 2024/2025. Kepala SMAN 1 Mempawah, Endang Superi Wahyudi, meminta maaf sekaligus mengungkapkan penyebab kegagalan itu karena keterlambatan dalam penginputan finalisasi data di Pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS). 

 

Mirisnya, keterlambatan itu akibat Waka kurikulum yang menjadi penanggung jawab terlalu sering membuat konten pribadi di media sosialnya sehingga tugas pokoknya terlupakan. Miris memang, mengingat Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) ini pasti terjadi setiap tahunnya. Dengan dua jalur utama yaitu SNBP (Seleksi Nasional Berbasis Prestasi) atau eligible, dan SNBT ( Seleksi Nasional Berbasis Tes) atau UTBK ( Ujian Tulis Berbasis Komputer). 

 

Ternyata kasus yang sama juga terjadi di SMK 2 Surakarta. Para siswa menggelar aksi protes terhadap guru-guru mereka yang lalai menginput data mereka ke PDSS. Sejumlah spanduk dibentangkan para siswa di antaranya bertuliskan ‘pray for stemsa’, ‘Guru lalai, kami terbengkalai’, ‘Kami bergak SNBP,’ ‘Oknum Perenggut Mimpi’, ‘RIP SNBP’. 

 

Kemudian Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)17 Makassar. Hal itu disebabkan karena telatnya operator sekolah menginput data-data siswa di Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Ada juga sekolah yang gagal terdaftar SNBP hanya karena titipan satu peserta yang kebetulan anak pejabat (Tribunnews.com, 5-2-2025).

 

Dengan rentang waktu pengisian data dari 06 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025 sebenarnya menjadikan sekolah leluasa untuk segera menginput data PDSS. Sekolah yang telah menyelesaikan finalisasi pengisian tercatat ada 21.003, atau 1.513, angka ini lebih banyak dibandingkan tahun 2024. Demikian pula siswa yang sudah melakukan finalisasi nilai berjumlah 908.128, atau 63.465 siswa lebih banyak dibandingkan tahun 2024. Namun hingga penutupan pendaftaran ternyata ada 373 sekolah teridentifikasi belum mengisi data atau mengalami keterlambatan (ready id, 6-2-2025).

Baca juga: 

Sulitnya Bertahan Hidup, PMI Jadi Pilihan

 

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti membenarkan banyaknya sekolah yang mengalami keterlambatan dalam pengisian Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) yang menjadi syarat Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNPB). Kegagalan tersebut terjadi akibat sejumlah faktor, sebagian alasan rusak karena cuaca, sebagian rusak karena bencana alam dan sebagian karena kelalaian operator sekolah yang ditunjuk (tribunnews com, 4-2-2025).

 

Hasbullah Rahmad, politikus PAN mengatakan jika terjadi kendala teknis digital, bisa diambil solusi mendaftarkan para siswanya secara manual, agar para siswa mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. “Pihak sekolah harus bertanggung jawab, meskipun alasan tidak ter-upload karena jaringan. Menurut saya itu tidak bisa diterima, karena persiapan pelaksanaan ini berlangsung setiap tahun,” tutur Hasbullah Rahmad.

 

Ya memang sangat disayangkan, jalur SNBP memang ibarat jalur sutra bagi anak yang berprestasi, jalur pendaftaran yang dibuka paling awal, harapannya kerja keras selama 5 semester terbayar lunas dengan masuknya mereka melalui jalur ini. Sayangnya, jalur ini tak mudah, seleksi tidak hanya menuntut yang disyaratkan, tapi ada unsur gambling yaitu jika perguruan tinggi suka. Maka, bakal muncul banyak kemungkinan. 

 

Kapitalisasi Pendidikan, Menuntut Ilmu bak Hidup dan Mati

 

Pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini memang tidak baik-baik saja. Anggaran pendidikan yang tersedia tidak bisa mengkover kebutuhan sarana dan prasarana sekolah, banyak gedung sekolah yang roboh, terutama di daerah pinggiran, hingga ada sekolah SMP yang tak punya gedung hingga siswanya terpaksa belajar dengan nebeng gedung SD, dan itu berjalan bertahun-tahun. 

 

Kesejahteraan guru yang tak pernah merata, apalagi ketika pendidikan tinggi diberi keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan biaya lembaganya secara mandiri, UKT kian tinggi. Jalur penerimaan mahasiswa baru justru yang diperlebar adalah jalur mandiri. Pinjaman online diperbolehkan diambil mahasiswa agar bisa bayar UKT. 

 

Pun di tingkat di bawahnya, istilah “beli bangku” atau “jatah guru” sangat lazim di kalangan para wali siswa. Ada uang ada kesempatan, semakin favorit sekolah tersebut biayanya semakin mahal tak banyak yang bisa beli. 

 

Bagaimana dengan kurikulum? Apa yang digadang sebagai kurikulum merdeka nyatanya makin membuat siswa depresi. Banyak yang gantung diri, menandakan mentalnya lemah, jangan kata berapa yang lihai berzina, hamil di luar nikah, pelecehan seksual dan lainnya, apa kabar program penguatan pelajar Pancasila?

Baca juga: 

Bagi-Bagi Bansos Demi Kebutuhan Warga atau Raihan Suara?

 

Kini, di akhir tahun pembelajaran,  para orangtua dihantui dengan rumitnya sistem seleksi penerimaan siswa baru. Mencari tempat menuntut ilmu berikutnya layaknya hidup dan mati. Semua ingin perguruan tinggi negeri favorit. Semua ingin belajar di prodi yang favorit dan “menjanjikan” mudah mendapatkan pekerjaan. Tak jarang penggunaan orang dalam jadi jalan bagi para orangtua agar anaknya bisa lolos. 

 

Tak ada yang salah dengan keinginan orangtua berikut cita-cita para siswa. Masalahnya ketika semua paham bahwa pendidikan adalah kebutuhan asasi setiap individu rakyat, negara tidak serius memberikan pelayanan. Tak hanya soal dana, tapi juga landasan pendidikan yang bisa menghasilkan generasi cemerlang, tangguh sekaligus bertakwa. 

 

Penyelesaian dalam sistem hari ini yang samasekali tidak menyelesaikan persoalan. Selain siswa harus berebut kursi dengan sesama siswa se Indonesia, disebabkan tidak meratanya kualitas pendidikan, setiap jalur pendaftaran mengandung konsekwensi sendiri-sendiri. Terutama pada biaya, yang pada faktanya tidak setiap orangtua bisa memenuhi, akibatnya banyak yang tidak lanjut karena kekurangan biaya. 

 

Islam Jamin Pendidikan Terbaik 

 

Butuh pengaturan yang sebenarnya, dimana pemimpin berfungsi dengan sebenarnya fungsi sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).  

 

Seluruh pembiayaan pendidikan yang disyariatkan diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘aammah, salah satu pemanfaatannya untuk membiayai sektor pendidikan. Hal ini memungkinkan pendidikan bisa dienyam siapapun kaya atau miskin, di kota atau di desa, laki-laki dan perempuan secara murah hingga gratis. 

 

Ditambah adanya wakaf untuk pendidikan dari individu yang kaya dan cinta ilmu. Mereka menyediakan pendidikan gratis, riset, dan lain-lain. Individu Muslim yang kaya didorong memiliki motivasi ruhiah memberikan hartanya untuk dunia pendidikan karena berharap pahala dan rida Allah. Orang-orang kaya di era Khilafah Islam banyak menginfakkan hartanya untuk pengembangan ilmu.

Baca juga:

Ironi Demokrasi Adanya Caleg Depresi

 

Kemudahan berbasis pengurusan negara inilah yang kemudian menghilangkan sekolah favorit, sebab semua dibangun dengan kualitas yang sama, baik infrastruktur maupun SDMnya. Berbeda dalam sistem kapitalisme, pendidikan disetir oleh pasar (market driven education). Pendidikan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar, khususnya pasar kerja, dengan fokus pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang paling relevan bagi para pemberi kerja. Hal inilah yang semakin membuat tajamnya persaingan. Wallahualam bissawab.  [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Ironi PPDB dengan Sistem Zonasi

Sungguh ironi pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB 2023 diwarnai sejumlah keluhan dan kritik. Pasalnya berbagai modus dilakukan agar calon siswa dapat diterima di sekolah favorit melalui jalur zonasi, salah satunya diungkap Walikota Bogor yaitu Bima Arya Sugiarto yang melakukan sidak dan menemukan banyak Kartu Keluarga (KK) palsu yang digunakan untuk memenuhi syarat sistem zonasi.

Dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan nyatanya tidak terwujud sistem zonasi pada PPDB di negeri ini karena sejatinya tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah sistem pendidikan sekuler kapitalis. Inilah akar persoalan sesungguhnya sistem pendidikan sekuler kapitalis telah menempatkan negara sebagai regulator bukan pengurus urusan rakyat. Ini meniscayakan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan, alhasil pendidikan menjadi legal untuk dikomersialkan.

Berbeda dengan sistem Islam dalam Khilafah, kepala negara atau khalifah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan. Hal ini karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat sebagaimana dalam hadis dinyatakan “seorang Imam atau Khalifah kepala negara adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari).

Dengan peran utama ini negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya. Guru kompeten, kurikulum sohih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *