Allah Tak Suka Orang Ingkar (Kafir)

Suara Netizen Indonesia, Agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar (kafir)“. (TQS Ar-Rum:45). 

 

Penggalan ayat di atas cukup mengejutkan, mengingat seluruh isi Alquran tidak ada yang secara spesifik mengatur bagaimana cara hidup orang kafir atau orang yang ingkar dengan kebenaran Alquran. Alquran lebih banyak membahas tata cara hidup sebagai orang beriman. 

 

Malah ayat yang sering muncul adalah perintah perangi orang kafir, dan di Ar-Rum :45 ini Allah jelas menunjukkan kebencian atau ketidaksukaan kepada orang kafir. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Meski demikian, segala rezeki baik terlihat maupun yang tidak, Allah berikan kepada siapa saja, meski kafir sekalipun. Hingga muslim merasa iri, kemudian menghukumi diri yang kafir saja kaya, hidup enak sedang kita susah payah beriman miskin terus. Astaghfirullah..

 

Kata kafir yang dalam proyek moderasi beragama tidak boleh disebutkan kecuali setelah menggantinya dengan non muslim, tetap saja menunjukkan satu keadaan yaitu penolakan atas kebenaran apa-apa yang dibawa Rasulullah Saw. Dan hari ini, kafir bukan saja tampak pada manusia atheis ataupun yang percaya tuhan selain Allah, namun kaum muslim sendiri banyak yang secara dhahir kafir. Baik dari pernyataan, sangsi dan ragu terhadap kebenaran ayat bahkan hingga menyamakan hukum syariat dengan hukum manusia, bahkan lebih rendah. 

Baca juga: 

Hukum Islam Memberantas Korupsi

 

Beberapa waktu lalu, ada dua warga negara menggugat dua pasal di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Admnistrasi Kependudukan yang mengatur soal pemuatan kolom agama di kartu keluarga dan KTP. Kedua pasal itu dianggap mendiskriminasi orang-orang yang tidak menganut agama atau kepercayaan tertentu.

 

Dan keputusan MK adalah menolak tuntutan itu, dalam pertimbangannya hakim konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara “harus beragama atau percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa” (BBC com, 6-1-2025).

 

Dan, tentulah yang bersuara lantang adalah mereka yang mendukung ide sesat ini, Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Setara Institute sekaligus Pakar kebebasan beragama, Halili Hasan, yang menilai putusan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan, putusan terbaru MK itu akhirnya melanggengkan pemaksaan agar setiap warga negara wajib menganut salah satu di antara tujuh agama dan kepercayaan yang diakui negara. 

 

Kemudian, Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Mohammad Iqbal Ahnaf juga menyayangkan keputusan MK tersebut, sebab tak ada aturan perundang-undangan yang eksplisit melarang orang untuk tidak beragama. Namun, ada banyak aturan administrasi yang memaksa orang untuk beragama. Mulai dari saat lahir, menempuh pendidikan, menikah, sampai jadi presiden pun harus disumpah “berdasarkan agama dan keyakinannya”.

 

Baca juga: 

Ironi Demokrasi, Adanya Caleg Depresi

 

Nalar hakim yang kemudian menghasilkan keputusan inilah yang disayangkan oleh Iqbal bahwa kalau tidak beragama, itu dianggap bertentangan dengan ketentuan. 

 

Sungguh, sekulerisme akut di negeri ini membuat kita miris. Padahal dalam Islam, batasan iman dan kafir itu jelas. Mungkin alasan yang memberatkan adalah hukum administrasi di negeri ini, tapi bukankah syariat Islam lebih tinggi dari itu? Bahkan memerintahkan setiap orang yang mengaku Islam untuk taat, tunduk, patuh dan terikat dengan ketentuan Allah tersebut?

 

Tak adanya aturan baku tentang beragama, membuat akidah terguncang. Sebab memunculkan cara pandang semua agama sama, tak boleh mengakui kebenaran hakiki hanya pada satu agama, pluralisme, pindah agama sesuka hati, kolom agama di KTP hanya administrasi, sekadar memudahkan urusan bukan pertanggungjawaban dunia akhirat dan lainnya. 

 

Sementara kafir yang dimaksud ya agama selain Islam, termasuk penganut kepercayaan. Karena mereka nyatanya tak mau mengakui akidah Islam. Itu saja, bukan manusianya. Sebab pada masa Khilafah berkuasa, kafir itu hidup berdampingan dengan muslim tanpa ada kendala. Mereka tidak dipaksa dalam hal akidah, tapi aturan sosial kemasyarakatan hingga negara wajib taat dengan Daulah Khilafah. Mereka di sebut Ahlul Dzimmi

 

Karena hari ini negara mengambil sikap sekuler, tentulah dampaknya tidak ada penjagaan terhadap akidah muslim. Padahal jelas, dengan akidahnya itulah kelak setiap individu muslim akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan akidahnya apakah sudah menjalani ibadah sesuai dengan yang seharusnya, dengan akidah apakah ia sudah berdakwah, amar makruf nahi mungkar dan seterusnya. 

Baca juga:

Moderasi Pendukung Pembangunan Bangsa, Penyesatan!

 

Dengan Allah menyatakan tidak menyukai orang kafir, semestinya menjadi peringatan kepada kita, agar senantiasa menjaga akidah Islam kapan pun dan dimana pun, tanpa mudah dipalingkan dengan tawaran apapun. 

 

Nanti, ketika Daulah kembali tegak, maka hanya ada dua yang mengisi kolom KTP yaitu muslim atau non muslim. Bagi non muslim, negara tidak mengambil alih itu, tapi membiarkan mereka hidup dengan cara mereka, namun negara membatasi hanya berlaku di lingkungan mereka saja. Di luar itu harus tunduk dengan hukum negara. 

 

Hendaknya kaum muslim lebih waspada pada peringatan Allah, dan berproses menjadikan dirinya disayang Allah bukan sebaliknya, dibenci. Sebab azab itu pedih, neraka itu menyiksa. Wallahu a’lam bissawab. [ SNI ].

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *