Pemimpin Baru Tanpa Harapan Baru
SuaraNetizenIndonesia__ Presiden terpilih di negeri ini, diharapkan membawa perubahan dengan visi baru yang mampu menjawab tantangan besar yang dihadapi bangsa, baik ekonomi, politik, hingga isu lingkungan. Mengusung visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045. Prabowo-Gibran yakin hanya dengan persatuan, kesatuan, dan kebersamaan bangsa ini bisa mencapai cita-cita Indonesia Emas.
Astacita adalah visi besar yang diusung oleh pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun beberapa kalangan menilai bahwa akan sulit menuntaskan visi tersebut, seperti pemimpin yang sebelumnya (Antara, 20-10-2024)
Pemimpin dalam Demokrasi
Pergantian pemimpin dianggap sebagian orang sebagai harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Karenanya setiap lima tahun sekali, rakyat antusias dan senantiasa meletakkan harapan yang besar kepadanya.
Hanya saja sangat sulit berharap pada kepemimpinan yang masih mengemban demokrasi. Selama aturan yang berlaku, berasal dari penguasa, maka sepanjang waktu itu pulalah masyarakat dijauhkan dari Sang Pencipta. Demokrasi lahir dari sekularisme, dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin a’nil hayah). Karenanya ia tidak mungkin bertumpu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebaikan dan kesejahteraan akan sulit tercapai melalui sistem ini.
Pemimpin dalam Islam
Berbeda dengan Islam, sebuah sistem kehidupan yang bersumber dari sang Pemilik alam semesta beserta isinya. Di bawah naungannya, akan tercipta rahmat bagi semesta alam. Islam pun menetapkan kriteria pemimpin negara berupa 7 syarat in’iqad, yakni muslim, baligh, adil, berakal, laki-laki, merdeka dan mampu. Ia juga bertanggung terhadap seluruh urusan rakyat, menjaga hak mereka dan menuntaskan problematika kehidupan.
Kepemimpinan dalam Islam dilandasi keimanan dan ketundukan kepada sang Pencipta. Karenanya ia tak akan berlaku khianat dan aniaya. Bahkan sebaliknya, ia menjalankan pemerintahannya dengan penuh ketakwaan, semata-mata untuk menegakkan hukum Allah.
Islam sebagai sebuah kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) juga merupakan mabda yang melahirkan beragam aturan bagi kehidupan manusia. Berbeda dengan demokrasi yang lahir dari kesepakatan manusia, Islam bersumber dari Allah ta’ala. Karenanya menerapkan Islam di semua aspek kehidupan adalah sebuah kewajiban, sebagaimana kewajiban syariat lainnya.
Apabila pemimpin tersebut menyelisihi aturan Allah, terdapat mekanisme Qadi Mazhalim dan Majelis Umat yang akan meluruskan perkara. Menjadi sebuah keniscayaan pada negeri yang diterapkan Islam kaffah, akan didapati kehidupan yang penuh keberkahan. Seluruh individu baik pemimpin negara hingga rakyatnya, menjalani Islam dengan penuh ketaatan. Kepemimpinan dalam Islam meniscayakan terwujudnya kehidupan yang baik. [SNI]
Komentar