Derita Pajak, Derita Rakyat
Suara Netizen Indonesia–Ban Bocor ditambal, beres. Bagaimana bila pajak? Setelah mencuat kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, kini negara bakal kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp300 triliun (cnbcindonesia.com, 12-10-2024).
Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menyebut dugaan hilangnya potensi penerimaan negara sebagaimana yang dibeberkan Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto yang sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai , berasal dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat melakukan perbaikan tata kelola kelapa sawit.
Dimana, BPKP menemukan 4 sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang. Pertama dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma, kedua sawit dalam kawasan hutan. Ketiga dari ekstensifikasi dan keempat dari intensifikasi pajak dari sektor ini.
Baca juga:
Dulu Buru-buru, Sekarang “Boro-boro”
Hashim menyebutkan, Prabowo telah memegang daftar 300 pengusaha yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, yang belum membayar kewajiban pembayaran pajaknya. Data itu diperoleh dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan serta Kepala BKPK Muhammad Yusuf Ateh, dan dikonfirmasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (cnbcindonesia.com, 10-10-2024).
Baca juga:
IPM Tinggi, Indikator Sejahtera Hakiki?
Jika tidak ada perbaikan tata kelola sawit oleh BPKP bisa jadi kasus pengemplangan pajak ini tidak akan diketahui publik. Nilai yang fantastis ini berasal dari akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini.
Satu yang bisa kita lihat, nyata negara tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak. Para pengusaha itu mendapatkan preville atau keistimewaan, bahkan negara cenderung bersikap lunak dengan menggelar berbagai program keringanan pajak semisal tax holiday, tax amnesty dan lainnya.
Sebaliknya, begitu tegas jika berhadapan dengan rakyat. Setiap kebijakan pajak dibuat seolah tak ada celah bagi rakyat untuk berkelit. Beban pajak kian beragam bahkan terus mengalami kenaikan tarif dengan alasan “ penyesuaian” tarif pajak. Bahkan disesatkan dengan slogan orang bijak taat bayar pajak.
Tentu siapa yang tak ingin disebut bijak? Tapi bagaimana menjelaskan ketika negara tak bijak jika sudah berhubungan dengan pengusaha? Antara perusahaan dengan individu memang kebijakannya tentu berbeda, namun tetap ini adalah bentuk kezaliman dan sewenang-wenang.
Baca juga:
Tanpa Syariat, Pengentasan Kemiskinan Hanya Ilusi
Ketika, potensi masuknya uang Rp 300 triliun ke dalam APBN, dan kemudian tidak diterima karena dikemplang jelas akan berdampak pada penundaan pembangunan yang dibutuhkan rakyat, maka rakyat justru makin sengsara hidupnya. Sungguh ini adalah bentuk kelalaian yang nyata.
Islam Wujudkan Pembangunan Tanpa Pajak
Sejauh ini belum ada bukti nyata bahwa perolehan pajak relevan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru rakyat selalu disuguhkan pada drama dan kontroversial pemungutannya.
Negara kapitalis demokrasi seperti Indonesia jelas akan tunduk pada mekanisme yang ditetapkan oleh sistem, dimana peran negara dalam mengurusi rakyatnya dibatasi, kemudian ada itungan untung rugi saat melayani kebutuhan umat.
Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Jelas, seorang pemimpin akan selalu ada untuk kepentingan rakyatnya. Ia adalah orang amanah dan paling takut hisabnya Allah di yaumil akhir. Maka ia akan mengedepankan kepentingan rakyat yang dipimpinnya , bukan yang berani membayar dana tinggi agar bisa di deretan para pejabat.
Pembangunan dalam Islam dibiayai dengan pemasukan negara dari berbagai sumber sebagaimana ditetapkan dalam sistem ekonomi Islam. Yaitu Baitulmal yang berisikan pos pendapat yang berasal dari pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara, kemudian pos zakat.
Kekayaan alam yang luarbiasa menjadi karunia bagi negeri ini, sayang dengan kapitalisme justru menjadi bancakaan perusahaan asing maupun lokal, dengan negara yang legal memberikan izin kepada mereka. Tentulah yang ada hanya eksplorasi dan ambil keuntungan hingga depositnya jauh berkurang dan meninggalkan kerusakan untuk ekosistem dan sosial.
Pajak bukan pendapatan utama negara, sebab dalam pandangan Islam, pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus atau isidental. Semisal karena ada bencana atau kebutuhan khusus lainnya, jihad dan kebutuhan pokok lainnya yang mendesak. Pajak menjadi alternatif yang bisa saja direkomendasikan Khalifah .
Satu lagi, pajak dalam sistem Islam hanya ditarik dari mereka yang memiliki katagori kaya hakiki dan muslim. Tidakkah kita merindukan sistem yang dicontohkan Rasulullah, terus berlangsung? Wallahualam bissawab. [LM].
Komentar