Zakat, Pemberdayaan Ekonomi Tanpa Islam, Zonk!

Suara Netizen Indonesia–Baru saja kita memperingati Maulid Nabi Saw. yang dengannya kita diingatkan, bahwa kelahiran manusia paling mulia di atas muka bumi ini bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian alam. Dengan risalah yang dibawa beliau, manusia diperintahkan untuk menerapkan seluruh aturan Sang Pencipta, Allah SWT. Tapi hingga hari ini, yang terjadi kian melenceng dari yang seharusnya. 

 

Ajaran Islam disinkritisme, disamakan dengan agama lain bahkan dianggap tak ada kebenaran mutlak. Para tokoh muslim sibuk menyanjung tokoh agama lain, marwah Islam tergadai dengan berbagai kepentingan, seolah kafir itulah yang mampu menjadi sandaran terbaik. 

 

Islam, selain dikerat dalam ide nasionalisme juga hanya diberdayakan aspek ekonominya saja. Dan memang potensinya sangatlah besar, ini baru dari zakat. Bagaimana jika seluruhnya, artinya sistem ekonomi Islam kafah yang diterapkan? Tentulah lebih baik lagi. Tapi disinilah perlunya kita menelisik, mengapa hanya zakat saja yang terus menerus jadi fokus perhatian pemerintah. 

 

Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama (Kemenag) Waryono Abdul Ghafur mengungkapkan zakat merupakan salah satu instrumen yang dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat. Dari data yang ia miliki, zakat berhasil mengentaskan 577.138 jiwa dari kemiskinan dengan 321.757 jiwa di antaranya berasal dari zona miskin ekstrem pada 2023 yang lalu. “Ini menunjukkan tren positif bahwa zakat dapat menjadi salah satu solusi efektif untuk mengatasi kemiskinan,” katanya

 

Meski demikian, Waryono menyebutkan terdapat sejumlah tantangan jangka panjang yang masih harus dihadapi oleh para mustahik. Sebagian besar bantuan zakat saat ini masih bersifat konsumtif, di mana program bantuan lebih difokuskan pada kemanusiaan dan kesehatan.

 

Oleh karenanya, ia menekankan upaya lebih dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi zakat sebagai pendorong ekonomi produktif. Salah satunya, yakni dengan kolaborasi lintas sektor antara Kemenag, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI, dan sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia. Kampung zakat menjadi salah satu program unggulan. 

Baca juga: 

Tambahan Anggaran BUMN, Menambah Garam di Luka Rakyat

 

Kampung Zakat  bertujuan meningkatkan kesejahteraan mustahik melalui pemberdayaan ekonomi, dan mencakup berbagai sektor termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya. Mengedepankan prinsip gotong royong dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pengelola zakat yang menjadikan zakat tak sekadar bantuan, tetapi benar-benar mengangkat taraf hidup masyarakat secara holistik. 

 

Program lain yaitu Kantor Urusan Agama Pemberdayaan Ekonomi Umat (KUA PEU). Kemenag juga kembali berkolaborasi dengan BAZNAS dan LAZ untuk membantu pengusaha mikro dan ultra mikro melalui pendampingan, akses permodalan, serta pelatihan kewirausahaan. Pada 2024, terdapat 206 KUA di Indonesia yang terlibat dalam program ini (Republika co.id, 10-9-2024).

 

Kolaborasi Pengentasan Kemiskinan, Tambal Sulam Pengurusan Pemerintah

 

Sangat dimungkinkan zakat mampu mengangkat kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz kebingungan karena tidak ada lagi rakyatnya yang bersedia diberi zakat, padahal harta dari pos zakat menumpuk di Baitulmal. Hal itu karena semua sudah merasa cukup dan negara hadir dengan sebenar-benarnya  mengurusi urusan rakyat. 

 

Jika digali lebih dalam, kesejahteraan yang terwujud bukan semata dari zakat, tapi juga dari pos pendapatan yang lain seperti pos kepemilikan umum, yang berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam, energi dan lainnya. Kemudian dari pos kepemilikan negara seperti jizyah, fa’i, kharaz, luqotoh, bea cukai, harta orang murtad dan lainnya hingga pos pendapatan zakat yang penyalurannya khusus untuk delapan ashnaf sebagaimana yang sudah disebutkan Al-qur’an. 

Baca juga: 

Air Tetap Mengalir, Rakyat Tetap Fakir

 

Mirisnya,  di era kapitalisme saat ini, ada kerancuan yang luar biasa. Menjadikan zakat ( saja) sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan  bukan sekadar dibagikan kepada delapan ashnaf adalah hal yang menyalahi syariat. Apalagi KUA yang kemudian berfungsi ganda selain untuk pencatatan pernikahan juga kolaborasi pemberdayaan ekonomi. Dimana peran negara? Jelas mustahil hanya dengan zakat sejahtera secara holistik bisa tercapai. 

 

Hal ini karena kapitalisme asasnya sekuler, atau pemisahan agama dari kehidupan, sehingga tujuannya hanyalah manfaat. Yang negara pikirkan, jika zakat bisa mengumpulkan dana besar dalam satu waktu, maka alangkah baiknya jika diputar, dibuat modal, kemudian dapat untung. Sungguh konsep yang buruk, terlihat jelas bagaimana buruknya pengurusan negara terhadap rakyatnya. Solusi tambal sulam, sampai kapan pun sejahtera hanyalah ilusi. 

 

Mengapa? Karena sumber kekayaan sesungguhnya yang dimiliki umat tidak tersentuh, yaitu kekayaan alam yang berlimpah. Darat, laut dan udara, Indonesia memiliki semua potensinya. Sayangnya, lagi-lagi kapitalisme merebut dan mengangkangi kepemilikannya dari rakyat. 

 

Padahal Rasulullah Saw. sudah menjelaskan,” Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Kini, dengan modal besar, para investor berusaha mengeruk kekayaan alam Indonesia, bahkan negeri-negeri muslim di dunia yang juga dikaruniai Allah kekayaan luarbiasa. Meninggalkan kerusakan ekosistem namun berhasil mendanai berbagai kepentingan negara termasuk pemilihan pemimpin dan penentuan undang-undang itu sendiri. Kantong para pejabat tebal, rakyat kian miskin, inilah realita sistem kapitalisme. Lantas, bagaimana Islam bisa disatukan dengannya?

 

Kembali Kepada Sistem Islam, Wajib!

 

Asas sekuler kapitalisme inilah akar persoalannya, hingga Islam hanya diambil sistem ekonominya, itu pun masih dicampur dengan beberapa mekanisme sistem kapitalisme, seperti dihalalkannya riba, rusaknya akad syirkah (kerjasama usaha), negara berlepas diri dan mengandalkan investasi asing, dan lainnya. 

 

Islam memandang negara adalah pengurus rakyat, dan tidak boleh lengah dari itu. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). 

Baca juga:

Bukan Sekadar Kunjungan Biasa, Tetap Waspada

 

Syariat menetapkan, harta yang menjadi milik umum dan negara, dikelola oleh negara tanpa melibatkan swasta baik dalam negeri maupun luar. Dan bukan hanya sistem ekonomi nantinya yang berjalan, namun juga sistem pendidikan, kesehatan dan lainnya yang turut menopang terwujudnya kesejahteraan secara riil holistik. 

 

Sebab hasil pengelolaan dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk zatnya seperti BBM, gas, listrik dan lainnya. Dan dalam bentuk pelayanan publik seperti pembangunan sekolah, universitas ,rumah sakit, jembatan dan lainnya. Rakyat tidak dibebani biaya apapun, juga tidak butuh prinsip gotong royong, semua diemban negara. Mekanisme ini telah menghasilkan peradaban luar biasa, sepanjang 1300 tahun dan belum ada tanding. Maka, masihkah ragu untuk kembali kepada sistem Islam? Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *