Tambahan Anggaran BUMN, Menabur Garam di Luka Rakyat

Suara Netizen Indonesia–Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Harris Turino mengapresiasi kinerja apik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Keberhasilan ini tergambar jelas dalam sejumlah indikator, mulai dari peningkatan dividen, pajak, PNBP, hingga laba bersih yang melonjak signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

 

Dengan kinerja dan kontribusi yang besar bagi negara, Harris mendukung penuh usulan tambahan anggaran untuk 2025 sebesar Rp 66 miliar untuk BUMN (republika.co.id, 2-9-2024).

 

Pagu anggaran sebesar Rp 277 miliar atau turun dari anggaran 2024 yang sebesar Rp 284,4 miliar, menurut Harris, tidak adil atas kinerja apik Kementerian BUMN dalam meningkatkan kontribusi BUMN untuk negara.

 

Tambahan anggaran sebesar Rp 66 miliar ini juga dapat mendukung kerja Kementerian BUMN dalam mendorong sumbangsih lebih besar lagi kepada negara di tahun depan.

Baca juga:

Mengkritisi  Platform Umum Pancasila, Oase di Tengah Konflik Global

 

Harris pun berharap Erick tetap menjadi Menteri BUMN di pemerintah berikutnya untuk melanjutkan tren positif BUMN ke depan. Apalagi, Erick Thohir sudah memberikan komitmennya, target dividen 2015 mencapai Rp 90 triliun.

 

Dalam tiga tahun terakhir atau periode 2020-2023, Erick membawa kontribusi BUMN melalui dividen, pajak, dan penerimaan negara bukan pajak (PBNP) melesat hingga Rp 1.940 triliun. Kontribusi BUMN dalam pembayaran pajak terlihat terus meningkat sejak 2020 sebesar Rp 247 triliun, 2021 sebesar Rp 278 triliun, 2022 sebesar Rp 410 triliun, dan 2023 menjadi Rp 457 triliun.

 

Perbaikan kondisi BUMN ini juga dari aspek bisnis adalah dampak dari upaya peningkatan good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik. Salah satunya dengan Program Bersih-Bersih BUMN yang melibatkan banyak pihak.

 

Berbanding mengenaskan dengan anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 nanti. Meski nilainya naik menjadi Rp722,6 triliun, lebih besar dibandingkan dengan APBN 2024 yakni sebesar Rp665 triliun. Namun, anggaran yang akan diterima Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) turun menjadi Rp15,7 triliun.

Baca juga: 

Bicara Jati Diri Ditengah Mindset Pendidikan Tersier

 

Tahun 2025 ini, pagu anggaran Kemendikbudristek ditetapkan Rp83,19 triliun, lebih rendah Rp15,7 triliun dibandingkan pagu anggaran 2024. Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan di forum Raker Komisi X DPR RI dengan Mendikbudristek RI secara daring di YouTube Komisi X DPR RI , bahwa angka pagu menurun secara absolut dan juga secara proporsi (medcom.id, 30-8- 2024).

 

Selalu Kebijakan Disusun Salah Fokus

 

Sungguh mengenaskan, pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok individu masyarakat harus pasrah pagu anggarannya disunat, belum lagi mesti berbagi dengan anggaran program makan bergizi gratis, sementara BUMN yang berkali-kali mendapatkan suntikan dana negara masih akan ditambah lagi.

 

Pertanyaannya, apa sumbangsih BUMN kepada rakyat? faktanya di sistem hari ini, yaitu kapitalisme sekuler, BUMN adalah manifestasi bagi-bagi kue kekuaasaan bagi partai atau pun organisasi masyarakat yang mendukung rezim.

 

Hal itu sangat jelas terbaca sesaat setelah pemilu selesai, beberapa kursi komisaris utama di isi oleh koalisi yang pro rezim. Tanpa ada kapabilitas memadai. Pun tanpa latar belakang pernah memegang kendali sebuah perusahaan.

 

Sebut saja Grace Natalie, mantan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, ditetapkan masuk jajaran komisaris di PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Kemudian ada 39 pejabat Kementerian Keuangan merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan alasan pengawasan keuangan.

Baca juga: 

Tanpa Junnah, Darah dan Nyawa Tak Berharga

 

Jelas hal itu hanya alasan, dan tetap dianggap melanggar aturan serta asas kepatutan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan Ombudsman RI. FITRA mencatat bahwa negara, melalui BUMN, secara akumulatif membayar para pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris setidaknya Rp180 miliar per tahun.

 

FITRA juga mencatata ada 482 komisaris dari 106 BUMN pada 2020. Sebanyak 17,63 persennya diangkat dari kalangan professional, sisanya (82,37%) diangkat berdasarkan pertimbangan politik. Jumlah mereka begitu besar, padahal sudah menjadi rahasia umum kalau kerja mereka kebanyakan hanya “ongkang-ongkang kaki”.

 

BUMN kita pun dalam bentuk muamalah yang sangat tidak disarankan dalam syariah sebagai jalan pengembangan harta. Karena adanya sirkulasi modal non riil, surat berharga, riba dan tak ada badan ( manusia) secara perorang yang menjadi penanggung jawab. Direktur apalagi rapat komisaris hanyalah mewakili surat berharga yang mereka miliki, uang menjadi komoditas.

 

Apalagi jika perusahaan go public, bisa menjual saham kepada khalayak ramai, dengan harga yang murah, publik membeli saham, namun tak pernah bekerja secara riil dalam perusahaan. Hanya menunggu keuntungan atau dividen, dengan catatan jika perusahaan untung. Ini adalah ciri khas perusahaan kapitalis, mau untung tak mau rugi. Apa bedanya dengan berjudi?

 

BUMN secara hukum memang milik negara, namun pada praktiknya BUMN lebih terlihat milik swasta/asing. Ketika status perusahaan negara sudah go public atau terbuka, siapa pun boleh menanamkan sahamnya di BUMN, termasuk swasta/asing. Negara bukan lagi pemegang otoritas aset-aset strategis dan potensial.

 

Parahnya, BUMN yang ada justru menjadi sarang korupsi, sapi perah bagi para pejabat partai dan jelas merugikan masyarakat. Sebut saja Jiwasraya, Asabri, Waskita Karya, Wijaya Karya, Krakatau Steel, Pelabuhan Indonesia, hingga Garuda Indonesia, hingga Erick Thohir meminta pemerintah mengadakan restrukturisasi kepada presiden dan Komisi VI DPR . Benarlah jika usulan penambahan pagu anggaran hanyalah menorehkan luka di hati rakyat, lagi dan lagi.

 

Sistem kapitalisme berduet dengan sistem politik demokrasi dimana dua-duanya berlandaskan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan, tidak pernah bisa dipisahkan dari politik transaksional . Demokrasi adalah sistem berbiaya mahal, sebab itulah yang menjadi “spirit” berjalannya politik ini.

Baca juga: 

Benarkah Nasionalisme Cara Terbaik Mengisi Kemerdekaan?

 

Berharap agar tidak ada politik balas budi atau “bagi-bagi kue politik” dalam sistem demokrasi adalah bagai mimpi di siang bolong. Tidak akan pernah bisa terealisasi. Sungguh aneh jika seorang muslim begitu mengandalkan demokrasi, kapitalisme atau sistem yang lain di luar Islam untuk mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat.

 

Islam, Menjadikan BUMN Sarana Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat

 

BUMN sebagai perusahaan negara, semestinya dikelola oleh negara, mengelola kekayaan negeri yang menjadi milik umum dan negara dengan jalan industrialisasi, dengan mindset keuntungan yang diperoleh untuk kesejahteraan rakyat. Baik dijual zatnya dengan harga murah maupun keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan untuk pendanaan fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan dan lain sebagainya.

 

Jika pun BUMN dalam bentuk jasa, maka selain menggunakan standar halal haram juga berprinsip memudahkan urusan rakyat, singkat, sederhana dan dikerjakan oleh orang yang profesional. Islam akan sangat berbeda dengan kapitalisme. Tidak ada perhitungan untung rugi jika berkaitan dengan jaminan pemenuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.

 

Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila sifat amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya Kiamat.” Orang itu bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Nabi saw. Menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya Kiamat.” (HR Bukhari).

 

Rasulullah Saw. Juga bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Kedua hadis ini menunjukkan bahwa penguasa bukan sekadar mereka yang memegang wewenang kekuasaan, namun juga penanggungjawab seluruh kebutuhan pokok rakyatnya.

 

Kekuasaan bukan sesuatu untuk dibagi-bagi, namun dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. kelak. Maka, dalam Islam tak setiap orang berebut kue kekuasaan bahkan mengharap imbalan mendapatkan sesuatu dari perangkat negara (BUMN) demi kepentingan perut sendiri dan meninggalkan rakyat, melainkan ia mendapatkan azab Allah SWT. Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *