Mengkritisi Platform Pancasila, Oase di Tengah Konflik Global

Suara Netizen Indonesia–Ramai diberitakan imbauan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono agar masyarakat Jakarta mempertimbangkan opsi bekerja dari rumah atau work from home (WFH) secara mandiri demi menghindari kemacetan lalu lintas yang diperkirakan akan terjadi.

 

Jakarta bakal punya dua even besar, pertama kunjungan Pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, Paus Fransiskus pada 3-6 September,  terutama pada 5 September 2024, dimana Paus akan memimpin misa akbar di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Paus juga membawa sejumlah agenda penting yaitu pesan perdamaian, kemanusiaan dan persaudaraan.

 

Kedua, pada hari yang sama, menjadi tuan rumah International Sustainability Forum (ISF) di Jakarta Convention Center (JCC). ISF 2024 merupakan gelaran yang mengumpulkan para pemimpin dunia dari berbagai sektor dan negara untuk bertukar pikiran, menawarkan solusi dan berbagi praktik terbaik dalam aksi iklim (indonesiaberita.co.id, 27-8-2024).

 

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi dan Luar Negeri Kadin Shinta W. Kamdani mengungkapkan, gelaran ISF diharapkan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai pelaku dari ekonomi yang berkelanjutan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun berharap even itu akan menghasilkan banyak kesepakatan.

 

Tulisan ini tak hendak mengkritisi cuitan netizen terkait WFH mandiri, yang tak mungkin mereka lakukan jika perusahaan tidak diimbau juga, mereka bukan pemegang keputusan. Ada pula yang mengatakan bukan pegawai sehingga jika tak bekerja sehari tidak akan mendapat upah.

 

Kritik dilontarkan untuk kehadiran pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, untuk pesan perdamaian, di negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia? Benarkah hanya itu?

 

Ternyata rangkaian acara Paus tidak seremeh itu, pada tanggal 21 Agustus 2024 telah ada kunjungan pemimpin muda Indonesia di Vatikan yang dipimpin oleh Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Addin Jauharudin.

 

Pertemuan dengan Paus Fransiskus di Vatikan tersebut dalam rangka mengkampanyekan Pancasila sebagai platform kebhinekaan Indonesia yang menjadi pandangan dunia baru di tengah konflik global. Program tersebut dikenalkan sebagai Dokumen Abu Dhabi, tentang persaudaraan kemanusiaan sejati, mendorong kolaborasi lintas agama di kalangan pemuda Indonesia.

 

Gus Addin menjelaskan selain kunjungan, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) GP Ansor ini juga menyelenggarakan Simposium Internasional ke-16 yang meliputi kongres, sidang komisi, seminar, dan diskusi isu terkini di Budapest, Hungaria. Simposium tersebut dikemas dalam format hibrid.

 

Diadakan juga seminar akademik yang menghubungkan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara dengan isu nasional dan internasional, yang fokus pada strategi nasional dalam kerangka visi Indonesia Emas 2045.

 

Gus Addin, menginginkan agar Pancasila dapat berperan sebagai model kehidupan berdampingan yang harmonis bagi seluruh umat manusia. Dan PPI berperan sebagai promotor utama dalam mengkampanyekan platform Pancasila. PPI saat ini sudah tersebar di 65 negara yang terdiri 31 negara di Amerika-Eropa, 19 negara di Timur Tengah-Afrika, dan 15 negara di Asia-Oseania (republika.co.id,26-8-2024).

Baca juga : 

Benarkah Nasionalisme Cara Terbaik Mengisi Kemerdekaan?

 

Gus Addin berharap, mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri dapat menjadi pemimpin yang unggul dan memberikan kontribusi signifikan bagi terwujudnya cita-cita Indonesia Emas 2045. Sekaligus menegaskan jika GP Ansor bersama dengan tokoh-tokoh lainnya sangat menyambut dengan tangan terbuka untuk kolaborasi-kolaborasi guna kepentingan bangsa yang lebih besar ke depan.

 

Jika Ruhnya Masih Sekuler Mustahil Diraih Kebaikan

 

Untuk kepentingan bangsa yang mana? Dari asasnya saja sudah keliru. Menjadikan pancasila sebagai platform kebhinekaan Indonesia agar menjadi pandangan dunia baru di tengah konflik global, adalah sama dengan menepuk angin. Tak akan bisa terwujud. Masih hangat peristiwa pelarangan anggota paskibraka muslimah mengenakan jilbab, perintah datang dari kepala BPIP ( Badan Pembinaan Idiologi Pancasila), Yudian Wahyudi, dengan alasan kebhinekaan yang disatukan dalam seragam.

 

Dimana penghargaan atas perbedaan itu, jika sasarannya adalah hijab yang itu menjadi pilihan keimanan seseorang, bukankah memilih agama sebagai keyakinan pribadi adalah bagian dari keberagaman itu, dijamin undang-undang pula. Yudian sendiri pernah melontarkan ujaran kebencian, bahwa musuh utama pancasila adalah agama. Padahal di tingkat global, akan ada banyak agama dan kepercayaan, mampukan Pancasila menjadi pandangan hidup setiap orang?

 

Kemudian, sikap menyandarkan perdamaian pada agama lain selain Islam adalah bagian tak termaafkan sebagai muslim. Semestinya, Islam menjadi identitas bagi setiap pemeluknya, dimana pun berada. Apa yang diharapkan dari Paus Fransiskus? Namun ironi, para pemuda Ansor ini bersikap seolah, dalam Islam tak ada perdamaian, dan kacaunya dunia ini, sehingga perlu digaungkan pancasila dan perdamaian dalam makna global penyebabnya adalah Islam.

 

Apakah mereka lupa mengapa sekuler diambil oleh dunia? Berawal dari pemeluk Kristen yang protes dengan otoriternya gereja dan penguasa. Mereka bekerja sama atas nama Tuhan merampas kekayaan bahkan hak hidup rakyat, masyarakat Eropa memberontak agama mereka sendiri dan menginginkan jalan tengah. Gereja hanya mengurusi ibadah, sementara para tuan tanah yang bersatu dengan rakyat mengurusi dunia. Jadilah hingga hari ini, bahkan ruh pendirian PBB adalah untuk bersatu melawan Islam.

 

Islam menawarkan persatuan hakiki yang dalam pemahaman mereka bakal menghancurkan hegemoni mereka sebagai penjaga sekuleritas. Mereka yang sekuler jelas harus memiliki sistem ekonomi tertentu agar bisa bertahan hidup, lahirlah kapitalisme yang juga asasnya sekuler. Tak kenal halal haram, mengeksploitasi bahkan mengakuisisi kekayaan bangsa lain tanpa ampun. Inikah yang dimaksud perdamaian?

Baca juga: 

Tanpa Junnah, Darah dan Nyawa Tak Berharga

Hilangnya berbagai potensi alam Indonesia baik hutan, laut, sungai, kekayaan hayati, tambang dan energi semuanya tak lagi dikuasai negara, melainkan negara-negara pengusung kapitalisme itu, itulah mengapa negara ,kemudian menerapkan pajak untuk operasional negara. Lantas, sila pancasila yang mana yang mampu memberi solusi?

 

Mungkin karena para penjaga pancasila sudah mendapatkan gaji di atas standar, tapi tak lantas dibenarkan sikap mereka yang acuh tak acuh terhadap kondisi di lapangan, lantas apa yang mereka jaga dari pancasila itu? Yang justru terlihat pancasila lebih banyak berfungsi sebagai alat penggebuk mereka yang tak sepakat dengan keputusan penjaganya, lebih khusus lagi mereka penjaga sekulerisme, melalui pancasila.

 

Saatnya Kembali Kepada Islam

 

Sejatinya, pancasila hanyalah kumpulan nilai dan norma yang telah berkembang di masyarakat Indonesia sejak lama, tapi tak memiliki aturan baku untuk menjaga nilai-nilainya itu sendiri. Yang terjadi, aturan hanyalah kesepakatan beberapa pihak. Maka, pancasila tak layak dijadikan ideologi.

 

Tak ada faktanya di negeri ini orang yang paling pancasilais. Satu sila pun tak ada yang berkesesuian dengan perilaku mereka. Hal itu terlihat jelas saat pilpres dan pilkada hari ini. Jika sila ketiga pancasila yang berbunyi “ persatuan Indonesia”, mengapa para elit politik justru berbeda pendapat, saling loncat kubu untuk mendapatkan manfaat? Mengapa ada politik uang, saling lempar celaan dan makian padahal bukankah seharusnya tujuannya adalah persatuan, sehingga bisa segera fokus untuk urus rakyat?

Baca juga: 

Bicara Jati Diri Ditengah Mindset Pendidikan Tersier

 

Inilah kemustahilan jika asasnya masih sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan. Islam satu-satunya yang mampu mewujudkan persatuan sekaligus perdamiana hakiki. Sebab, Islam bukan datang dari manusia, melainkan wahyu Allah kepada hambaNya, Muhammad.

 

Aturan Islam tidak hanya tentang akidah dan ibadah, tapi semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan manusia dan pemenuhannya. Allah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang diberi kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah beriman”.( TQS Ali Imran:100).

 

Kemudian ayat berikut yang artinya, “Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya (Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu? Barang siapa berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sungguh, dia diberi petunjuk ke jalan yang lurus” (TQS Ali Imran:101).

 

Kita tak boleh lagi terjebak dalam diksi perdamaian ala kaum liberal ini, sebab sandaran mereka kepada non muslim. Selain itu mereka telah mengadakan tandingan hukum-hukum Allah seolah lebih rendah dibanding hukum pancasila. Keimanan mereka patut dipertanyakan. Sepanjang sejarah Islam menguasai dunia hingga 3/4nya, tak ada yang bisa menandingi hingga hari ini. Semua bangsa, budaya, bahasa hingga agama bersatu. Tanpa konflik dan justru muncul sebagai peradaban paling cemerlang , menjadi mercusuar dunia karena penerapan syariatnya, bukan yang lain. Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Quo Vadis Generasi Muda?

Salah satu grup K-pop asal Korea Blackpink, baru saja menggelar konser di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta pada akhir pekan lalu, tepatnya tanggal 11 hingga 12 Maret 2023. Meskipun harga tiket konsernya mahal, tapi laris manis. Apakah ini menunjukan generasi muda yang hedon? dan bagaimana sikap penguasa terhadapnya?

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *