Berharap Kesetiaan Demokrasi, Komitmen Saja Ambyar
Suara Netizen Indonesia–Pilkada segera berlangsung serentak di semua wilayah di Indonesia. Namun yang ditunjukkan justru karut-marut Pilkada, dan jika boleh mengatakan, inilah wajah asli demokrasi. Jangankan berharap pendukungnya akan saling setia, untuk komitmen saja ambyar, alias tak bisa dipercaya.
Dosen Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno merasa yakin, prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapat kekuasaan dengan cara apapun.
Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri. Semua demi keuntungan politik tambah Adi.
Jangan lagi mempertanyakan soal letak idealisme berpolitik, menurut dia hal itu tempatnya hanyalah di ruang kelas dan keranjang sampah. Hal ini karena siapapun sudah tahu di Pilkada hari ini adalah fenomena demokrasi elit. Merekalah yang bisa menentukan seseorang bisa maju.
Hal ini yang terlihat dari hubungan PKS dan Anies yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Kesimpulannya politik kita itu sederhana. Jangan pernah baper. Jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan besok bisa kawan kata Adi (liputan6.com, 11/8/2024).
Tak Ada Komitmen, Apalagi Setia
Apa yang dikatakan Adi Prayitno ada benarnya, bahwa politik kita sederhana, lebih tepatnya primitif. Sebab, buyar begitu saja jika sudah tidak ada maslahat di dalamnya. Seolah sebelumnya di dalam partai hanya ada kumpulan manusia tanpa akal dan perasaan. Kedangkalan berfikir itu tak lebih karena pengaruh dari asas partai itu sendiri yaitu nasionalisme.
Partai berasas nasionalisme ini berangkat dari ide kekuasaan adalah segalanya, ketika kekuasaan sudah diraih, bukan untuk rakyat tapi kembali untuk penyokong dana, timses, para anggota koalisi dan lain sebagainya.
Kita bisa lihat pada peristiwa PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang awalnya mengusung Anis Baswedan-Sohibul Iman (AMAN) sebagai Gubernur dan wakil gubernur untuk bertarung di Pilkada Jakarta.
NasDem dan PDI Perjuangan, yang semula mengatakan hendak mendukung tapi tak kunjung memberikan rekomendasi. Padahal inilah syarat bisa majunya pasangan AMAN ke Pilkada. Kemudian pilihan dukungan berlabuh kepada Koalisi Indonesia Maju (KIM), sampai pada tahapan mengkaji hingga membahas opsi alternatif ketika pasangan AMAN ini tak bisa lanjut karena, akhirnya menemui jalan buntu juga.
PKS tak ada dukungan, terpaksa ambil opsi bergabung atau berkoalisi dengan partai lain yang meski beda ideologi. Karena sejatinya koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’, berbeda pandangan politik pada masa lalu dan lain sebagainya, tak jadi soal asalkan tujuan kekuasaan tercapai.
Dalam sistem demokrasi, Kekuasaan menjadi tujuan. Segala macam cara, akan dilakukan bahkan bisa menghalalkan segala macam cara demi meraih kekuasaan. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan.
Baca Juga:
Gamang di Awal Akhirnya Ikut Mengawal
Demikian pula pemilihan figur semata dengan perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu politik uang menjadi keniscayaan. Rakyat bagaimana, tentulah tidak ada dalam fokus sepanjang perjalanan para calon pemimpin ini maju menuju kursi kekuasaan.
Bagaimana Pemimpin dalam Islam?
Islam menetapkan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Kekuasaan juga hanya untuk menerapkan aturan Allah dan rasulNya. Bukan membuat hukum. Sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus”. (TQS Yusuf 12:40).
Penguasa pun harus memiliki kapabilitas dan integritas karena ia akan menjadi pengurus rakyat yang bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan rakyat dan mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan dnegan berlandaskan syariat islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. ,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Baca juga :
Oh Agustus, Apakah Kita Sudah Merdeka?
Lantas bagaimana bisa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun bersedia dipimpin oleh pemimpin yang tak mengambil Islam samasekali? Bahkan berjuang bersama partai yang mudah terbelokkan arah perjuangannya padahal berasaskan Islam? Mengambil kemanfaatan di dalamnya dengan dalil mengubah dari dalam. Jika melihat fakta ini, apakah masih ada kemungkinan mengubah dari dalam? Yang pasti malah, mereka bertekuk lutut di hadapan aturan sekulerisme.
Saatnya kita berubah, menjadi hamba Allah secara kafah, tanpa mengambil sedikit pun hukum ataupun tatacara selain Islam. Bukankah Allah Swt. telah berjanji bahwa siapapun yang mencari agama selain Islam, menerapkan aturan selain Islam adalah tertolak di akhirat kelak, nauzubillah.
Komentar