Berharap Ada Keadilan Dalam Sistem Demokrasi, Ilusi!

Suara Netizen Indonesia–Berbagai kasus kriminalitas yang terjadi di negeri ini tidak mendapatkan sanksi tegas, setiap kasus yang digelar, putusan sanksi dan hukumnya justru mengoyak nurani keadilan bagi masyarakat, yang viral di antaranya kasus asusila ketua KPU Hasyim Asyari dan kasus Ronald Tannur.

 

Bagi masyarakat, fakta kejadian begitu terang benderang dan proses rekonstruksi yang juga ramai diikuti publik menggambarkan kekejaman pelaku. Alih-alih Ronald Tannur dihukum 12 tahun penjara, hakim malah menyatakan bebas dengan alasan tidak ada bukti yang mendukung peristiwa pembunuhan.

 

Dimas Yemahura, (Dini Sera Afrianti), kepada Hakim Pengawas (Bawas) di Mahkamah Agung dan mendorong jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi, ia merasa harus bekerja sama dengan pihak yang peduli dengan keputusan tidak adil ini.

 

Dengan kesal Dimas menyatakan, keputusan hakimmenunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan di Indonesia (surabayaposnews.com, 24/7/2024).

 

Bukti yang dianggap meringankan pelaku, ketika Ketua majelis hakim Erintuah Damanik di persidangan menyatakan terdakwa Ronald Tannur masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat masa-masa kritis. Dengan membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.

 

Tak beda dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI terkait pemecatan Ketua KPU Hasyim Asyari terkait kasus asusila dengan anggota PPLN Den Haag, Belanda, Cindra Aditi Tejakinkin (CAT), Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan keprihatinannya (JPNN.com, 5/7/2024).

 

Pihaknya mengakui telah beberapa kali memperingatkan Hasyim untuk menjaga lembaga dengan menjaga sikap sebagai ketua lembaga yang sangat penting dan strategis. Kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu itu menurut Doli juga harus baik di mata publik, apalagi dalam waktu dekat akan ada pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

 

Ada tiga hal yang menjadi catatannya, pertama tentang adanya relasi kekuasaan Hasyim sebagai Ketua KPU. Kedua, adanya penggunaan fasilitas negara, dalam hal ini milik KPU RI. Kemudian yang ketiga adalah tindakan asusila. Hanya pemberhentian dari jabatan sangat tidak relevan dengan apa yang sudah diperbuat.

 

Sebagaimana lazimnya, rakyat hanya berhenti sebatas menghujat. Bahkan ketika dihubungkan dengan harta kekayaan Hasyim yang berakhlak cabul merasa sangat menyayangkan, berlimpahnya harta di atas penderitaan rakyat ternyata tak mampu menjadikan Hasyim teladan kebaikan bagi rakyatnya. Bahkan terperosok dalam amal memperturutkan syahwat.

 

Benarkah Semua Karena Kesalahan Sistem?

 

Tak hanya dua kasus di atas yang menggambarkan satu hal, yaitu sistem hukum yang jauh dari keadilan, dan tidak memberikan efek jera. Bahkan hukum dikatakan tajam ke bawah tumpul ke atas. Untuk kasus pembunuhan hanya penjara, untuk kasus asusila hanya dipecat.

 

Jelas ini adalah bukti lemahnya hukum buatan akal manusia yang diterapkan hari ini. Wajar karena manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sering terjebak pada koflik kepentingan. Inilah gambaran sistem hukum dalam demokrasi, yang bahkan juga membuka celah terjadinya kejahatan.

 

Hukum Indonesia buatan Belanda, kafir dan manusia utuh tentulah sangat tidak ideal ketika membuat produk hukum. Bisa jadi, status sebagai anak pejabat parlemem telah membuat seorang Ronald Tannur bebas, dan hal ini bukan rahasia lagi, banyak pesohor negeri, pejabat, ketua geng, dan entah jabatan apapun yang melekat pada dirinya telah mampu membebaskan dirinya dari jeratan hukum.

 

Baca juga: 

Mabuk Sekadar Tren atau Gaya Hidup?

 

Jika pun dipenjara, selain dapat banyak remisi di perjalanan hukumnya juga memiliki kapasitas dewa untuk kondisi penjaranya. Hotel prodeo yang semula hanya sindiran, kini benar adanya. Mereka yang memiliki kekuasaan masih memiliki privasi dari perabotan penjara pilihan, fasilitas hiburan tersedia bahkan bisa beraktifitas di luar penjara barang sehari dua, menikmati gaya hidup bak orang bebas.

 

Tak heran pula jika muncul kasus peredaran narkoba dikendalikan dari dalam penjara. Kasus yang melibatkan pejabat cepat atau lambat akan berlaku efek “ peti es” alias dianggap sudah selesai. Dan inilah sistem yang dimaksud, mampu menyuburkan fakta-fakta di atas. Yang mengaburkan antara benar dan salah, tergantung siapa yang mendapatkannya. Dialah sistem demokrasi.

 

Yang dimunculkan adalah demokrasi hanyalah cara memilih pemimpin, padahal lebih dari itu. Hukum buatan manusia jadi peraturan, manusia saling menundukkan, dengan apa saja yang dimilikinya. Termasuk harta dan kekayaannya.

 

Keadilan Hakiki Hanya Ada Ketika Islam diterapkan

 

Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil hukumnya wajib. Tak ada beda apakah ia anak pejabat, Khalifah atau rakyat jelata.

Baca Juga: 

Beban Keluarga Bertambah, Bisakah Bahagia?

 

Rasulullah Swt., berkhutbah menanggapi sikap kaum Quraisy yang kedapatan salah satu wanita terhormat di kaumnya mencuri, mereka sudah membayangkan hukumnya bagi pencuri itu dan tak pantas ditimpakan pada mereka yang memiliki gelar bangsawan, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

 

Jelas Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, yang berfungsi jawabir (menimbulkan efek jera bagi yang belum melakukan kejahatan) dan zawajir (sebagai penebus dosa di akhirat kelak atas dosa yang diperbuatnya di dunia). Islam juga memiliki definisi kejahatan dan sanksi yang jelas. Tidak mungkin seseorang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman begitu pun sebaliknya.

 

Islam juga memiliki upaya pencegahan yang menyeluruh, melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah. Negara juga membentuk suasana keimanan yang tinggi, menegakkan amar makruf nahi mungkar dan edukasi sosial bagi rakyatnya tentang makna ibadah dan beramal salih.

Baca juga: 

Gamang Awal Akhirnya Ikut “Mengawal”

Tak hanya penguasa, bagi para penegak hukum akan diangkat dari orang yang amanah dan bertakwa pada Allah SWT. Hal demikian karena Rasulullah Saw bersabda,”Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat kelak dan paling dekat kedudukannya dengan Dia adalah seorang pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci dan paling keras mendapatkan azab-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR at-Tirmidzi). Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *