Zonasi Tak Wujudkan Pemerataan Pendidikan Berkualitas
Suara Netizen Indonesia–Ada yang kalut tapi bukan terikat tali, ada yang sakit tapi bukan teriris, dialah Bily Adyaksa (38) , salah satu orangtua siswa yang mendaftar di SMAN 3 Bogor, bersama dengan puluhan orangtua yang lain mendatangi sekolah setelah anak mereka tidak diterima dari jalur zonasi.
Salah satu jalur Penerimaan peserta didik baru (PPDB) adalah jalur zonasi, yaitu di dasarkan pada titik koordinat terdekat rumah calon siswa ke sekolah. Pihak orang tua, termasuk Bily bahkan sampai mengukur jarak ke sekolah dari kediaman mereka secara manual dengan meteran kayu. Rumah Bily hanya berjarak sekitar 900 meter dari lingkungan sekolah. Ada yang lebih dekat, 700 hingga 500 meter juga tidak diterima (beritasatu.com, 20/6/2024).
Sebaliknya siswa dari luar kota Bogor justru diterima lewat jalur yang sama, zonasi. Sungguh wajar jika banyak yang menduga ada permainan di dalam sistem ini.
Ubaid Matraji , Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mengatakan kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021 (tempo.co, 11/6/2024).
Ubaid mengatakan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur. Marak apa yang disebut jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas , pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi dan lainnya.
Bahkan jalur jaringan kepala sekolah bisa jadi tempat kecurangan terbanyak, sebagaimana catatan JPPI. Beberapa kepala sekolah mengumpulkan data dan menunjukkan kepada wali murid soal jumlah kursi di sekolah dengan pendaftar yang tidak imbang. Kondisi itu membuat ada peserta yang tidak lulus. Jika orangtua berani bayar sejumlah uang atau materi pengganti lainnya, maka dijamin (diusahakan) anak yang mendaftar bisa lolos.
Jalur lain bisa melalui jasa titipan lewat guru, jalur komite sekolah, broker atau pihak luar yang kerap membuat orang tua tertipu, serta jatah kursi dari orang dalam. Praktik koruptif ini terus berulang sebab tidak ada jaminan dari pemerintah untuk setiap anak bisa mendapatkan haknya untuk sekolah. Segala cara dihalalkan, muncullah sistem rebutan yang tidak berkeadilan.
Sejak PPDB Jawa Tengah 2024 dimulai dan posko Ombudsman dibuka 11 Juni 2024 lalu sudah menerima 30 aduan. Siti Farida, Kepala Ombudsman Jawa Tengah menyebutkan, aduan terbanyak terkait dengan kuota penerimaan melakui jalur afirmasi. Banyak masyarakat yang mempertanyakan terkait data siswa tidak mampu (RRI.co.id, 16/6/2024).
Jika Banyak Kecurangan Mengapa Tidak Dicabut?
Kewajiban negara atas pendidikan tertera dalam Pasal 31 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta jaminan atas penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Alih-alih amanah UUD 1945 tercapai, yang ada malah kisruh sejak PPDB hingga kelak kelulusan. Mirisnya sistem ini tetap dipertahankan padahal sudah memicu terjadinya banyak pelanggaran dan kecurangan, baik orang tua maupun oknum.
Saking sulitnya mendapatkan sekolah dengan kualitas layak, saking ketatnya persaingan si kaya dan si miskin dalam mengakses pendidikan hingga pragmatisme menjadi satu keniscayaan. Asal masalah bisa teratasi tak lagi peduli bagaimana caranya dan adakah cara terbaik selain yang sudah rutin diterapkan?
Alasan zonasi dijadikan sebagai alternatif jalur pendaftaran adalah untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas layak ditinjau ulang, mengingat realita di lapangan yang justru membawa banyak praktik buruk. Apalagi faktanya, pemerataan dan kualitas Pendidikan yang didengungkan pun tak menjadi nyata.
Kriminalitas di dunia pendidikan tak bisa dibilang sedikit, tingkatannya pun tak bisa dibilang remeh temeh, mulai depresi UKT ,kurikulum , bullying, pelecehan seksual, pemerkosaan, penghilangan nyawa, judi online, pinjaman online, hilangnya adab dan lain sebagainya.
Lembaga pendidikan yang korup, tenaga pendidik yang tak sejahtera hingga masuknya lembaga pendidikan asing (pengusaha pendidikan) yang menawarkan berbagai fasilitas pendidikan berbayar tinggi dan lebih ekslusif.
Bagaimana bisa negara ini berdiri tegak menantang laju majunya peradaban jika diisi dengan manusia berkualitas rendah? Ataukah ini sengaja disetting seperti ini agar Indonesia secara perlahan terkubur bahkan runtuh dan tak berdaulat di atas kakinya sendiri?
Sistem Pendidikan Islam Yang Terbaik
Islam menetapkan Pendidikan adalah layanan publik yang harus diberikan oleh negara pada setiap individu rakyat, dengan mekanisme tertentu yang sudah ditetapkan oleh syariat.
Pemerataan Pendidikan yang berkualitas menjadi satu hal yang akan diwujudkan oleh negara. Dengan supporting sistem Islam lainnya, pendidikan berkualitas dan merata adalah satu keniscayaan.
Tentu dunia tak asing dengan nama-nama ilmuwan muslim seperti Jabir Ibnu Hayyan (perintis teori molekul), Al-Khawarizmi (peletak dasar alogaritma), Al-Farghani (perintis astronomi modern), Al-Jazari (bapak ilmu teknik modern), Ibnu Sina (dokter terhebat dalam sejarah Islam), hingga Al-Dinawari (bapak botani Islam) dan lainnya tentu tidak lahir dari sistem pendidikan yang biasa-biasa saja.
Mereka lahir dari kekuatan pembiayaan negara, Baitulmal dan cakapnya pemimpin dalam Islam yang seratus persen fokus pada apa yang menjadi kebutuhan pokok rakyat, salah satunya pendidikan. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Maka, berdasarkan sabda suri teladan terbaik bagi kaum muslim, segala yang berhubungan dengan pendidikan diampu negara dengan berbagai pelayanan terbaik baik di desa maupun di kota, kurikulum berdasarkan akidah Islam, kesejahteraan guru terwujud dalam bentuk gaji maupun pelayanan kebutuhan pokok lainnya, tak ada otonomi sekolah atau kampus, semua warga yang kaya didorong untuk infak dan waqaf bagi pendidikan dengan negara tak berlepas diri.
Kapitalisasi pendidikan menunjukkan betapa peran negara sangat sedikit dan ini berbanding terbalik dengan sistem Islam. Allah swt.berfirman yang artinya, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Madinah:50). Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar