Kado Pahit Tahun Akhir Ajaran 2024

Suara Netizen Indonesia–Dirilis dari CNNIndonesia.com, Minggu 23 Juni 2024, ada klaim dari pihak kepolisian terkait kasus pencabulan siswi SD berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan oleh para pelajar bejumlah 26 siswa. Sedangkan Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk masih belum mau mengungkap terkait identitas para tersangka karena pelaku rata-rata berusia dibawah umur.

 

Bukan kali pertama kasus pencabulan terjadi di negeri ini, bahkan pelaku adalah pelajar pun sudah tak mengherankan lagi. Penelusuran kasus tersebut memaparkan bahwa para pelaku dan korban bertemu di pesta joget, sudah dilakukan dari bulan April dan baru dilaporkan bulan Mei. Miris,  para siswa prestasinya nihil, malah menyumbang angka naluri binal.

Pesta joget bukanlah tempat yang baik, bahkan bisa dikatakan tempat yang rusak dan tidak layak untuk dikunjungi oleh para pelajar. Bertemunya laki-laki dan perempuan, tanpa ada kejelasan tujuan mengunjungi acara tersebut, lagu-lagu yang mengandung syahwat juga akan mengantarkan naluri mudah terangsang.

 

Belum bicara bahasa tubuh para biduan,  juga pengaruh alkohol akan lekat dalam acara tersebut. Baik individu pelajar, masyarakat, penyelenggara acara joget, maupun negara turut andil dalam kasus pencabulan ini. Tiga pihak sebagai pilar, jika kuat inilah yang akan mengantarkan para pelajar menjalankan dengan benar tujuan hidupnya. Kasus seperti ini bukti kejahiliyahan modern, produk gagasan ide sekulerisme.

 

Sekulerismelah yang mengantarkan negara untuk mendorong setiap individu dan masyarakatnya mengkonsumsi gaya hidup bebas. Usia SD yang seharusnya dalam fase mumayiz, namun justru mengorbankan dirinya dan masa depannya untuk kenikmatan sesaat melayani para pemuas nafsu.

 

Berulang kali kasus demikian terjadi, menandakan ada mekanisme hukum yang salah secara struktural ditambah output pendidikan yang nihil moral.

 

Kasus ini cukup menjadi “kado pahit akhir tahun ajaran 2024” .  Sistem pendidikan yang benar-benar gagal melahirkan individu yang bertakwa, berakhlak mulia. Negaralah yang  menjadi sumber kekerasan sebenarnya, tersebab telah menerapkan aturan yang memberikan celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak.

 

Bahkan sistem sanksi pun tidak mampu mencegah. Andil kementerian khusus pun dengan segala programnya, belum mampu mewujudkan perlindungan anak. Semua karena dilandaskan pada paradigma sekuler kapitalisme, sehingga memandang anak bahkan pelajarpun dengan cara pandang kapitalis, sebagai robot dari sistem pengendali yang rusak.

 

Ruwetnya sistem sekulerisme ini saatnya disudahi, daripada memakan korban selanjutnya. Ketika gelap sudah pekat, maka cahaya ideologi Islamlah yang layak paripurna menjadi sistem pengganti.  Yang mengatur para individu, masyarakat, terlebih negara. Khilafah Islamiyahlah yang akan mendorong setiap individu para pelajar, juga masyarakat memiliki bobot lebih dalam menuangkan setiap nalurinya.

 

Dalam penyaluran naluri sangat mengedepankan iman dan mempertimbangkan dampak buruknya.  Sistem sanksi juga tegas dilaksanakannya sebagai aplikasi dari hukum Islam yang tersirat dalam Alqur’an dan Sunah. Sehingga, para pelajar dan masyarakat sadar benar akan visi misi di dunia yang fana ini sebagai hamba Allah yang beriman, mendedikasikan akhlaqnya untuk agama.Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *