UU KIA Disahkan, Indonesia Emas Bukan Impian
Suara Netizen Indonesia–Polemik terbaru di negri ini adalah disahkannya Rancangan Undang – Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi UU KIA oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 4 Juni 2024. Undang undang tersebut mengatur ketentuan cuti bagi Ibu hamil dan suami yang mendampingi istri selama masa persalinan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) setuju namun merasa perlu adanya penjelasan dari pemerintah terkait indoikator “kondisi khusus” dalam UU tersebut, agar tidak multitafsir dalam penerapannya. Termasuk di dalamnya pengaturan tentang dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi Ibu hamil atau melahirkan. Hal ini penting karena menyangkut produktivitas kerja dan hak pekerja (republika.co.id, 7/6/2024).
Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik mengatakan UU KIA FHKP ini berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha, khususnya skala kecil, sebab perusahaan diwajibkan membayar gaji pekerja yang cuti hamil secara penuh di empat bulan pertama kemudian 75 persen gaji untuk bulan kelima dan keenam.
Perusahaan juga perlu merekrut dan melatih pekerja baru untuk menggantikan pekerja yang sedang cuti dan jelas ini biaya tambahan. Ke depannya, akan berdampak pada produktivitas tenaga kerja, baik nasional maupun di Jawa Barat.
Padahal masalah tingkat produktifitas perusahaan yang rendah masih dihadapi Indonesia hal ini berdasar survei Human Capital Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara. Sedangkan secara nasional, berdasarkan data BPS tingkat produktivitas Jabar pada 2022 sangat rendah, yakni peringkat ke-22 dari seluruh provinsi di Indonesia
Tingkat partisipasi angkatan Kerja (TPAK) Jabar juga masih rendah, di mana pada 2023 TPAK Perempuan 47,98 persen yang jauh lebih kecil daripada laki-laki yang mencapai angka 84,63 persen. Dikhawatirkan kesempatan perempuan bekerja kian sempit akibat disahkannya RUU KIA ini dan menurunkan produktifitas perusahaan.
Apindo Jabar berpandangan dalam hal ini butuh dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha. Sehingga, tetap tercipta perlindungan pekerja perempuan dan juga keberlangsungan dunia usaha.
Partai PKS yang diwakili oleh Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita, menyebutkan perlunya adanya pengesahan UU KIA berkaitan dengan paradigma penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak sebab bagian integral dari keluarga ( liputan6.com, 9/6/2024).
Apresiasi terhadap penambahan kata ayah di UU KIA dalam kewajibannya terhadap keluarga dan peran negara melalui lembaga asuhan anak, kemudian apresiasi atas pengakuan hak laktasi bagi ibu yang bekerja dengan hak mendapatkan kesempatan, serta tempat untuk melakukan laktasi selama waktu kerja.
PKS juga menyampaikan catatan kritis terhadap beberapa aspek UU KIA, seperti tidak dimasukkannya Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, absennya frasa ‘yang terbentuk berdasarkan perkawinan yang sah’ dalam definisi keluarga. Menurut PKS, hal ini merupakan amanat konstitusi yang urgen dan tidak terpisahkan dari hak setiap anak.
Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, mengatakan semestinya masyarakat bangga dengan UU ini. Sebab, UU ini akan menyejahterakan pekerjanya juga untuk meningkatkan kualitas pekerja Indonesia terlebih pekerja selalu di posisi lemah berhadapan dengan perusahaan (tirto.id, 7/6/2024).
Senada dengan Diah, Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri juga meyakini UU KIA akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh. Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas (detikNews.com,7/6/2024).
Kemnaker merupakan salah satu bagian dari kementerian yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA selain KPPPA, Kemensos, Kemendagri, dan Kemenkumham sehingga bisa memastikan pengaturan dalam RUU KIA tidak bertentangan dengan aturan-aturan ketenagakerjaan lainnya.
UU KIA, Benarkah Membuat Ibu dan Anak Sejahtera?
Polemik yang tak berujung, sebagian pihak menganggap RUU KIA masih menyisakan celah dan ambiguitas, sedangkan pihak lain menganggap pembawa angin segar bagi perempuan untuk dapat terus berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja. Apalagi jika dikaitkan dengan cita-cita Indonesia emas 2045, sangatlah pas.
Tanpa sadar inilah penggiringan opini yang kuat kepada penguatan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagaimana paradigma kapitalisme bahwa perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang. Bagi banyak perempuan akhirnya racun ini justru diminum karena dianggap madu. Pandangan terhadap “pekerjaan” sebagai ibu rumah tangga dianggap hina , layu, lemah dan tak berdaya.
Faktanya, cuti 6 bulan tidak cukup untuk mendampingi anak karena anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga mumayyiz (mampu membedakan benar dan salah). Justru pada masa 0 hingga sebelum baligh adalah momentum emas yang tidak bisa diganti dengan apapun. Banyak orangtua yang menyesal saat anaknya menginjak remaja , bekerja atau bahkan hingga berkeluarga tak memiliki konektifitas apapun dengan anaknya sebab hilang masa pengasuhan.
Ketika ibu menyusui dan kontak mata dengan bayi, di saat itulah terbangun ikatan bonding yang tak akan tergantikan dengan apapun, dianjurkan di dalam Alqur’an menyusui selama 2 tahun, dengan kecanggihan teknologi ASI bisa diperah, disimpan hingga tahunan bahkan bisa didonorkan namun tak bisa mengalahkan bayi yang tumbuh dari kasih sayang utuh dengan bayi yang hanya mengenal susu formula.
Apakah Islam Mengatur Produktifitas Perempuan?
Jelas Islam mengatur produktifitas perempuan. Islam agama yang sempurna, tak hanya mengatur ibadah ritual namun juga solusi kehidupan. Dengan segala keistimewaan dalam penciptaan perempuan Islam sangat memuliakan perempuan.
Dan hanya Islam yang tulus memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi berjalannya fungsi strategis dan politis peran keibuan dan membangun profil generasi cemerlang. Perempuan adalah pengemban dakwah, sama seperti pria, punya kewajiban amar makruf nahi mungkar, menebar ilmu, shadaqah, bermuamalah, bergaul dengan masyarakat dimana dia hidup secara syar’i dan sekaligus pencetak generasi gemilang.
Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya kesejahteraan rakyat termasuk perempuan tanpa meletakkan kewajiban mencari nafkah pada Perempuan. Rasulullah Saw. Bersabda,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Hadis di atas menegaskan posisi negara adalah raa’iin yang maknanya pengurus rakyat, bukan sibuk dengan loyalitas kepada kaum kufar, bukan tunduk dengan hukum-hukum Islam, bahkan tidak mengesahkan UU yang hanya menambah beban rakyat.
Sepanjang usianya, perempuan tidak wajib bekerja sebagaimana pria. Ia akan terus menerus dinafkahi oleh ayahnya, kerabatnya jika masih hidup, suaminya, saudara kandungnya hingga jatuh ke negara jika negara tak menemukan lagi garis nasab (silsilah keluarganya). Maka, wajib bagi negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas. Membangun sarana publik yang mendukung kemudahan individu masyarakat mengakses seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan raya dan sebagainya.
Perusahaan juga tidak dipusingkan dengan pembayaran ” kesejahteraan” pegawainya, sebab dalam Islam hubungan pekerja dan pemberi kerja sesuai akad yang menyepakati syarat-syarat pekerjaan dan pengupahan di antara mereka. Negara tidak campur tangan. Sebaliknya, negaralah yang menjamin kesejahteraan rakyatnya individu per individu.
Islam memuliakan Perempuan dengan semua peran fitrahnya, bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkan. Kini, perhatian umat seharusnya berfokus pada pencabutan sistem kapitalisme, dan menggantinya dengan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar