Pajak Menjerat, Rakyat Kian Melarat

 

Oleh : Ika Nur Wahyuni

Suara Netizen Indonesia__ Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga April 2024 sebesar Rp 624,19 triliun. Sementara pada periode yang sama di tahun lalu realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 688,15 triliun. Ini menjadi sinyal peringatan bagi otoritas perpajakan untuk bekerja ekstra keras karena penurunan tersebut.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menerangkan penurunan terjadi karena harga komoditas semenjak tahun lalu masih menekan penerimaan pajak di tahun ini. Sehingga pajak tahun ini tidak sebesar atau melebihi penerimaan pajak tahun sebelumnya. (Kontan.co.id, 29 Mei 2024)

Pajak adalah pungutan wajib yang dibayarkan rakyat kepada negara yang salah satu fungsi utamanya adalah membiayai seluruh pengeluaran negara. Di dalam dunia perpajakan dikenal 2 jenis keadilan yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal. (Musgrave 1990)
Keadilan horizontal diartikan sebagai perlakuan pajak yang sama terhadap entitas yang sama kemampuannya. Sedangkan keadilan vertikal diartikan sebagai perlakuan berbeda terhadap entitas dengan kemampuan yang berbeda.

Pemerintah Indonesia saat ini menganut prinsip keadilan vertikal.
Dimana wajib pajak dengan penghasilan 500 juta rupiah pertahun tidak bisa diperlakukan sama dengan wajib pajak dengan penghasilan 5 miliar rupiah pertahun. Karenanya Pemerintah mengenakan tarif tinggi kepada para wajib pajak dari golongan atas yang notabene diduduki oleh para kapitalis (konglomerat) di negeri ini.

Namun faktanya perencanaan perpajakan (tax planning) dari golongan atas ini cenderung agresif karena golongan ini memiliki akses dan sumber daya yang lebih baik dari golongan menengah ke bawah. Potensi untuk mengeruk pajak dari golongan atas ini sering mengalami kendala besar.

Mirisnya berkurangnya target pemasukan pajak dari golongan atas ini malah memicu Pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang meringankan. Penghapusan pajak (tax amnesty) dan berbagai insentif lain yang menguntungkan bisa dengan mudah dinikmati oleh golongan ini. Bahkan Pemerintah mengubah aturan terkait perpajakan tanpa dianggap melanggar aturan negara demi para kaum kapitalis ini.

Berbeda dengan golongan menengah ke bawah dimana Pemerintah justru mengejar penerimaan pajak hingga ke lubang semut. Berbagai pungutan dan retribusi seolah wajib untuk golongan ini. Tak segan Pemerintah menaikkan pajak penghasilan yang dipotong langsung dari upah mereka karena kebanyakan golongan ini berasal dari kelas pekerja.

Inilah fenomena yang terjadi di negeri penganut sistem kapitalisme hari ini. Kelemahan mendasar dalam sistem ekonomi kapitalisme ialah ketidakmampuannya untuk mendistribusikan kekayaan secara adil kepada rakyat. Ini tercermin dalam kesenjangan ekonomi yang tinggi diantara rakyatnya.

Sebagian tidak mampu memenuhi kebutuhan mendasarnya, di sisi lain ada segelintir orang yang bergelimang harta. Selain itu sistem kapitalisme menjadikan pajak dan utang sebagai salah satu sumber pemasukan utamanya. Untuk diketahui bersama Pemerintahan yang sangat menggantungkan sistem ekonominya kepada penerimaan pajak dapat dipastikan membuatnya tidak mampu menyejahterakan rakyatnya.

Subsidi yang sejatinya hak rakyat dipreteli satu persatu hampir tak tersisa. Para pengemplang pajak dari golongan atas yaitu para kapitalis yang kaya, difasilitasi dengan berbagai kemudahan. Rakyat kecil dikelabui dengan berbagai slogan yang penuh tipu daya, orang bijak taat pajak, bangga bayar pajak, lunasi pajaknya, awasi penggunaannya dan lain sebagainya.

Sistem kapitalisme juga mengajarkan kehidupan sekuler-liberal yang tidak takut bahkan tidak mengenal Tuhan. Menjadikan para pemangku kebijakan di negeri ini niradab dan jauh dari akhlak mulia. Berlomba pamer harta (flexing) di media sosial, tak peduli halal atau haram.

Korupsi pun membudaya terutama “lahan basah” yang kendor pengawasan. Tak terkecuali pada dunia pungut memungut alias perpajakan ini. Para petugas pemungut pajak beramai-ramai terjerat korupsi. Ibarat jatuh tertimpa tangga itulah yang dihadapi rakyat kecil saat ini. Sejahtera hanyalah mimpi manis di sistem batil ini.

Berbeda dengan Islam, sebagai din yang sempurna tentu saja memiliki aturan khas tentang pengelolaan sumber keuangan negara. Dengan bersandar pada ketetapan syariat yaitu Alquran dan sunah Rasulullah Saw, Islam mengatur sistem ekonomi yang apabila diterapkan akan membawa kebaikan sekaligus manfaat bagi seluruh rakyat.

Sumber keuangan negara dalam Islam dibagi dalam beberapa pos diantaranya pos penerimaan dari anfal, fai, ghanimah, kharaj, serta jizyah. Pos kepemilikan umum berupa sumber daya alam (pertambangan, perairan, hutan) yang semua dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh negara tanpa adanya privatisasi oleh pihak swasta/asing seperti yang terjadi di negeri ini.

Adapula pos harta kepemilikan negara seperti gunung, pantai, gedung, instalasi, infrastruktur, bandara, pelabuhan, stasiun, dan lain-lain. Tak ketinggalan penerimaan dari tanah usyur, rikaz, harta sitaan, harta orang murtad, khumus, dan sebagainya. Sehingga negara tidak perlu berhutang untuk membiayai pengeluaran negara.

Pajak di dalam Islam hanya dipungut ketika kas negara dalam keadaan kosong. Dan tidak semua warga negara dipungut pajak melainkan orang-orang yang kaya saja dan itupun akan dihentikan apabila kebutuhan negara sudah terpenuhi. 

Dalam Islam haram memungut pajak apalagi menjadikannya sebagai sumber utama pendapatan negara.
Memungut pajak tanpa hak dipandang sebagai keharaman. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku /pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dengan demikian sumber keuangan negara Islam tidak tergantung pada pajak dan utang melainkan pada sumber yang memungkinkan Islam menjadi negara adidaya yang kaya dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara juga mendorong orang kaya untuk berzakat, infak, dan bersedekah sehingga kekayaan tidak terpusat pada segolongan orang saja.

Keuangan negara dikelola oleh Baitulmal, pengeluarannya pun diatur oleh syariat. Tidak ada celah bagi penguasa termasuk para pejabat negara untuk berlaku curang karena sistem Islam mampu mencetak individu yang bertakwa, takut melanggar syariat dan hidupnya hanya untuk mencari keridaan Allah Swt semata. [SNI]

Wallahualam bisshawab

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *