RUU KIA Harapan Ibu Pekerja Sejahtera?
Suara Netizen Indonesia–DPR RI, 4 Juni 2024 resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi Undang-Undang (suarasurabayamedia, 4/6/2024),
Ada 9 Bab dan 46 pasal di dalam RUU KIA yang mengatur tentang hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggara kesejahteraan ibu dan anak, serta partisipasi masyarakat. Fokus RUU KIA adalah mengatur Kesejahteraan Ibu dan Anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, mulai terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak yang lahir berusia dua tahun. Hal ini sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka. Di antaranya mengatur cuti kerja sesudah melahirkan bagi istri, dan hak cuti mendampingi istri selama proses persalinan bagi suami.
Pasal 4 ayat (3) menjelaskan cuti bagi ibu pekerja ini paling cepat tiga bulan pertama, dan paling lama tiga bulan berikutnya karena ada kondisi khusus yang diperkuat surat keterangan dokter. Artinya, bisa cuti hingga enam bulan hanya jika ada kondisi khusus terkait kesehatan ibu dan bayinya. Jika semua normal maka tetap tiga bulan. Selama cuti, ibu pekerja tetap berhak mendapatkan gaji dari perusahaan dimana ia bekerja bahkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya. Mekanisme pemberian upah seratus persen di tiga bulan pertama, dan tujuh puluh lima persen di tiga bulan berikutnya.
Sedangkan Pasal 6 ayat (2) mengatur tentang hak suami yang mendampingi istri bersalin berhak hak cuti kerja selama dua hari, dan paling lama tiga hari berikutnya, atau sesuai kesepakatan.
Kapitalisme Jadikan Perempuan Obyek Produksi
Meski RUU KIA sudah resmi menjadi UU, tidak serta merta perempuan sejahtera atau semua persoalan perempuan selesai. Dalam sistem kapitalisme UU KIA hanyalah bentuk kompromi atas pandangan dasarnya bahwa perempuan adalah obyek produksi. Ia tak beda dengan pria bahkan mesin di sebuah pabrik.
Harapannya, persoalan yang selama ini mengganggu kinerja wanita pekerja “ selesai” dengan diberikannya perpanjangan cuti bahkan ditambah ada cuti suami dalam rangka mendampingi persalinan. Namun tetap saja tak merubah keadaan bahwa wanita tetap menjadi pekerja, padahal jika ini dilanjutkan dampaknya tidak bisa dianggap sepele.
Memiliki anak, bukan berhenti pada melahirkan dan membesarkannya , tapi mengasuh dan mendidiknya yang dalam sistem kapitalisme hari ini seringkali digantikan kepada orangtua, baby sister atau sekolah yang menyediakan jasa penitipan anak sekaligus baby school. Dimana orangtua bisa “ mempercayakan” tumbuh kembang anak-anak mereka meski mereka sibuk bekerja entah karena kebutuhan maupun tuntutan gaya hidup.
Kapitalisme menjadikan perempuan bak barang, yang dihargai jika menghasilkan nilai (materi). Asasnya yang sekular semakin menjadikan perempuan berada dalam bahaya setiap saat, mulai dari pelecehan seksual, gaji rendah hanya karena perempuan, eksploitasi kecantikan dan lain sebagainya. Belum lagi dengan kampanye ibu rumah tangga tak berharga dibandingkan ibu bekerja. Lebih kuat dari sisi keuangan, jika terjadi sesuatu pada pernikahan maka perempuan tidak akan direndahkan bahkan tidak menderita.
Apapun upaya negara, perempuan tak akan bisa sejahtera secara hakiki. Sebab ini berakar pada cara pandang sistem yang salah terhadap perempuan. Terlebih adakah perusahaan yang bersedia memenuhi kewajibannya ketika pekerja perempuannya hamil lebih dari sekali?
Islam Memuliakan Perempuan
Islam tidak mewajibkan perempuan bekerja, pun sekadar menafkahi dirinya sendiri. Melainkan memberikan kepada walinya atau suaminya. Karena hukum bekerja bagi wanita mubah, maka apa yang dihasilkan dari pekerjaannya bukanlah nafkah. Ketika wanita bekerja di luar rumah wajib terikat dengan hukum syara, baik terkait pakaiannya, interaksinya dan muamalah yang ia kerjakan.
Perbedaan hak dan kewajiban perempuan di hadapan Allah terkait dia sebagai imanusia tak beda dengan pria, wajib shalat, puasa, haji dan zakat, tapi dalam konteks sebagai bagian dari individu masyarakat maka perintah syariat sesuai dengan penciptaan Allah dalam posisi dia perempuan dan pria, seperti dalam hal muamalah, berpakaian, menafkahi keluarga, mengasuh anak dan lain sebagainya.
Allah Swt. Berfirman, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah [2]: 233).
Sangat jelas, bahwa tugas mulia mengasuh dan mendidik anak adalah para ibu (perempuan) sedangkan pria (ayah) adalah mencari nafkah, maka negara wajib menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan ini bagi rakyatnya agar hukum syara bisa diterapkan dan kewajiban tertunaikan. Terutama tugas ibu adalah pencetak generasi cemerlang penjaga peradaban mulia.
Selain itu negara juga wajib mewujudkan kesejahteraan di segala bidang dengan mengurusi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat selain pembukaan lapangan pekerjaan, dari pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang , pangan dan papan.
Tentu negara harus mandiri dan bukan bergantung pada negara lain, sebab hari ini banyak sekali jebakan kapitalisme yang seolah-olah menawarkan kerjasama, investasi dan lainnya, tapi pada akhirnya kedaulatan negara tergadai, negara tak bisa secara mandiri kecuali tunduk pada apa kata asing.
Tak ada jalan lain selain menerapkan Islam dan mencabut kapitalisme, sebagaimana Allah Swt. Berfirman,”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (TQS Al-Ahzab:36). Wallahualam bissawab.
Komentar