ACEH DARURAT KASUS PERCERAIAN
SUARA NETIZEN INDONESIA-Sangat mengejutkan, angka perceraian di Aceh terus meningkat. Dalam periode Januari sampai Desember 2023, Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) mencatat dan mendapatkan data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh terdapat sebanyak 6.091 Pasangan yang mengajukan proses perceraian di seluruh Aceh. Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Bireuen menjadi 5 daerah tertinggi permohonan perceraian tersebut. Angka ini sungguh mengiris hati dan menjadi perhatian publik.
Kasus yang terus meningkat ini layak menjadi bahan diskusi. Mengapa cerai gugat kian menggejala? Mengapa persoalan ekonomi dan pendidikan menjadi faktor penyebab tertinggi yang memicu kasus perceraian? Bahkan yang menjadi semakin ironi adalah fakta bahwa masyarakat menganggap perceraian adalah hal yang lumrah.
Kasus perceraian sesungguhnya merupakan masalah sosial yang tidak lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat. Artinya, masalah perceraian tidak akan lepas dari nilai maupun prinsip hidup yang ada di tengah masyarakat. Prinsip ini lahir dari satu sistem hidup yang mempengaruhi cara pandang masyarakat, termasuk mengenai rumah tangga. Prinsip hidup ini pula yang menciptakan atmosfer yang mendukung langgeng tidaknya sebuah pernikahan.
Jika kita mencermati lebih dalam akan terlihat bahwa problem mendasar pada masalah tingginya perceraian adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang telah berdampak pada kemiskinan di masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para perempuan terpaksa keluar rumah dan berjibaku untuk menopang ekonomi keluarga. Tentu saja, tempat kerja yang tidak ramah dan sistem pergaulan yang rawan godaan telah berkontribusi pada keretakan rumah tangga. Belum lagi tuntutan gaya hidup yang yang menuntut perempuan untuk memenuhi keinginan bukan kebutuhan, padahal penghasilan suami pas- pasan. Dan tidak sedikit cek-cok karena masalah ekonomi berujung pada KDRT.
Selain itu, lemahnya pemahaman agama dan rapuhnya konsep membina rumah tangga acapkali membuat pasangan suami istri kehilangan bekal dalam menjalankan biduk rumah tangga yang penuh onak duri.
Masalah yang terjadi hari ini menjadi semakin kompleks karena sistem kehidupan yang sedang berjalan. Rumah tangga dihadapkan pada sistem sosial yang amburadul, sistem ekonomi yang tidak manusiawi, juga sistem hukum yang berlandaskan pada nilai kebebasan. Sistem politik pun demikian, berlandaskan pada akal pikir manusia, sedangkan syariat Islam seputar pernikahan dan rumah tangga bersifat parsial semata.
Dengan demikian, selama konsep-konsep sekuler kapitalisme ini berlangsung, institusi pernikahan akan terus menghadapi guncangan. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan institusi rumah tangga selain kembali pada syariat-Nya.[SNI]
Komentar