Kekuasaan dalam Islam Menegasikan Fenomena Caleg Stres

Paska pemilu, terdapat berbagai fenomena caleg yang gagal terpilih dan tim sukses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stres, bahkan bunuh diri hingga menarik kembali pemberiannya pada masyarakat. Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang, tetapi tidak siap kalah. Hal ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan sebab keuntungan yang akan didapatkan sangat besar, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar pula. Gambaran seperti ini menunjukkan betapa tingginya biaya model pemilu ini.

 

Melalui akun Instagram @bwi.info dan diunggah ulang oleh akun @jawatimurinfo dituliskan bahwa terjadi di Kecamatan Sempu, Banyuwangi, pada Jumat, 16 Februari 2024, seorang caleg gagal yang mencabut paving block yang telah diberikannya kepada warga. Kemudian, di akun yang sama juga diberitakan, seorang caleg yang menyuruh sejumlah orang untuk membongkar kuburan warga. Kejadian itu diduga lantaran warga sekitar tidak memilih caleg tersebut dalam Pileg 2024.

 

Lain halnya dengan caleg di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Karena tak mendapat banyak suara, ia mengenakan helm berbahan logam dan menyulut banyak petasan di menara masjid di Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Suara rentetan petasan tersebut sempat mengganggu masyarakat. Bahkan ada salah seorang warga lansia yang wafat karena terkejut mendengarnya. Beragam kondisi kejiwaan para caleg dan timses yang gagal, ada yang marah-marah, ada yang justru diam, bahkan telanjang sambil teriak-teriak. Bahkan ada pula yang bunuh diri.

 

Dalam politik demokrasi, manusia berebut kekuasaan meskipun berbiaya tinggi. Sebab posisi tersebut memang menggiurkan dan bergengsi. Dari sisi materi, banyak uang yang didapat sepanjang masa jabatannya, termasuk tunjangan-tunjangan. Sedangkan dari sisi penghargaan, masyarakat sangat menghormati dan masih memandang tinggi kepada orang-orang yang berada di jajaran kekuasaan. Karenanya mereka rela bertaruh dengan menggelontorkan uang besar-besaran, demi mendulang suara.

 

Hanya saja, hal tersebut tidak diimbangi dengan kualitas kepemimpinan. Tidak semua orang memiliki kapabilitas sebagai negarawan. Maka tak ayal saat berkuasa, mereka akan gagal mengemban amanah pengelolaan urusan umat dan membiarkan rakyat terbengkalai, berada dalam kehidupan yang sempit. Sementara amanah tersebut adalah sesuatu yang berat, sebab harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, dan bukan sekadar hak istimewa yang dapat diperoleh siapapun.

 

Dalam Islam, kekuasaan tidak akan diberikan kepada orang yang lemah. Sebagaimana pesan Nabi saw,
Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR Muslim no. 1825)

 

Islam, memandang jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah dan menetapkan agar cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum syara’. Ada 7 syarat in’iqad terhadap bakal calon, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Mahkamah mazhalim akan menetapkan jenis kelemahan yang tidak boleh ada pada seorang khalifah, sehingga ia dikategorikan sebagai pemimpin yang mampu dan memiliki kemampuan. Maka individu yang terpilih adalah orang yang memiliki kepribadian Islam dan bersedia menjalankan amanahnya hanya berharap keridaan Allah semata, bukan karena imbalan materi.

 

Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya kekuasaan memiliki dua kriteria utama, yaitu kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Maksud dari al-quwwah adalah kemampuan dalam menerapkan syariat. Sedangkan al-amanah adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT, sehingga akan berupaya menegakkan hukum Allah.
Sedangkan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan), attaqwa (ketakwaan), dan ar-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).

 

Maka tampak jelas bahwa Islam tidak menyebutkan keharusan adanya sejumlah uang dalam penyelenggaraan pemilihan pemimpin. Dalam Islam, pemilu adalah uslub untuk mencari pemimpin atau majelis umah, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji.

 

Majelis umat dan mahkamah mazhalim akan bersidang siang dan malam agar kekosongan kepemimpinan tidak berlangsung lama. Cara ini pernah dilakukan ketika pemilihan khalifah paska kematian Umar bin Khaththab. Maka kemudian Utsman bin Affan yang terpilih menjadi khalifah, lalu beliau radhiyallahu ‘anhu, dibaiat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

َّ واجْعلَْ لِيّْ مِنْ لَّ دُنْكَ سُلْطٰنًا نَّ صِيْرًا

Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (TQS Al-Isra’ [17]: 80).

 

Imam Ibnu Katsir, mengutip Qatadah, menyatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, menjalankan berbagai kefardhuan-Nya dan menegakkan agama-Nya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, hlm. 1134)

 

Kekuasaan juga harus dibangun di atas pondasi agama, yakni Islam, dan ditujukan untuk menjaga Islam dan syariahnya serta memelihara urusan umat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishaad fii al-I’tiqaad, hlm. 199).

 

Imam al-Mawardi juga mengatakan, “Berdasarkan dua hal ini (menjaga urusan dunia dan urusan agama) wajib mengangkat Imam agar menjadi penguasa saat ini, pemimpin umat, bertujuan agar agama terpelihara dengan kekuasannya, dan kekuasaan berjalan di atas ajaran-ajaran agama dan hukum-hukumnya.” (Al-Mawardi, Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn, hlm. 220).

 

Maka kekuasaan dalam Islam adalah untuk menerapkan hukum Allah SWT, bukan untuk prestise atau meraih materi yang banyak. Waja’aly min ladunka sulthanan nashiira.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *