Teladan Dalam Bingkai Kemanfaatan Sampaikah Kepada Tujuan Bernegara?

Apa yang tidak mungkin dalam demokrasi? Narapidana atau mantan narapida bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, ODGJ ( Orang Dalam Gangguan Jiwa) punya hak pilih, mereka yang melakukan tindakan pelecehan terhadap simbol negara dan agama malah jadi duta. Mantan Napiter (Narapidana terorisme) bisa jadi agen demokrasi. 

 

Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, 25 Januari 2024, Saat ini terdapat ratusan eks napiter ( narapidana terorisme) yang telah menjadi agen demokrasi dan membantu pemerintah memerangi terorisme. Jelang pemilihan umum (pemilu), mereka pun mengajak masyarakat untuk menyukseskan proses demokrasi lima tahunan ini agar berlangsung aman, damai, dan lancar.

 

Salah satunya adalah Munir Kartono, eks napiter kasus pengeboman Mapolresta Solo. Munir membagikan pengalamannya mengikuti program deradikalisasi selama masa tahanannya, di mana dialog, diskusi, dan brainstorming diadakan oleh pihak BNPT, Densus 88, akademisi, hingga para tokoh agama. 

 

Yang sebelumnya, Munir menganggap Indonesia sebagai negara thogut yang tidak menjalankan syariat Islam. Namun, pemahaman baru tentang maqashid syariah dan sejarah peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia membuka pandangannya menjadi lebih luas dan sesuai semangat Pancasila dan NKRI.

 

“Masyarakat perlu memahami bahwa pemilihan umum adalah proses berdemokrasi di Indonesia yang telah diatur oleh konstitusi, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentu tidaklah tepat jika ditabrakkan pada tafsiran agama yang keliru, mengatakan bahwa proses demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam. Justru hal ini dapat membahayakan persatuan Indonesia,” kata Munir.

 

Ia menambahkan, di atas konstitusi Indonesia inilah, banyak agama dan kepercayaan yang dijamin untuk bisa tumbuh dan berkembang, termasuk Islam. Munir berharap agar pemilu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan positif. Ia menegaskan bahwa pemilu tidak berkaitan dengan status keimanan seseorang, dan apapun pilihannya, tidak boleh digunakan untuk memutuskan kekafiran atau keislaman seseorang.

 

Duta Demokrasi, Pertanyakan Dimana Iman Islam?

 

Sungguh miris membaca fakta ini dan betapa naifnya sosok Munir, merasa sudah melakukan yang benar. Padahal jelas ia semakin jauh dari Islam, agama yang masih ia yakini. Program deradikalisasi ini yang perlu kita waspadai, jika terus berlanjut yang dikhawatirnya justru inilah yang menyebabkan bluder di masyarakat. Sebab, tanpa penjelasan utuh dan berimbang dengan kemampuan berpikir benar yang rendah dari masyarakat Indonesia malah akan berujung pada stigmatisasi negatif tentang Islam dan ajarannya.

 

Buruk rupa kaca dibelah, siapa yang memunculkan istilah terorisme pada awalnya? Tentulah para kafir barat yang amat takut Islam akan kembali menguasai dunia. Sementara di Indonesia, kata terorisme menjadi proyek bancakan lembaga-lembaga negara dengan mengatasnamakan deradikalisasi.

 

Dikatakan proyek karena munculnya aksi penangkapan teroris selalu menjelang libur Nataru (Natal dan Tahun Baru) atau saat pesta demokrasi akan digelar, persis seperti saat ini. Sementara di hari lain sepi dalam pemberitaan. Padahal ini adalah bagian perang panjang yang sudah mereka mulai oleh Amerika dan antek-anteknya dengan sebutan perang global melawan teror atau global war on terrorism (GWoT).

 

Terlebih karena negara pengemban idiologi pesaing, ideologi sosialisme komunisme yaitu Uni Soviet sudah runtuh pada 1991, maka ancaman hanya akan datang dari sisi Islam (khilafah) yang mereka yakini akan meluluh lantakkan idiologi kapitalisme yang mereka emban.

 

Untuk itulah, terminologi “terorisme” memang sengaja disematkan untuk menstigma berbagai gerakan yang melawan hegemoni sistem sekuler kapitalisme neoliberal, khususnya gerakan-gerakan yang mengusung visi perjuangan menegakkan kembali sistem kekhalifahan pada era kekinian.  Memberdayakan “mantan teroris” bak menelan ludah sendiri namun sangatlah keji, inilah bukti wajah demokrasi sesungguhnya, bermuka dua. 

 

Dengan kejam pula,  dengan sadar negara sedang melakukan adu domba antar sesama muslim, dengan alasan menjaga persatuan bangsa dan negara dalam bingkai demokrasi. Naasnya, ada banyak orang yang sudah kehilangan nyawa hanya karena dituduh teroris, mereka tak pernah bisa membuktikan benar salahnya tuduhan atas mereka. Sedangkan yang hidup malah menjadi corong demokrasi batil. 

 

Masyarakat memang telah kehilangan rasa dan cara berfikir benar, “kebodohan” politik jelas telah mengakar di dalam benak masing-masing individu pun mereka yang mengaku muslim. Demokrasi sejatinya bukan sekadar jalan untuk memilih pemimpin, tapi lebih dari itu, demokrasi meniscayakan manusia untuk membuat hukum. Jika ia muslim jelas bertentangan dengan firman Allah swt. Yang artinya,” Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus” ( TQS Yusuf 12:40).

 

Lantas, darimana keyakinan itu datang yang mengatakan pemilu tidak berkaitan dengan keimanan dan barang siapa yang mencampur adukkan dengan agama justru memecah belah persatuan?  sungguh luar biasa kebatilannya! Ayat Allah swt. Samasekali tak dianggap, jangankan menggetarkan hati bahkan telah menggeser akidahnya yang amat berharga. Astagfirullah, siapakah sekarang yang pantas disebut terorisme sejati? Negara atau kaum Muslim?

 

Teladan Dalam Bingkai Kemanfaatan Adalah Sampah!

Kaum Muslim tak boleh terjebak dengan narasi dan berbagai program yang intinya memojokkan Islam sebagai “trouble maker”. Inilah hasil rekomendasi lembaga RAND Corporation kepada pemerintahan AS yang kini sedang running di seluruh dunia Islam, bahkan masuk ke dalam rencana pembangunan negara mereka yang didukung pendanaan yang cukup besar.

 

Mereka hendak menenggelamkan Islam dengan dua cara yaitu pendekatan hard power seperti pemaksaan negara-negara di dunia untuk mendukung GWoT. Kedua AS melalui lembaga-lembaga internasional juga intens menggunakan strategi soft power dengan cara menjauhkan umat dari pemahaman yang lurus tentang Islam.

 

Salah satunya melalui pengarusan gagasan moderasi Islam (menyelaraskan Islam dengan ide-ide Barat) dan berupaya membangun jaringan muslim moderat dalam skala lokal maupun global, sekaligus menjadikan demokrasi sebagai pilihan politik. 

 

Agen demokrasi yang digagas sebagai bentuk teladan adalah ide sampah, sebab masih ada kemanfaatan di dalamnya, yaitu tersampaikannya ide penjajah kafir agar Islam tak benar-benar menjadi way of life kaum muslim. Maka kita harus membumikan pemikiran bahwa Islam  bukan ancaman bagi perdamaian bahkan persatuan bangsa, melainkan sistem kapitalisme sekaligus demokrasilah, karena keduanya  asasnya sekuler.

 

Justru tidak ada kebangkitan hakiki kecuali dengan Islam. Dan wajib bagi siapapun yang beriman kepada Allah yang satu dan Muhammad adalah utusan Allah untuk terikat dengan hukum syara. Wajib pula berjuang melanjutkan kehidupan Islam sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasul dan para sahabat dan pemimpin muslim selanjutnya dalam bingkai khilafah.

 

Allah swt. Berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”( TQS al-Mâ`idah 5:50). Wallahualam bissawab.

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *