Mahalnya Biaya Demokrasi, APBN pun Terimbas
APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rencana keuangan negara dalam anggaran satu tahunan, seluruh operasional negara disandarkan kepadanya. Per Oktober 2023 ini, pemerintah mencatat realisasi belanja sebesar Rp 2.240,8 triliun. Adapun realisasi ini setara 73,2 persen dari pagu yang ditetapkan pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan realisasi tersebut mencakup belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Tercatat belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 768,7 triliun atau 76,8 persen dari pagu.
“Belanja yang cukup terlihat adalah dari mulai pelaksanaan Pemilu, pembangunan IKN, penyelesaian infrastruktur prioritas, dan berbagai belanja bansos. APBN telah membelanjakan pemerintah pusat Rp 1.572,2 triliun, 70 persen dari total pagu anggaran pada tahun ini sudah terbelanjakan,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTA, Jumat (24/11/2023).
Kemudian belanja nonkementerian/lembaga sebesar Rp 803,6 triliun atau 64,5 persen dari pagu yang digunakan pembayaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik, program Kartu Prakerja, subsidi pupuk, dan pembayaran pensiun. Dengan total belanja Rp 1.572,2 triliun ini belanja pemerintah pusat dibandingkan tahun lalu adalah turun 5,9 persen. “Inilah makanya penting pada November-Desember ini, belanja K/L dan belanja non K/L nanti akan semakin disisir untuk melihat apakah mereka bisa merealisasi seluruh alokasi yang sudah dipagukan di dalam APBN,” ucap Sri Mulyani.
Kesimpulannya, Sri Mulyani berpendapat kinerja APBN pada Oktober 2023 resilien (kemampuan yang dihasilkan dari dalam diri individu agar mampu menyesuaikan ketika dihadapkan dalam situasi atau kondisi yang tidak menyenangkan) dan tetap terjaga baik dengan realisasi yang memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat Indonesia. Akselerasi belanja dan upaya mengantisipasi perlambatan pendapatan akan terus ditingkatkan untuk menjaga momentum pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, serta ketidakpastian ekonomi global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, aktivitas pemilihan umum 2024 bisa menjadi salah satu stimulus pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam APBN 2023 dialokasikan anggaran belanja pemerintah pemilihan umum sebesar Rp 11,52 triliun dan pada 2024 dialokasikan Rp 15,87 triliun. “Secara keseluruhan memang estimasi bahwa pemilihan umum 2023 kurang lebih 0,2 persen dari pertumbuhan ekonomi 2023, dan 2024 sekitar 0,25 persen,” ucap dia.
Febrio menjelaskan, belanja pemerintah pemilihan umum biasanya selalu meningkat. Hal itu secara langsung atau tidak juga mempengaruhi konsumsi masyarakat dan aktivitas ekonomi nasional. “Tentu ini berdampak langsung dari belanja pemerintah dan aktivitas ekonomi masyarakat, juga termasuk bagaimana aktivitas dari kampanye. Ada banyak sekali caleg baik dari DPR pusat dan DPRD provinsi kab/kota,” kata Febrio (republika.co.id, 25/11/2023).
APBN Mayoritas Berasal Dari Penerimaan Pajak
Angka penerimaan pajak mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu disebabkan oleh penurunan signifikan harga komoditas turunnya nilai impor dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela. “Sampai Oktober total penerimaan pajaknya 5,3 persen pertumbuhannya jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang naiknya mencapai 51,7 persen,” ucap Sri Mulyani (republika.co.id, 24/11/2023).
APBN Untuk Perekonomian atau Riayah Rakyat?
Sangat jelas betapa APBN yang seharusnya murni untuk jaminan tercapainya kesejahteraan rakyat faktanya jauh panggang dari api. Pajak yang menjadi sumber pendapatan mayoritasnya mengalami penurunan namun pengeluaran terbesar justru untuk pelaksanaan Pemilu, pembangunan IKN, penyelesaian infrastruktur prioritas, dan berbagai belanja bansos. Padahal semua yang disebutkan di atas di lapangan benar-benar tidak berhubungan dengan kebutuhan rakyat. Tetap saja jargonnya tingkatkan perekonomian, nasib rakyat tak benar-benar jadi perhatian. Rakyat butuh tindak nyata.
Namun inilah syahwat penguasa dengan ruh kapitalisme, justru menjadikan rakyat sebagai tumbal “ pembangunan” dan kemajuan bangsa. Pajak terus digenjot, entah itu rakyat kaya atau miskin. Sebaliknya segala potensi yang dimiliki negara dari mulai hutan, laut, barang tambang, mineral dan minyak bumi, bahkan tak lagi bersisa untuk rakyat, semua ditawarkan kepada asing. Baru saja tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) diperpanjang kontrak izin usaha pertambangan khusus ( IUPK), dan dengan luwes pemerintah mengemukakan alasannya.
“Masalah kendali. Kendali itu ada bermacam kendali. Pertama kendali operasional itu penting sekali. Kedua kendali finansial itu juga penting. Kendali rekrutmen SDM itu penting, kendali pembelian itu juga penting terakhir tentu kendali untuk manajemen fungsi,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno (tirto.id, 22/11/2023). Belanja Bansos dianggap besar padahal banyak dikorupsi, pembiayaan IKN mengobrak-abrik APBN padahal hampir semua pembangun di sana adalah investor bukan negara, apalagi pembiayaan infrastruktur prioritas yang ujungnya menambah tinggi puncak utang Indonesia ke luar negeri.
APBN, Jika Boncos Mengapa Tidak Beralih Sistem?
Demokrasi sebagai sistem politik hari ini, sudah bukan rahasia lagi memang berbiaya mahal. Dan ternyata negara memberikan dana untuk partai-partai yang ikut serta dalam pemilu. Keboncosan APBN jelas terjadi, karena pemimpin yang kelak terpilih sudah pasti tak memiliki cita-cita mengubah nasib APBN menjadi lebih baik. Bahkan lebih keji, akan terus menjajakan setiap jengkal tanah negeri ini untuk dikelola asing, nantinya memang pajak yang akan didapat negara, tapi kali ini sekaligus dengan kedaulatan negara. Karena dalam setiap investasi yang ditanam ada kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi negara, inilah penjajahan gaya baru, bukan angkat senjata tapi penguasaan pengaturan negara secara terbuka. Mereka hanya mengamankan perut pribadi dan pihak yang membiayai kemenangannya.
APBN pun seringkali menderita kekurangan, banyak dari lembaga-lembaga pemerintahan yang tidak bisa melayani rakyat secara optimal karena keterbatasan dana. Jika bukan dikorupsi, memang bukan ranah yang menjadi fokus penguasa. Sehingga dampaknya, kemiskinan tetap terpelihara, Stunting tetap tinggi, bencana alam bertubi-tubi, dan lain sebagainya.
Bukankah seharusnya ada langkah perubahan? Mengganti sumber pendapatan negara yang lebih baik dan stabil? Dan hal itu hanya ada dalam sistem Islam. Baitul Maal adalah sistem keuangan yang ditetapkan syariat dan telah terbukti mampu membawa kesejahteraan sepanjang sejarah kaum muslim berjaya di dunia. Berbagai fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, dan lainnya terakses dengan mudah oleh rakyat dan gratis.
Perkara pemilihan pemimpin, sepanjang sejarah Islam, menggunakan metode yang sederhana dan murah, tanpa kampanye berbelit-belit dan menghadirkan orang-orang yang dikenal masyarakat memang memiliki kapabilitas sebagai pemimpin. Negara bertindak sebagai periayah (pengurus) rakyat tanpa motivasi ambil untung rugi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw. , “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Rakyat bukan sekadar kantung penghasil naiknya elektabilitas calon pemimpin tapi amanah yang harus tertunaikan. Inilah bedanya sistem demokrasi dan Islam.
Baitul Maal berasal dari hasil pengelolaan kekayaan kempemilikan umum ( barang tambang dan sebagainya), kekayaan kepemilikan negara ( fa’i, jizyah dan sebagainya) dan zakat. Negara mengelola semuanya secara mandiri, tidak melibatkan asing apalagi berutang kepada lembaga keuangan dunia dan bertindak sebagai wakil rakyat, sebab sesungguhnya terhadap kepemilikan umum rakyat memiliki hak yang sama. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”(HR. Abu Dawud dan Ahmad). Wallahualam bissawab.
Komentar