Rakyat Baku Hantam, Penguasa Bahu Membahu

Bentrokan dua kubu terjadi di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), pada Minggu (15/10/2023). Kapolresta Magelang, Kombes Ruruh Wicaksono mengatakan, tak ada korban jiwa maupun luka yang perlu mendapat perawatan medis akibat kericuhan tersebut, namun ada 11 motor rusak diamuk massa. Selain itu, kaca pada dua rumah dan satu bangunan panti asuhan pecah. Kombes Ruruh mengatakan juga bahwa pihaknya tak menahan orang atau kelompok yang terlibat dalam bentrokan tersebut. “Tidak ada yang kami tahan,” tegasnya.

 

Waspada Potensi konflik Menjelang Pemilu

 

Pemilihan umum yang diadakan setiap lima tahun sekali, selalu membawa dampak yang tidak main-main. Tak hanya saling sindir antar pendukung partai bahkan hingga harus kehilangan nyawa. Demi sebuah keyakinan dan solidaritas. Mirisnya, di akhir pemilihan umum, para pemimpin itu berangkulan, saling bahu membahu hingga koalisi, sementara rakyat gigit jari karena sudah kehilangan banyak hal, baik materi, maupun nyawa keluarganya.

 

Keberpihakan rakyat kepada partai hari ini umumnya karena faktor emosional, simbol dan figure, tanpa pemahaman yang benar akan arah dan tujuan partai. Keterikatan demikian memudahkan terjadinya gesekan antar individu atau kelompok lantaran kuatnya sentimen atau ego kelompok dengan pemicu yang sangat sepele.

 

Mirisnya perselisihan lazim terjadi di akar rumput, padahal para elit partai justru bekerja sama demi tercapainya tujuan. Fakta ini selaras dengan ungkapan ‘tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan abadi’. Di sisi lain, umat juga diberi pemahaman yang salah terkait politik, digambarkan bahwa politik itu kotor, hanya pantas dilakukan oleh elit politik yang memiliki kedudukan atau jabatan. Akibat ketidak pahaman fakta politik inilah yang akhirnya menjadi senjata makan tuan.

 

Berbagai simbol atau kode dilakukan oleh pelaku politik di negeri ini, seperti yang kemarin viral, yaitu undangan makan siang dari Presiden Joko Widodo kepada para calon presiden yaitu Anis Baswedan, Prabowo dan Ganjar Pranowo. Mungkin maksudnya ini untuk menunjukkan kepada masyarakat netralnya pemimpin kita dalam berpolitik, sehingga tak ada lawan. Semua bisa berjalan beriringan.

 

Masyarakat juga mungkin belum lupa, bagaimana bergolaknya partai dengan lambang kepala banteng karena salah satu kadernya justru dijadikan calon wakil presiden oleh partai dengan lambang pohon beringin. Ujung-ujungnya ada yang turun gunung bersiap menggugat nyatanya malah mendukung. Dan hal ini adalah sebuah keniscayaan, tak ada perseteruan yang benar-benar berakibat perpecahan. Bahkan inilah cara para elit politik negeri ini melakukan “ tes of water” seberapa kuat pengaruhnya di masyarakat dan seketika itu akan diketahui potensi suara yang bisa didulang. Rakyatnya masih saling bermusuhan, pejabatnya justru sudah membagi kue kemenangan siapapun presiden yang terpilih.

 

Mereka membela partai hingga rela memutus tali silah ukhuwah antar sesama manusia. Seolah pilihan mereka benar dan yang berbeda adalah musuh. Sejatinya umat harus paham tujuan yang hendak diraih dan waspada akan pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan individu atau kelompok. Politik demokrasi memang merusak, asas manfaatnya sangat kental sebab azasnya adalah sekuler, atau memisahkan agama dari bermasyarakat bahkan hingga bernegara.

 

Maka harus ada pihak yang wajib membangun kesadaran umat secara hakiki dan menjadikan akidah sebagai asas dalam kehidupan dan membangun persatuan umat. Itulah partai yang sahih, landasannya adalah akidah Islam bukan yang lain.

 

Politik Dalam Islam: Riayah

 

Islam membolehkan adanya banyak partai sebagai sarana melakukan muhasabah namun tetap terikat aturan Allah dan RasulNya dan saling menghormati dalam menjalankann amanahnya. Partai harus ada dan tumbuh bersama-sama umat, sebab dialah motor penggerak masyarakat.

 

Segala penderitaan umat hari ini akarnya adalah penerapan sistem yang tidak berbasis akidah Islam. Dan partailah yang membeberkan kepada umat. Ketika sudah paham problematika utamanya, kemudian sepakat dengan solusi hakiki yang ditawarkan partai maka umat pasti terdorong untuk melakukan perubahan. Tentu menuju perubahan yang hakiki, bukan semu semacam hari ini.

 

Pemilu yang seharusnya melahirkan pemimpin yang bisa menggalang perubahan, namun dalam demokrasi justru pemimpin baru hanya melanjutkan kebijakan pemimpin sebelumnya. Hal ini karena demokrasi adalah sistem politik yang mahal, butuh pendanaan yang luar biasa, di dapat dari mana jika calon pemimpin atau partai hanya mengandalkan pendanaan pribadi, butuh asupan dari luar, siapa lagi yang bisa menyanggupi syarat itu kecuali para oligarki atau pemodal besar?

 

Maka, hanya Islam yang memaknai politik adalah riayah atau pengurusan urusan umat. Dengan syariat. Maka setelah calon pemimpin memenuhi syarat in’iqad yaitu pria, muslim, merdeka, baligh, adil dan mampu maka akan segera diajukan sebagai calon. Konsepnya adalah mudah, murah dan cepat. Pemilihan pemimpin tak boleh lebih dari tiga hari, baik pemimpin sebelumnya meninggal dunia atau mengundurkan diri. Cara pemilihannya boleh dengan pemilu. Yang jelas, tidak berlama-lamanya mekanisme pemilihan ini adalah karena kaum muslim tak boleh kosong dari pengurusan pemimpin, agar kebutuhannya segera bisa dipenuhi. Dan tidak ada bahaya yang menimpa rakyat itu sendiri. 

 

Tak ada politik lobi-lobi atau koalisi sebagaimana dalam demokrasi, sebab menjadi pemimpin dalam Islam murni hanya sebagai penerap sistem Islam , bukan yang lain. Sebab, berbagai aturan yang hendak diterapkan di masyarakat adalah milik Allah sebagaimana firman Allah yang artinya, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus” (TQS Yusuf 12:40). Wallahualam bissawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *