Bencana Kelaparan Papua : Bukti Nyata Penjajahan Kapitalisme
Bencana kelaparan melanda Papua tepatnya di wilayah Kabupaten Puncak, Papua Tengah, akibat kerawanan pangan dan cuaca ekstrem. Hal ini menyebabkan warga kesulitan mendapatkan bahan makanan dan air bersih. Sebanyak lima warga dan seorang bayi dari distrik Lambewi dan distrik Agandugume meninggal dunia. Sementara itu sebanyak 7.500 jiwa lainnya terkena dampak kekeringan di kedua distrik tersebut.
Penguasa Saling Lempar Tanggung Jawab
Hal yang paling penting untuk disorot dalam musibah ini adalah sikap para penguasa yang saling lempar tanggung jawab satu sama lain. Keterangan-keterangan yang disampaikan soal kejadian dan kelambatan penanganannya saling berbeda. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian misalnya menyatakan bahwa bantuan terlambat dikirimkan karena awalnya pemerintah tidak bisa mengirimkan makanan ke sana. Hal ini karena bantuan hanya dapat disuplai melalui jalur udara sementara penerbangan tidak dapat dilakukan mengingat ancaman kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua (republika.id pada 3/8/2023).
Senada dengan Tito, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menyatakan pengiriman bantuan terkendala akibat gangguan keamanan dari kelompok separatis. Namun pernyataan tersebut ditepis oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Yudo justru menampik adanya gangguan keamanan dari kelompok separatis dalam distribusi bantuan bencana kekeringan dan kelaparan di Kabupaten Puncak. Yudo malah mengklaim bahwa distribusi terhambat murni disebabkan oleh cuaca dan akses menuju wilayah tersebut.
Menariknya Presiden Jokowi sendiri mengindikasikan bahwa gangguan keamanan memang menghambat penanganan kelaparan di Papua Tengah. Sementara Wakil Presiden RI, Maruf Amin memastikan meninggalnya enam orang di Papua Tengah bukan karena kelaparan namun dikarenakan terjangkit diare dan cuaca ekstrem. Pandangan yang sama disampaikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Demikian pula Sekretaris Daerah Kabupaten Puncak, Darwin Tobing menegaskan tidak ada kelaparan di wilayah kerjanya.
Kelaparan selalu Berulang
Bencana kelaparan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia bukan kali ini saja terjadi di Papua. Bencana serupa tercatat terjadi pada bulan Agustus 1982 di Kayuwage, Jayawijaya dengan korban 112 orang meninggal. Pada Juli 1984 korban mencapai 231 orang meninggal di Paniai. Pada Oktober 1997 korban mencapai 24 orang meninggal di Sinak dan Ilaga Puncak Jaya. Pada 1998 korban sejumlah 60 orang meninggal di Kurima, Jayawijaya. Pada Desember 2005 kembali 55 orang meninggal di Yahukimo. Bulan September 2009 korban sejumlah 92 orang meninggaldi Yahukimo. Pada bulan Juni 2015 korban sejumlah 11 orang meninggal di Lanny Jaya dan pada bulan Agustus 2022 korban berjumlah 4 orang meninggal dunia di Lanny Jaya (republika,id pada 5/8/2023).
Paradoks Negeri Berlimpah Emas
Hingga hari ini bantahan seputar penyebab meninggalnya warga Papua masih mengalir di kalangan elit. Tentu sangat menyedihkan menyaksikan fenomena musibah kelaparan terus berulang nyaris tanpa solusi. Sementara mereka adalah rakyat Papua, negeri yang dikenal sebagai tanah yang penuh keajaiban. Papua terletak di ujung timur Indonesia dengan sumberdaya alam yang melimpah. Negeri ini telah menjadi medan pertempuran kepentingan asing untuk menjarah harta kekayaan rakyat Papua atas nama investasi dan proyek-proyek pembangunan yang tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Papua.
Berdasarkan data BPS Tahun 2022 Papua menduduki peringkat pertama provinsi termiskin di Indonesia dengan angka kemiskinan mencapai 26,80% jiwa. Padahal BPS Papua 2020 mencatat bahwa Papua memiliki 184 perusahaan penanaman modal dalam negeri dan 232 penanaman modal asing termasuk Freeport. Namun perputaran uang dan investasi tidak memberi efek bagi kesejahteraan rakyat Papua. Sementara indeks pembangunan manusia (IPM) Papua pada Oktober 2022 mencapai 61,39 tertinggal cukup jauh dari IPM rata-rata Indonesia yang berada di level 72,91.
Disisi lain Papua kehilangan kekayaan hutan secara masif dalam dua dekade terakhir padahal hutan Papua secara mendunia bersanding dengan Amazon dan Kongo. Data Global Forest Watch, Universitas Maryland, Amerika Serikat, mencatat bahwa tahun 2001-2020 Papua kehilangan 438 ribu hektar hutan. Lima kabupaten dengan deforestasi terluas adalah Merauke, Boven Digul, Nabire, Mimika dan Mappi.
Terdapat empat jenis perizinan usaha yang berdampak besar pada deforestasi yaitu pertambangan, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan perkebunan kelapa sawit.
Penguasa telah mengklaim melakukan sejumlah usaha untuk mengeluarkan Papua dari jerat kemiskinan, antara lain dengan pemberian dana otonomi khusus sejak 2001. Catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pemerintah telah menggelontorkan dana sebanyak Rp 138, 65 trilun hingga tahu 2021 lalu.
Sekali lagi teori big push tidak bekerja sebagaimana teori multiplier effect investasi juga gagal di peroleh. Hal tersebut karena sejak awal persoalan kemiskinan di Papua bukanlah kemiskinan biasa melainkan kemiskinan sistemik yang terstruktur. Dalam hal ini masyarakat bukan miskin karena mereka malas atau sumber penghidupan yang sulit melainkan mereka memang dengan sengaja dimiskinkan melalui pola pengelolaan politik ekonomi. Dalam hal ini penerapan sistem kapitalisme menjadi sumber penderitaan rakyat Papua.
Separatisme di Bumi Papua
Pengelolaan Papua yang berorientasi pada kapitalisme menciptakan kondisi yang tragis bagi masyarakat. Inilah akar dari separatisme di Papua. Bahwa eksploitasi yang barbar atas sumberdaya alam Papua oleh korporasi di dorong oleh kebijakan kapitalistik pemerintah Indonesia sendiri. Wajar kiranya jika sebagian rakyat Papua telah mengalami distrust. Bagaimana tidak? Alamnya rusak bersanding dengan human insecurity menghadirkan perasaan tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Penjajahan Kapitalisme itu Nyata
Sejatinya kekurangan pangan bukan lagi menjadi tantangan masyarakat dunia saat ini karena masalah yang sebenarnya terletak pada aksessibilitas terhadap pangan yang dihalangi oleh sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan profit dibandingkan penderitaan orang-orang yang kelaparan. Terdapat fakta di sejumlah negara dimana produksi pertanian dan makanan melimpah-ruah karena tingginya teknologi pertanian yang diterapkan, namun pada saat yang sama 75 persen bahan makanan tersebut terbuang sia-sia bahkan sebelum mencapai tangan konsumen.
Sementara di bahagian dunia yang lain menderita kelaparan. Menurut Global Report on Food Crisis 2022, kerawanan pangan akut (acute food insecurity) dalam skala global terus memburuk dalam beberapa tahun belakangan. Kerawanan pangan akut ini adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu mendapatkan makanan yang cukup sehingga hidup mereka terancam.
Namun pun demikian, terdapat fakta dimana dunia pada hakikatnya memiliki kekayaan yang cukup untuk mengatasi kelaparan, hanya saja kekayaan ini berada dalam genggaman segelintir orang. Menurut laporan Oxfam, jika keuntungan korporasi-korporasi bahan bakar fosil diakumulasi selama 18 hari, maka angka yang didapat lebih dari cukup untuk mengatasi kelaparan dunia. Keuntungan itu cukup untuk memenuhi permintaan PBB sebesar $49 miliar untuk bantuan kemanusiaan di tahun 2022.
Di Indonesia kapitalisme bekerja secara sistematis memiskinkan masyarakat. Negara tidak berdaya memberi jaminan kehidupan yang layak bagi rakyatnya, ketimpangan antara mereka yang kaya dengan yang miskin semakin lebar, melanggengkan ketergantungan utang luar negeri, suplai pangan yang mengandalkan impor dan tidak peka terhadap ancaman krisis.
Kita mendapati fakta bahwa lebih dari 70 persen aset nasional produktif yang sebagian besar berupa tanah dikuasai 0,02 persen penduduk (Winoto, 2007). Pada gilirannya, struktur penguasaan asset produktif ini telah melahirkan proses pemiskinan dalam periode panjang.
Kecemerlangan Islam Mengatasi Kelaparan
Musibah yang menimpa Papua karena cuaca ekstrem belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan krisis ekonomi yang menimpa pemerintahan Khilafah Islamiyah di masa Khalifah Umar bin Khathab. Masa itu dikenal sebagai masa kelabu dan wabah penyakit Amwas. Pada masa itu (18 Hijriyah) kemarau dan kelaparan hebat menimpa jazirah Arab. Khalifah senantiasa hadir membersamai rakyat dengan menjadikan dirinya sebagai teladan bagi yang lain. Dimasa kelabu itu Khalifah Umat ikut menderita hingga warna kulitnya berubah kelam.
Untuk mengatasi kekurangan makanan, Umar memerintahkan didirikan pos-pos dan dapur umum. Dimasa itu telah berdiri dar-ad-daqiq, sebuah lembaga perekonomian yang bertugas membagi tepung, mentega, kurma dan anggur. Setiap malam Umar berpatroli dan memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikan kepada rakyatnya.
Selain itu Umar menulis surat ke berbagai wilayah perwalian negara agar mengirimkan bantuan, tungku-tungku Umar terus beroperasi hingga musibah ini berlalu. Umar juga menghentikan hukum had pada masa kelaparan dan menunda pembayaran zakat pada tahun kelabu.
Sejarah mencatat bahwa Umar senantiasa mengingatkan rakyatnya untuk bertaqwa kepada Allah. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Sa`idah, ia berkata, “Saya melihat Umar bila usai shalat Magrib menyerukan, ‘Wahai manusia, memintalah ampunan dan kembalilah kepada Rabb kalian, memohonlah dari karunia-Nya, mintalah hujan rahmat bukan hujan azab’. Umar terus menyampaikan hal tersebut hingga Allah melenyapkan kemarau.
Demikianlah teladan Umar sebagai seorang pemimpin yang mengalami krisis. Padahal krisis ini merupakan sunnatullah, yang pasti dialami oleh berbagai umat, negara dan bangsa. Sunnatullah pasti berlaku dan tak dapat diubah.
Sebagaimana kita tak dapat mengubah bahwa cuaca ekstrem yang menimpa Papua Tengah memang merupakan bagian dari fenomena alam. Namun ditengah kemajuan teknologi pertanian dunia seharusnya penanganan terhadap krisis kelaparan di Papua dapat diatasi sedini mungkin. Apalagi krisis ini memang merupakan krisis tahunan, mestinya penguasa telah memahami pola tersebut dengan baik.
Namun sejauh ini kita melihat usaha tersebut senantiasa terlambat atau diberikan sekadarnya, sehingga korban terus berjatuhan. Hal tersebut terjadi karena krisis yang menimpa rakyat Papua bukanlah sekadar sunnatullah namun merupakan krisis sistemik yang memerlukan penanganan yang sistemik pula.
Oleh sebab itu telah tiba waktunya bagi bangsa ini untuk melakukan taubat, terutama taubat dalam mengambil kebijakan sistem politik. Kapitalisme telah nyata menyengsarakan rakyat, maka sistem politik Islam akan menjadi solusi alternatif bagi permasalahan Papua. Sistem Islam meniscayakan pemimpin yang amanah, pengelolaan kepemilikan umum dengan pengembalian profit kepada masyarakat dan pengelolaan ekonomi yang adil termasuk peningkatan IPM melalui pendidikan, kesehatan dan keamanan yang cuma-cuma oleh negara.
Wallahu`alam.
Komentar