Bagaikan Ayam Mati Di Lumbung Padi…

Kabar duka datang dari Papua. Kali ini bukan tentang ulah kelompok bersenjata. Melainkan terdapat enam orang warga meninggal dunia kelaparan akibat bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Lebih menyedihkan lagi, dari enam orang tersebut, satu di antaranya adalah anak-anak.

Terhadap hal ini, jangan heran jika publik mulai bertanya-tanya. Mengapa Papua, daerah kaya dengan sumber daya alam sampai bisa begitu merana? Sudahlah tambang emasnya dieksploitasi besar-besaran, masih juga rakyatnya ada yang kelaparan hingga meregang nyawa. Meski ada analisa yang mengaitkan sebabnya dengan faktor ekstrem cuaca, namun tetap saja berarti sudah terjadi pula eksploitasi terhadap hutan ‘perawan’ Papua. Bukankah hutan sejak dulu sudah  jadi habitat sumber penghidupan sebelumnya dari masa ke masa?

Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), luas tutupan hutan di Kalimantan, Papua, dan Sumatra sudah berkurang 956.258 hektare (ha) selama periode 2017-2021. Angka tersebut setara dengan 0,5% dari total luas daratan Indonesia. Memilukan. Padahal dengan kandungan emas 240 kg yang dikeruk setiap harinya, dan luasan 33.710.523,22 hektar hutan alami yang dimiliki sebelumnya, harusnya mampu menyejahterakan masyarakat Papua. Sayang, kenyataannya tak seindah harapan. Angka kemiskinan masih bertengger di kisaran 20,10 juta jiwa per September 2022. (cnbcindonesia.com, 16/1/2023) Ditambah lagi dengan korban kelaparan yang wafat baru-baru ini.

Lebih jauh terkait hutan, sejak lama Walhi yaitu lembaga yang fokus pada penjagaan lingkungan mengungkap berlangsungnya penjarahan hutan di Papua. Menurut Walhi, hal tersebut berlangsung atas nama logika investasi atau ekonomi kapitalistik yang dikendalikan negara dan korporasi alias oligarki. Ada pun rakyat, tinggal gigit jari.

Pernyataan Walhi tentu ada benarnya. Segala kebijakan yang cenderung memihak kepentingan oligarki, sungguh lazim dalam penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sebab sistem ekonomi yang berinduk pada ideologi kapitalisme ini meyakini bahwa distribusi barang dan jasa berjalan efektif bila roda perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar. Maka, negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator laiknya wasit dalam pertandingan sepak bola. Dengan prinsip tersebut, pemerintah terlarang melakukan intervensi guna memperoleh kemaslahatan bersama. (wikipedia)

Maka dalam pandangan kapitalisme, sah saja jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan pada korporasi melalui pemberian hak konsesi. Perusahaan selanjutnya hanya tinggal membayar pajak ke negara. Namun, tak ada makan siang gratis bukan? Alih-alih bersyukur mendapat hak konsesi dengan mengelola sebaik-baiknya, yang ada adalah eksploitasi tanpa peduli dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Risiko hutan menjadi gundul, tercemarnya sumber air dan udara, tak mengapa, asalkan bisa tetap melenggang sambil menggenggam cuan berlimpah di tangan.

Karena itu, selama kapitalisme yang merupakan ideologi buatan manusia ini konsisten diterapkan, penderitaan yang sejak lama dialami rakyat akan semakin bertambah. Derita di atas derita. Sengsara di atas sengsara.

Lain halnya bila Islam yang diterapkan secara kafah. Di bawah tuntunan syariat, negara diwajibkan mengelola dan menjaga alam lingkungan. Tak hanya itu, khalifah sebagai kepala negara juga siap menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang coba merusak alam. Seperti pelaku pembalakan liar dan pembakaran hutan. Alasannya, dalam Islam terdapat yang dinamakan kepemilikan umum selain milik individu dan negara.

Rasulullah saw. bersabda,
“Kaum muslimin berserikat atas tiga hal, air, padang rumput dan api.”(HR. Abu Dawud)

Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama mujtahid mutlak, kepemilikan umum adalah izin Asy Syari’ yaitu Allah swt. untuk memiliki dan memanfaatkan sesuatu secara bersama. Maka, hadis di atas menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, termasuk hutan di dalamnya. Islam melarang hutan dan yang terkandung di dalamnya untuk dimiliki, baik oleh individu maupun negara itu sendiri. Meski begitu, individu tetap boleh memanfaatkan hasil dari hutan secara terbatas seperti ranting kayu, madu, rotan dan sebagainya selama tidak membahayakan atau menghalangi individu yang lain melakukan hal sama.

Islam mewajibkan pula negara sebagai wakil umat mengelola hutan dan sumber daya alam lainnya yang jumlahnya tak terbatas. Tidak untuk diberikan pada individu maupun swasta. Sebab hasil pengelolaan nantinya bakal dikembalikan pada rakyat sebesarnya guna mewujudkan kemaslahatan. Antara lain, dalam bentuk berbagai subsidi fasilitas umum, sarana pendidikan hingga kesehatan hingga bisa diakses cuma-cuma.

Dengan Islam, akhirnya segala penderitaan umat manusia akibat penerapan kapitalisme dapat dieliminasi dari muka bumi. Tak akan ada lagi ayam yang mati di lumbung padi. Hanya saja, penting untuk selalu diingat bahwa mengadopsi syariah Islam secara totalitas dalam kehidupan bukan semata karena maslahat yang dijanjikan Allah, lebih utama karena iman kita yang menuntut konsekuensi. Wallaahua’lam.

 

 

Artikel Lainnya

Menyambut Ancaman Kekeringan Indonesia, Sudah Siapkah Kita?

Musim kemarau mulai menyapa Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk mengantisipasi potensi bencana kekeringan pada musim kemarau.  Dilansir dari laman Republika.co.id (7/6/2023), Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan, fenomena El Nino semakin menguat dan ditambah adanya Indian Ocean Dipole (IOD) menuju positif dapat memicu kekeringan di Indonesia.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *