LPG Melon (Kembali) Langka, Ada Apa?

Dilansir dari Muslimah News, NASIONAL — Liquefied Petroleum Gas atau LPG 3 kg dikabarkan mengalami kelangkaan di beberapa daerah, seperti di, Banyuwangi dan sejumlah wilayah di Pulau Sumatra dan Sulawesi.
Tirto.id – “Kami mengimbau kepada seluruh masyarakat, jadi kalau ada kelangkaan di daerah mana pun atau ketika melihat distribusi LPG Subsidi yang kurang tepat sasaran silahkan lapor agar bisa langsung untuk ditindaklanjuti”. Dengan peran kerjasama aktif masyarakat, diharapkan bisa membantu peran Pertamina dalam menjaga kestabilan pasokan LPG di seluruh Indonesia, ujar Nicke Widyawati.

Menurut Bapak Joko Widodo selaku Presiden Indonesia, kelangkaan itu disebabkan gas yang diperuntukkan masyarakat miskin ini diperebutkan oleh banyak pihak. “LPG itu, terutama yang bersubsidi, ini memang diperebutkan di lapangan. Itu harus digarisbawahi, hanya untuk yang kurang mampu. ” ujar Presiden Indonesia dalam keterangannya seperti yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (24 -7-2023). Ketika mendapat pertanyaan apa penyebab pasti dari kelangkaan tersebut?, Jokowi tidak bisa menjelaskan secara rinci. Ia mengatakan hal tersebut merupakan urusan Menteri BUMN Erick Thohir.

Menyoroti kelangkaan gas melon 3 kg, Dr. Fahrur Ulum, M.E.I. ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) mengatakan, ini lebih karena kebijakan.
“Sebab Kelangkaan ini sebenarnya bukan semata karena faktor alam, tetapi memang karena faktor kebijakan,” tuturnya di salah satu media : “Gawat, LPG Langka!” melalui kanal Khilafah News, Rabu (26-07-2023). Kemudian mengatakan, kebijakan itu berawal dari konversi minyak tanah ke LPG pada 2007. “Sebenarnya di tahun tersebut, produksi LPG sudah mengalami beberapa kali penurunan yang sangat drastis, tetapi di tahun itu pula ada kebijakan konversi minyak tanah ke LPG”.
Padahal, ada LNG (Liquifiid Natural Gas) yang produksinya terus meningkat, bahkan di ekspor secara besar-besaran. Selain itu, LNG lebih bersih emisinya dan lebih aman penggunaannya.
“Tapi konversi yang dilakukan itu lebih memilih LPG dibandingkan LNG. Alasannya LNG terlalu high cost jika diberikan ke masyarakat bawah. Maka atas dasar itu diambil keputusan LPG yang digunakan, padahal produksinya terus menurun. Ini awal munculnya persoalan LPG itu,” jelasnya.

Berdasarkan data pada tahun 2022 dan 2023 permintaan LPG demkian besar, hingga mencapai 8 juta ton. Sementara produksi dari LPG Indonesia, menurut Fahrur hanya sekitar 2 juta ton, yang berarti defisit 6 juta ton, dan yang defisit ini kemudian ditutup dengan impor.
“Ini menjadi permasalahan. Untuk itu, kelangkaan di masyarakat itu sangat mungkin terjadi ketika ada kendala sedikit saja. Selain itu, subsidi untuk impor gas dikurangi sehingga menjadi langka,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi kelangkaan LPG 3 kg, menurut penuturan Fahrur pemerintah saat ini sedang menggencarkan melempar kepasaran LPG 3 kg nonsubsidi yang harganya sekitar Rp56.000. “Begitulah cara negara mengatur penjualan kepada rakyat. Mempersedikit subsidi, kemudian digelontorkan yang tidak bersubsidi, dan yang tidak bersubsidi ini akan menambah keuntungan pundi pundi untuk Pertamina, walaupun membebani rakyat. Itu permasalahan utama dari kelangkaan LPG 3 kg ini kalau kita mau jujur,” kritiknya.

Beralihnya masyarakat dari LPG subsidi ke nonsubsidi, akan berdampak pada harga-harga di masyarakat. Ketika pengeluaran masyarakat harus ditambah, maka yang semula bisa saving menjadi tidak bisa saving, yang semula berutang harus menambah utangnya. “Dikuranginya subsidi LPG dan digelontorkan LPG nonsubsidi di tengah masyarakat, pasti akan berdampak kepada ekonomi masyarakat karena akan terjadi kenaikan harga pada kebutuhan yang lainnya”.

Penyebab dari semua ini tidak lain karena kebijakan pemerintah yang terdapat pada sistem yang bukan berdasarkan pada Islam. Melainkan saat ini negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, dimana pasti selalu mencari celah keuntungan dalam hal apapun, walaupun akan merugikan orang lain. Saat sekarang ini pelayanan negara kepada rakyat yang terjadi seperti pelayanan penjual terhadap pembeli (transaksional). Fahrur mencontohkan, subsidi pada 2023 berkurang 12% daripada subsidi pada 2022, sehingga masyarakatlah yang menanggung beban kenaikan harga.
Ketersediaan LPG seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Kelangkaan ini adalah tanda gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Adanya LPG non subsidi dalam waktu yang bersamaan apalagi diklaim lebih aman, jelas memberikan ‘pasar’ pada pengusaha.

Sedangkan di dalam Islam, tentunya memiliki sistem untuk mengelola negara yang tidak akan mempersulit rakyat. Negara dengan penerapan sistem Islam yaitu Khilafah akan memosisikan gas alam, sumber daya alam, minyak bumi itu menjadi milik rakyat, yang pengelolaannya diserahkan kepada negara. Kemudian, dalam sistem Islam itu ada peruntukan dalam hal kepemilikan. Karena “Kepemilikan dalam Islam dibagi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum, termasuk di dalamnya gas bumi, minyak bumi, tidak boleh dimiliki oleh negara yang kemudian dijual kepada rakyat karena pemerintah hanya mengelola saja sementara kepemilikannya milik rakyat,”.
Jika ini dikelola berdasarkan sistem Islam, rakyat hanya dibebani biaya operasional saja sehingga bisa lebih murah. Tidak seperti saat ini menggunakan berbagai aturan yang menguntungkan pemerintah saja. Sistem ekonomi Islam meniscayakan ketersediaannya untuk semua rakyat, dengan harga murah atau gratis, karena Islam mengharuskan pengelolaan SDA oleh negara. Wallahu’alam

Artikel Lainnya

Pupuk Sulit Dicari, Petani Gigit Jari

Satgassus Antikorupsi Polri mengungkapkan berdasarkan temuan pengalaman petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat juga NTT, mereka harus menempuh jarak sekitar 80 km untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Saat memantau pendistribusian pupuk bersubsidi di NTT pada 18-22 Juni 2024. Berdasarkan temuan tersebut, tim tersebut merekomendasikan agar Kementerian Pertanian menetapkan dalam petunjuk teknis (juknis ) jarak maksimal antar kios petani. Satgasus juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan BUMDes dan Koperasi Desa (KUD) sebagai kios yang lokasinya dekat dengan lokasi petani. (Berita Satu, 23 Juni 2024)

Dikutip dari laman Muslimah News, OPINI “Tujuannya ingin menyediakan subsidi, tapi tidak bisa menjadi solusi. Meski ingin membantu petani, tapi malah membuat mereka gigit jari. Akses terhadap pupuk bersubsidi masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Sulit sekali petani harus berjuang untuk mendapatkannya.

Seluruh rangkaian permasalahan itu karena sistem dan kebijakan penguasa yang masih berorientasi pada ideologi kapitalisme. Negara belum serius meriayah sektor pertanian. Berbeda dengan sistem kepemimpinan & kepemerintahan Islam (Khilafah) yang meninjau pentingnya sektor pertanian bagi ketahanan pangan, Khilafah akan berusaha meriayah dengan cara menerapkan berbagai mekanisme untuk membantu usaha dan kehidupan petani agar lebih sejahtera. Pertama, kemandirian bahan baku pupuk. kedua, Negara mendorong semua orang untuk bersekolah menjadi ahli di bidangnya termasuk bertani. Ketiga, negara mendistribusikan pupuk secara merata. Keempat, negara mengakui kondisi lahan mati yang layak dipulihkan melalui pertanian. Bagi pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya dalam jangka waktu 3 tahun.

Sehingga bisa dilihat bagaimana rincinya sistem kepemerintahan dalam Islam yaitu khilafah yang sangat memperhatikan pada sektor pertanian, karena sektor ini merupakan sumber pangan negara. Ketahanan pangan akan terjamin & terwujud jika negara menerapkan sistem Khilafah yang dimana bisa menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *