Pernikahan Menyatukan Perbedaan, Tapi Bukan Agama
Agaknya di negeri ini sesuatu yang berbeda memang menarik untuk terus dikulik. Mulai berbeda pendapat dari rezim dianggap teroris, pilihan gender yang berbeda adalah hak asasi, perayaan hari raya yang sudah jelas sumber dalilnya, hingga pernikahan beda agama yang jelas terlarang dalam agama.
Yang sedang viral, kembali permohonan beda agama dikabulkan, kali ini oleh PN Jakpus. Pemohon JEA yang beragama Kristen hendak menikahi SW seorang muslimah. PN Jakpus mengabulkan permohonan nikah beda agama itu dalam putusan nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Ada banyak alasan yang dikemukakan hingga permohonan dikabulkan, mulai alasan berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis.
Dan sebenarnya sebelum PN Jakarta pusat, ada beberapa pengadilan negeri yang telah merestui pernikahan beda agama ini, yakni PN di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan (detik.com, 25/6/2023). Pengadilan Negara Jakarta Pusat menyatakan bahwa pengabulan permohonan pernikahan beda agama sepenuhnya bergantung pada kebijaksanaan hakim.
Hal ini disampaikan oleh Perwakilan Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jamaludin Samosir bahwa pasangan beda agama memang bisa mendaftarkan pernikahannya di PN Jakarta Pusat dengan mengajukan permohonan izin nikah. “Dibuatkan permohonan terlebih dahulu, lalu diperiksa hakim, nanti bergantung bagaimana kebijaksanaan hakim,” kata Jamaludin.
PN Jakarta Selatan juga telah lebih dahulu mengabulkan permohonan izin nikah untuk pasangan beda agama. Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan mencatat ada empat pernikahan beda agama sepanjang 2022. Keterangan dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan menyebutkan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Dalam penjelasannya, disebutkan yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Kemudian pasal 7 ayat 2 huruf l UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (antaranews.com, 24/6/2023).
Keputusan Hakim Lebih Tinggi dari Syara: Sekulerisme
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mendesak Mahkamah Agung (MA) agar membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengizinkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Menurutnya, hakim di lingkungan MA harus mengacu pada putusan MK yang menolak mengesahkan pernikahan beda agama ( detikNews.com, 30/6/2023).
Yandri menilai putusan PN Jakpus yang mengizinkan pernikahan beda agama bertentangan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam fatwa MUI pada Juli 2005 yang ditandatangani K.H. Ma’ruf Amin, disebutkan pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. “Seharusnya putusan MK dan fatwa MUI ini menjadi rujukan para hakim, termasuk hakim di lingkungan MA,” ujar anggota Komisi VIII DPR RI tersebut.
Yandri menambahkan MUI telah berulang kali melarang pernikahan beda agama berdasarkan syariat Islam. Adapun berdasarkan surat Al Baqarah ayat 221 dan surat Al-Maidah ayat 5, Islam melarang wanita muslimah menikah dengan pria nonmuslim, musyrikin, maupun ahli kitab. Di sisi lain, pria muslim masih diizinkan menikah dengan wanita nonmuslim.
Yandri mengungkapkan putusan PN Jakpus yang mengizinkan pernikahan beda agama akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan mengganggu harmoni sosial di antara umat beragama. Oleh sebab itu, ia mendorong elemen masyarakat untuk menggugat putusan PN Jakpus tersebut ke MA. “Kita minta elemen masyarakat, seperti ormas Islam, untuk menyampaikan gugatan ke MA terkait putusan PN Jakpus yang mengabulkan permohonan nikah beda agama itu,” pungkasnya.
Pernikahan beda agama dikabulkan, bukti negara mengabaikan tuntunan agama
Lebih jauh lagi, dikabulkannya nikah beda agama (laki-laki non muslim dengan muslimah) menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama. Hal ini termasuk pelecehan agama, sebab secara tidak langsung mengakui putusan hakim lebih tinggi daripada syariat. Bukti bahwa negara tidak berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Allah Swt.
Hal ini satu keniscayaan dalam negara yang mengusung sekularisme, jika pemisahan agama disahkan untuk sebuah negara maka begitulah untuk umat atau rakyatnya. Dampak buruknya tak lagi diperhatikan, ibarat haramnya kaum Muslim makan daging babi, demikian pula dengan pernikahan beda agama yang akan melahirkan generasi dengan nasab rusak karena lahir dari status perkawinan yang fasad.
Disyariatkannya wanita Muslim harus menikah dengan pria Muslim semata karena pernikahan itu bukan sekadar bersatunya dua organ berbeda (jima’) tapi keluargalah tempat awal dan ideal bagi pembentukan generasi cemerlang, dengan pria sebagai kepala keluarga, pemimpin dalam keluarganya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“. (QS. At Tahrim: 6).
Bagaimana bisa menyelamatkan keluarganya dari siksa api neraka jika kafir dan jelas secara akidah menolak Allah SWT ada, esa dan Maha Kuasa atas segala sesuatu? Inilah yang sepatutnya menjadi keprihatinan kita, pernikahan beda agama bukan sekadar tren yang harus dimaklumi. Ini adalah bentuk kemunduran berpikir kaum Muslim pada taraf terendah.
Islam Agama dan Peraturan yang Sempurna
Islam adalah Mabda atau ideologi, yang tak hanya mengatur akidah namun juga memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia , yang semuanya bersumber pada aturan Allah dan RasulNya. Tak ada satu pun urusan individu manusia yang terlewat kecuali karena kurangnya penggalian manusia itu sendiri terhadap nash-nash yang menjadi sumber hukum bagi manusia.
Hal itu sangat mungkin terjadi, sebab negara ini mengadopsi sistem aturan sekuler, politiknya demokrasi, ekonominya kapitalisme yang benar-benar menempatkan manusia sebagai sebaik-baiknya pembuat hukum mengalahkan Allah SWT. Maklum dengan segala keterbatasannya tetaplah makluk, tidak akan bisa melihat maslahat bagi dirinya jika tidak tertunjuki oleh Wahyu Allah SWT. Dan melalui pencontohan para Nabi dan RasulNya.
Rasulullah Saw bersabda,” Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Salah satu tugas negara menurut Islam adalah menjaga tegaknya hukum Allah dan menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah.
Sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada Hari Kiamat, apakah mereka telah mengurus mereka dengan baik atau tidak, maka harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib.
Termasuk mengurusi pernikahan, jika Muslim maka wajib tunduk kepada syariat dan negara yang memastikan itu. Dengan pemberian sanksi yang tegas jika ada pelanggaran. Negara juga akan memberikan edukasi terkait pernikahan, tujuan, esensi dan visi misi menikah. Pelajaran ini masuk ke dalam kurikulum pelajaran, sebab hanya melalui pendidikan yang benar bisa di dapatkan pemahaman yang benar pula.
Kurikulum diberikan bagi semua jenjang pendidikan, baik sekolah negara maupun milik pribadi. Namun, negara tidak akan mengurusi urusan akidah, pernikahan, makanan dan minuman bagi agama lain. Dengan makna, itu masuk dalam ranah akidah masyarakat non Muslim. Demikianlah pengaturan negara kepada urusan rakyatnya, namun hal itu tidak akan terjadi jika kita masih menggenggam sekulerisme seolah itu adalah pilihan terbaik.
Bukankah Allah SWT berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS Al Maidah:50). Wallahu a’lam bish showab.
Komentar