Islam Menutup Pintu Prostitusi, Selamanya.

 

 

Saritem, adalah sebuah nama yang melekat dengan Kota Bandung. Sebuah lokalisasi yang kabarnya telah berdiri sejak 1838, yakni pada masa kolonial Belanda (Buku ‘Saritem Uncensored’ karya Wakhudin). Meski demikian, banyak orang meragukan kebenaran data tersebut. Tetapi sejak 2007, Saritem telah resmi ditutup.

 

Saritem lahir dari sebuah fenomena ‘gundik’ di tangsi militer yang ada di kawasan Gardu Jati yang saat ini dikenal sebagai kawasan Saritem, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Gundik tentu bukan istilah yang bagus, ia adalah sebutan bagi perempuan yang tinggal bersama dengan pria. Nyai Saritem kala itu tinggal dengan pria militer Belanda.

 

Nyai Saritem tidak sendiri, ia pun kemudian merekrut banyak perempuan dari Indramayu dan Sumedang, sehingga di sana berkembang menjadi tempat lokalisasi. Tentu bukan prestasi, apalagi Nyai Saritem akhirnya menjadi ikon prostitusi terkenal di Bandung.

 

Namun beberapa waktu lalu, Saritem telah kedatangan Satreskrim Polrestabes Bandung. Dari sana diamankan puluhan pekerja seks komersial (PSK), saat razia pada Kamis (18/5/2023) malam.
“Tim bergerak pada pukul 22.00 WIB kemarin dan berhasil ditangkap dua pelaku muncikari dan 29 perempuan sebagai PSK,” ujar Kapolrestabes Bandung, Kombes Budi Sartono, di Mapolrestabes Bandung, Jumat (19/5/2023). (Tribunjabar.id, 19/5/2023)

 

Kedua muncikari itu dijerat UU Nomor 21 Tahun 2007 yang mengatur tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan juga Pasal 209 KUHP dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Sedangkan puluhan PSK dikembalikan ke dinas sosial, untuk mendapatkan pelatihan agar mereka mampu berkarya dengan cara yang baik, di tengah masyarakat. Lokalisasi legendaris dan tertua di Ibukota Jawa Barat ini pun untuk ke sekian kali, kembali menemui ajalnya. Tapi benarkah demikian?

Sekularisme Melanggengkan Prostitusi

Ternyata aktivitas Saritem tidak benar-benar berhenti. Meski telah dinyatakan ditutup pada 2017 lalu, kawasan tersebut masih beroperasi secara diam-diam. Ancaman pasal-pasal, yang akan menjerat para muncikari, tidak menjadikan mereka takut atau jera. Begitupun halnya dengan para PSK, mereka melakukan aktivitas haramnya, setelah menyelesaikan pelatihan di panti atau Dinas Sosial. Persanksian yang tidak tegas, membuat mereka terus mengulangi bisnis haram tersebut.

 

Sebagian masyarakat sekitar ada yang menolak, tetapi ada pula yang diam-diam mendukung, dengan cara menyewakan rumahnya sebagai tempat prostitusi. Mereka turut melanggengkan aktivitas kemungkaran. Bahkan tubuh manusiapun dijadikan sebagai obyek untuk mendatangkan uang. Kehidupan mereka jauh dari tuntunan Allah SWT.

 

Hal ini sesuai dengan paradigma sekularisme yang meniadakan peran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya ideologi ini tidak memiliki nilai haram dan halal sebagai tolok ukur perbuatan. Selama sebuah aktivitas dapat mendatangkan materi, maka akan terus dikerjakan. Pada alam sekularisme, para pelaku tidak menutup-nutupi perbuatannya. Mereka terang-terangan bermaksiat, tidak lagi malu atau takut dihukum.

 

Bahkan negara sebagai institusi tertinggi pun, tidak meriayah rakyat sesuai perintah dan larangan Allah SWT, sehingga tampak setengah hati memberantas bisnis haram ini. Maka tak heran, Saritem hanya sekejap tidak beroperasi, tatkala terjadi razia. Tapi tak lama kemudian, aktivitas mereka akan kembali berjalan. Dan itu terjadi berkali-kali. Hal ini menunjukkan bahwa sekularisme tidak mampu memberantas praktik kemaksiatan.

 

Islam Memberantas Prostitusi

Fenomena akhir zaman menampilkan kerusakan tak terhingga, di berbagai sisi. Termasuk di antaranya merebaknya perzinaan. Sementara hal tersebut sangat dimurkai Allah SWT sebagaimana hadis berikut:
ما ظهرَ في قومٍ الزِّنا والرِّبا ؛ إلَّا أحلُّوا بأنفسِهِم عذابَ اللهِ

Manakala zina dan riba merebak di suatu negeri, itu artinya mereka sedang mengundang azab Allah.” (HR Ahmad, no. 3809, Ibnu Hibban, no. 4410)

 

Maka diperlukan penerapan aturan Allah, untuk menggantikan sekularisme yang tidak mampu mengatasi kerusakan. Suasana keimanan akan terbentuk, ketika masyarakat hidup di bawah naungan Islam. Masyarakat enggan bermaksiat sebab tidak ada satu celahpun peluang terjadinya pelanggaran syariat. Negara menutupnya dengan penerapan Islam kaffah.

 

Dalam Islam, negara wajib menjaga sistem sosial. Berbagai kebijakan dan persanksian, dikenakan untuk menjaga interaksi antara pria dan wanita. Bagi pelanggar hukum Allah yaitu pelaku zina, tidak cukup hanya diberi pelatihan di panti atau Dinas Sosial. Tetapi mereka akan mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS An-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR Al-Bukhari). Adapun pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina, dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati.

 

Tidak hanya itu, negara pun menerapkan cara-cara preventif, yaitu dengan mengatur sistem pergaulan, tata cara berpakaian dan menutup aurat, serta memberangus berbagai bentuk tindakan atau tayangan pornografi dan pornoaksi yang akan memicu gharizah nau’. Masyarakat akan memiliki pemahaman yang kuat terhadap Islam, tidak akan tinggal diam, ketika kemaksiatan terjadi di dalam kehidupan mereka. Alhasil para pelaku maksiatpun malu dan takut terhadap penghakiman yang dilakukan oleh masyarakat.

 

Dari sini akan terbentuk suasana keimanan. Masyarakat terdorong berprestasi, dengan menjaga perbuatannya sesuai petunjuk Allah SWT. Pun akan lahir ‘khairu ummah’ yaitu umat terbaik, hasil dari penerapan Islam kaffah. Islam adalah satu-satunya solusi hakiki, bagi seluruh permasalahan umat. Allahumma ahyanaa bil Islam.

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *