Ketahanan Pangan di Indonesia Lemah, Siapa yang Bikin Ulah?

Dilansir dari Katadata.co.id, Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional mengatakan,  swasembada pangan merupakan tantangan besar. Negara hanya mengucurkan 0,6% dari total anggaran negara untuk bidang pangan. Untuk itu, ketersediaan pasokan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Kualitas nutrisi juga hanya mendapat skor 56,2, sedangkan keberlanjutan dan adaptasi skornya 46,3. Di tiga indikator ini, ketahanan pangan Indonesia dinilai lemah dan juga lebih buruk dibanding rata-rata negara Asia Pasifik.

“Pangan merupakan hidup matinya suatu bangsa. Kebutuhan pangan masyarakat harus dipenuhi dengan cara besar-besaran dan revolusi, sehingga tidak menimbulkan malapetaka,” seru Arief dalam keterangan resmi dari Arifin Panigoro. 

Ketahanan pangan di Indonesia bisa menjadi lemah, pasti karena ada yang membuat ulah. Yaitu karena Indonesia masih menggunakan sistem kapitalisme yang memakai paradigma batil neoliberal untuk mengolah pangan dan pertanian. Menurut sistem kapitalisme paradigma neoliberal ini dapat meningkatkan laba dan akumulasi kinerja, kemudian paradigma ini telah meminimalisasi peran pemerintah atau negara dalam mengurusi hajat rakyat.

 

Kehadiran pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi yang justru semakin memudahkan jalan swasta atau asing menguasai rantai pasok bahan pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi.

 

Inilah pengaturan dari sistem kapitalisme yang berorientasi hanya pada profit bukan kemaslahatan masyarakat. Maka harapan swasembada pangan yang saat ini dilakukan oleh sistem kapitalisme itu jauh berbeda dengan pengelolaan yang dilakukan oleh sistem Islam.

 

Islam memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan pangan yaitu mempunyai visi terwujudnya swasembada pangan atau kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan dalam hal fisik. Islam memandang pangan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara maka negara akan melakukan beragam upaya untuk merealisasikannya seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian yaitu melalui ekstensifikasi pertanian.

 

Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati, dalam Islam tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas diproduktifkan. Kemudian bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduksikannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasulullah Saw bersabda “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).

Bila terdapat tanah yang diterlantarkan pemiliknya selama 3 tahun maka hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang, negara akan mengambil alih lalu mendistribusikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya dengan begitu tak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa ada pemanfaatannya untuk kemaslahatan rakyat.

Abdurrahman Al-maliki dalam kitabnya tentang politik ekonomi Islam menjelaskan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian harus melakukan kebijakan intensifikasi pertanian yakni optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian. Bisa melalui peningkatan kualitas benih, penggunaan obat-obatan, pemanfaatan teknologi dengan mengibarkan teknik-teknik modern lengan para petani yang membantu pengadaan benih, serta budidayanya.
Negara juga akan memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai hutang. Supaya mereka dapat membeli apa yang mereka butuhkan seperti peralatan bumi dan obat-obatan untuk meningkatkan produksi serta mendorong mereka agar mampu membeli semua itu dengan dorongan yang efektif dan efisien.

 

Semua aspek itu akan mendapat dukungan dan fasilitas dari negara dalam hal menjamin pasokan pangan.
Islam akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Negara akan melarang penimbunan, penipuan praktek ribawi dan monopoli kebijakan pengendalian harga yang dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan suplai and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

 

Kemudian dalam hal ekspor impor Islam akan melihat dan memperhatikan sejauh mana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan ketika pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri.
Perdagangan luar negeri ini dalam pandangan Islam tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Bila negara Kafir Harbi, diperbolehkan melakukan perdagangan dengan negara Islam dengan khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka, kecuali Harbi Fi’lan yang tidak boleh ada hubungan perdagangan dengan mereka sama sekali. Seperti Israel, Amerika Serikat, Inggris dan Rusia.

Adapun warga negara Kafir Mu’ahad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara negara Islam dengan negara mereka. Sementara warga negara Islam baik Muslim maupun non Muslim ahlul  adz-dzimmah bebas melakukan perdagangan baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Islam.

 

Demikianlah Islam memberikan seperangkat sistem yang komprehensif dalam mengatasi pangan, karena hanya dengan sistem Islamlah bisa terwujud kemandirian pangan. Wallahu a’lam bish showab

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *