Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK, Bukti Negara Makin Tak Berdaya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas khusus untuk memberantas korupsi di tanah air. Namun sayang, kini keberadaannya justru memberikan sinyal tak baik di tengah publik. Kabar terbaru, Mahkamah Konstitusi justru menetapkan keputusan yang menuai kontroversi, mengenai kebijakan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Negara ini tampak makin nyeleneh. Segala keputusannya terlalu sering menuai kontroversi. Siapa diuntungkan dan siapa yang dirugikan?
Demokrasi Kapitalistik, Penyelewengan Kekuasaan Hanya Demi Materi
Kritikan publik membanjiri keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah masa jabatan pemimpin KPK. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun, yang sebelumnya empat tahun (CNNIndonesia.com, 26/5/2023). Berdasarkan putusan tersebut, otomatis, Firli Bahuri cs. mendapatkan tambahan waktu hingga Desember 2024. Tentu saja, keputusan ini menuai kritik tajam para aktivis anti korupsi, mantan penyidik KPK hingga anggota DPR.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI), Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengungkapkan, keputusan ini merupakan keputusan yang tak masuk akal. Berbagai kalangan pun mengungkapkan bahwa putusan MK kental dengan nuansa politis (CNNIndonesia.com, 26/5/2023). Tak hanya itu, keputusan MK tersebut telah melanggar etika prinsip keadilan, nasionalitas atau diskriminatif.
Denny Indrayana, Pakar Hukum Tata Negara, menyebutkan bahwa putusan ini lebih kental nuansa politis dalam rangka mensukseskan pemenangan pilpres 2024. Denny menduga bahwa masa perpanjangan pimpinan KPK ditujukan untuk menutupi sejumlah kasus di KPK hingga pilpres 2024 rampung (CNNIndonesia.com, 26/5/2023). Pernyataan ini berarti bahwa adanya penutupan berbagai kasus korupsi di KPK melalui perpanjangan masa jabatan KPK. Dan hal ini patut dicurigai. Karena keputusan ini bersamaan dengan adanya isu gratifikasi seks yang menimpa Ketua KPK. Ditambah lagi, ketetapan 4 tahun ini agar pemerintah diawasi oleh 2 periode KPK sebagai bentuk check and balance.
Buruknya fakta pemerintahan sistem demokrasi kian mengancam kehidupan masyarakat. Jabatan dan kekuasaan seringkali tergadaikan oleh kepentingan tertentu. Sistem ini melegalkan kekuasaan kepada para calon penguasa dengan syarat mereka mendapatkan suara mayoritas. Tanpa peduli kapasitas calon pemimpinnya.
Sementara untuk memenangkan pemilu membutuhkan dana luar biasa agar lolos dalam kompetisi. Wajar saja, saat kesempatan ini menjadi celah bagi para sponsor untuk terlibat dalam pendanaan para calon pemimpin. Tak heran, saat terpilih, para pemimpin tersebut berusaha keras untuk mengembalikan modal pemilihan. Apapun caranya, tak peduli jalan yang ditempuh adalah jalan haram, yaitu korupsi. Selanjutnya uang korupsi ini akan digunakan lagi untuk pemilihan selanjutnya.
Jelaslah, demokrasi hanyalah jalan untuk memuaskan nafsu kekuasaan saja. Demi mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Kekuasaan pun tak digunakan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Inilah kesalahan sistemik yang diemban sistem demokrasi kapitalistik. Alhasil, sistem ini pun menjadikan negara mandul dalam menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat.
Sistem Islam, Meluruskan Fungsi Kekuasaan
Sistem Islam memiliki konsep yang khas dalam hal kekuasaan pemimpin. Paradigma Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah sarana untuk mengurusi seluruh kepentingan umat. Sistem pemerintahan berdasarkan Islam, yaitu Khilafah, menjadikan setiap kepentingan umat adalah amanah yang harus dijaga. Pengurusannya diatur dalam politik Islam. Yakni menyandarkan seluruh urusan umat hanya pada hukum syariat Islam. Bukan yang lain.
Kekuasaan yang ada pada diri pemimpin digunakan secara adil untuk melayani kepentingan rakyat. Sesuai firman Allah SWT yang artinya. “Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).”(QS. Al-Isra’ :80)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, mengutip dari Qatadah untuk menjelaskan ayat tersebut. “Nabi SAW menyadari bahwa Beliau tak memiliki daya untuk menegakkan agama kecuali dengan kekuasaan, karena itulah Beliau meminta kekuasaan agar dapat menolong Kitabullah, menegakkan batasan-batasan hukum Allah SWT. , menjalankan semua kefardhuan dari Allah SWT. dan menjalankan agama Allah SWT.”
Kekuasaan dalam Islam tak bisa dipisahkan dari akidah dan syariah. Karena hanya dengan akidah dan syariah-lah, kekuasaan dapat terjaga fungsinya dengan sempurna. Yaitu mengurusi seluruh urusan umat tanpa menzalimi umat sedikitpun. Karena hakikat kekuasaan yang sesungguhnya adalah kekuatan untuk mengurusi umat dan melayani seluruh kebutuhannya. Demi ditegakkannya seluruh perintah Allah SWT.
Dan hanya sistem Islamlah yang mampu menjadi wasilah untuk menegakkan makna kekuasaan yang benar. Didasari iman takwa para pemimpinnya. Demi rida Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar