Kemiskinan Ekstrem, Kado Pahit Kapitalisme
Kemiskinan ekstrem atau kemiskinan absolut adalah sejenis kemiskinan yang didefinisikan oleh PBB sebagai suatu kondisi tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Mengutip World Population Review, Indonesia masuk dalam urutan ke 73 negara termiskin di dunia.
Pendapatan nasional bruto tercatat US$3, 870 perkapita pada 2020. Sebelumnya Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis kemiskinan. Hal inilah yang membuat 13 juta warga Indonesia yang sebelumnya masuk golongan menengah bawah menjadi jatuh miskin. Basis perhitungan terbaru mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada 2017.
Batas garis kemiskinan Bank Dunia tersebut tentu berbeda dengan acuan BPS (Badan Pusat Statistik). Dalam basis perhitungan terbaru, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$1, 9 menjadi US$2, 15 perkapita perhari. Dengan asumsi kurs Rp 15,216 per dollar AS maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp 32.812 perkapita perhari atau Rp 984.360 perkapita per bulan.
Sementara BPS mengartikan batas garis kemiskinan sebagai cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan baik kebutuhan makanan atau non makanan. Garis kemiskinan yang digunakan BPS pada Maret 2022 tercatat Rp 505.469 perkapita perbulan atau sama dengan Rp 16.849 perhari (CNN Indonesia.com, 30/11/2022).
Presiden Joko Widodo dalam rapat bersama sejumlah jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju pada 18 November 2021 lalu di Istana Kepresidenan, menargetkan angka kemiskinan ekstrem di tanah air dapat mencapai nol persen pada tahun 2024 mendatang. Ini merupakan target ambisius pemerintahan Presiden Joko Widodo mengingat akan berakhir masa jabatannya di tahun itu.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa pada tahun 2021 pengentasan kemiskinan difokuskan pada 35 kabupaten/kota di 7 provinsi seluruh Indonesia. Sedangkan pada tahun 2022, pemerintah menetapkan sebanyak 211 kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan ekstrem diperkirakan berada di angka 3-3,5 persen.
Dan di tahun 2023-2024 di 514 kabupaten/kota prioritas dan tingkat kemiskinan ekstrem di 2,3 sampai 3 persen. Dan di tahun 2024 kemiskinan ekstremnya nol persen (Kominfo.go.id, 18/11/2021). Untuk mencapai target tersebut tentu bukan hal yang mudah. Oleh sebab itu Presiden Joko Widodo kembali mengadakan rapat terbatas (ratas) di Istana Negara, Jakarta pada Senin (20/2/2023).
Usai rapat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan penurunan kemiskinan 0 % akan diupayakan pada tahun 2024 yang berarti keseluruhan total kemiskinan akan menurun, dan kebutuhan pendanaannya akan diprioritaskan pada tahun ini dan tahun depan. Salah satu bentuk pendanaannya tentu saja dari sisi investasi.
Menurut Sri, pemerintah perlu meningkatkan dukungan agar investasi meningkat secara signifikan melalui perubahan regulasi yang telah dicapai sehingga tahun 2024 difokuskan hanya untuk melaksanakan UU Cipta Kerja, UU P2SK, UU HPP, dan UU HKPD. Selain itu Sri menyatakan pihaknya juga akan menggunakan insentif fiskal dalam bentuk tax holiday, super deducation untuk penelitian, vokasi, dan juga tax allowence.
Ini dilakukan dalam rangka mendukung berbagai transformasi industri terutama yang berbasis pada sumber daya alam (SDA) untuk memperkuat ekosistem industri otomotif yang berbasiskan elektrik dan baterai. Di samping itu pemerintah terus fokus pada pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dari perekonomian (IDX Channel.com, 20/2/2023).
Ekonom dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai upaya mengejar angka nol persen kemiskinan ekstrem di tahun 2024 tidaklah mudah karena merupakan tahun transisi pemerintahan lama ke pemerintahan baru, sehingga upaya ini akan tergantung pada bagaimana proses dari transisi politik tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira bahkan mengatakan kemiskinan ekstrem akan sulit ditekan karena masalah kerak kemiskinan bersifat struktural, seperti akses pendidikan hingga kesehatan. Di sisi lain, siklus ekonomi baru saja melalui proses pemulihan selepas pandemi Covid-19. Dimana lapangan kerja tidak dalam kondisi optimal. Masalah pengendalian inflasi turut membuat penurunan angka kemiskinan ekstrem lebih menantang. (CNN Indonesia.com, 23/2/2023).
Akar masalah dari kemiskinan ekstrem di negara ini ada pada sistem ekonomi kapitalis, bahkan Indonesia cenderung lebih kapitalis dibandingkan dengan negara kapitalis itu sendiri. Dan salah satu pilar dari ekonomi kapitalis adalah liberalisasi atau swastanisasi. Bisa dilihat bahwa pengelolaan sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang (oligarki).
Para oligarki bahkan berpesta pora sementara aktivitas negara dibiayai oleh rakyat melalui beragam pungutan atau yang lebih dikenal dengan sebutan pajak. Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang meningkat di tahun ini rupanya ditopang oleh investasi yang sebagian besar dalam bentuk utang dan kenaikan SDA. Namun lagi-lagi yang menikmatinya hanyalah para oligarki dan kapitalis.
Kapitalisme selalu memberikan kado pahit berupa kemiskinan ekstrem. Indonesia yang memiliki beragam SDA, baik yang tidak bisa diperbaharui seperti minyak bumi, gas alam, emas, baru bara dan lainnya maupun SDA yang bisa terus diperbaharui seperti energi panas bumi harus bertekuk lutut pada kemiskinan ekstrem yang melanda hampir di seluruh wilayahnya.
Sejak masa orde baru hingga pemerintahan hari ini, kekayaan alam Indonesia diserahkan secara sukarela ke tangan swasta dan asing. Dan didukung dengan berbagai produk undang-undang seperti UU Minerba, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Cipta Kerja dan masih banyak lagi. Seluruh produk undang-undang ini bahkan disahkan oleh para wakil rakyat tanpa adanya upaya tegas untuk mencegahnya.
Semua ini dilandaskan pada kepercayaan penguasa dan pemimpin negara ini pada sistem ekonomi kapitalis yang liberal dan mekanisme pasar global. Ditambah lagi dengan mental korup para oknum politisi yang hanya memikirkan kepentingan pribadi maupun golongannya saja padahal keberadaan mereka karena dipilih untuk mewakili kepentingan masyarakat.
Rakyat hanya disisakan bantuan kecil yang tidak ada nilainya. Jangankan untuk mengentaskan diri dari kemiskinan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pun tidak mampu. Rakyat semakin dikerdilkan dengan pungutan pajak yang tinggi, distribusi barang yang tidak merata sehingga melambungkan harga bahan pokok, insfratruktur pun dibangun seadanya.
Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau turut menyumbang beban ekonomi rakyat yang morat-marit. Meningkatnya angka pengangguran tiap tahun tanpa ada pembukaan lapangan kerja juga semakin menambah derita rakyat. Kata sejahtera dan makmur hanya menjadi janji manis para wakil rakyat yang tak pernah terealisasi.
Berbeda dengan Islam yang memiliki sistem ekonomi yang khas. Perekonomian Islam menghasilkan kestabilan ekonomi yang jauh dari krisis dan tumbuh secara hakiki dan berpengaruh riil terhadap taraf hidup masyarakat. Ini terbukti selama hampir 13 abad ketika Islam dijadikan sebagai ideologi sekaligus mabda dalam mengurus kepentingan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.
Islam mencanangkan ukuran kesejahteraan sampai pada level individu bukan perkapita seperti sistem ekonomi kapitalis. Kesejahteraan dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap individu masyarakat. Dan kesejahteraan ini dikarenakan penerapan sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam menata sistem fiskal yang tidak bertumpu pada pajak dan utang luar negeri dalam pembiayaan negara. Sistem ini akan meniadakan sektor non riil, dengan begitu semua perputaran uang akan berdampak pada perputaran roda perekonomian riil. Hal ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi rakyat secara nyata dan hakiki, tidak lagi semu.
Pertumbuhan akan bisa dilihat pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kestabilan ekonomi akan diperkokoh lagi dengan sistem moneter Islam dengan memberlakukan mata uang yang berbasis pada emas dan perak (dinar dan dirham). Karena mata uang ini memiliki nilai intrinsik sehingga nilainya stabil.
Mata uang benar-benar difungsikan sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang bisa menjadi bulan-bulanan para spekulan. Ini akan melahirkan negara independen yang tidak bisa dihegemoni oleh negara manapun. Pada akhirnya akan menghasilkan kemakmuran rakyat. Dan kemakmuran rakyat ini akan semakin besar dengan sistem keuangan yang berbasis pada Baitul Mal.
Baitul Mal adalah institusi (lembaga) negara yang fungsinya untuk menyimpan pemasukan negara dan sekaligus tempat pengeluarannya. Sistem keuangan Baitul Mal dibagi menjadi 3 pos pemasukan yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos kepemilikan individu. Pada pos kepemilikan umum diperoleh dari pengelolaan SDA milik umum seperti pertambangan, kekayaan laut, hutan, dan aset lainnya.
Negara bertugas hanya sebagai pengelola saja, dimana hasilnya dikembalikan 100 persen untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat secara layak. Negara diharamkan untuk melakukan privatisasi terhadap SDA milik umum apalagi menyerahkannya pada swasta asing maupun lokal. Karena itu perolehan dari kekayaan alam akan menjadi exit strategy ketika terjadi krisis ekonomi.
SDA yang dikuasai oleh negara juga berpotensi menyerap tenaga kerja yang sangat besar karena merupakan industri berat yang membutuhkan banyak tenaga ahli dan terampil. Tentunya hal ini akan membuka lapangan pekerjaan sangat besar sehingga mampu mengatasi masalah pengangguran sebagaimana yang terjadi saat ini.
Sedangkan pos kepemilikan negara berasal dari fa’i, kharaj, dan zakat yang pembelanjaannya sudah ditetapkan oleh syariat Islam. Dan pos kepemilikan individu adalah sumber pemasukan bagi rakyat sebagai hasil dari aktivitas individu, baik diperoleh dari bekerja, harta warisan dan lain sebagainya.
Jadi, penerapan sistem ekonomi Islam secara total akan memberikan kestabilan dan kemakmuran kepada seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim. Dan hal ini akan terjadi apabila negara mengganti sistem kapitalisme menjadi sistem Islam dalam institusi Daulah Khilafah yang terbukti mampu memberikan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran serta keamanan selama berabad lamanya. Wallahu’alam bi shawab
Komentar