Bagi-bagi Amplop (Lagi) Kesejahteraan Bakal Klop?
Setelah cukup lama tidak ada berita kepala negara kita bagi-bagi sesuatu di jalan, hari ini salah satu tajuk berita media nasional memberitakan Jan Ethes dan Jokowi di Pasar Gede tampak membagikan amplop dari dalam mobil. Namun, saat di Pasar Gading dan Nusukan, kakek dan cucu itu turun dari mobil dan berjalan membagikan amplop berisi uang Rp 250 ribu. Selain membagikan amplop, Jan Ethes juga membagikan hampers yang berisi tiga gelas kecil kepada warga (detik.com, 8/4/2023).
Diberitakan amplop itu berisi uang dan sembako serta dibagikan di tiga Pasar di Kota Solo, yaitu di depan Pasar Gede, Gading dan Nusukan. Binar bahagia terlihat terpancar dari para tukang becak di pasar itu, ada yang berencana akan pergi berbelanja dengan istrinya menggunakan uang pembagian. Betapa polosnya rakyat ini, namun sekaligus juga miris. Negara kaya raya, merekalah pemilik sejati kekayaan itu, namun harus cukup dengan pembagian uang senilai Rp250. 000, padahal biaya lain-lainnya jika diincludekan seperti biaya air, kesehatan, pendidikan, BBM sangat-sangat zalim, karena jumlahnya lebih dari nominal yang dibagikan presiden. Dan mereka tanggung sendiri.
Tak sekali dua, kepala negara berbagi sembako, amplop berisi uang dan lainnya. Seolah tak peduli apakah membuat macet, rakyat tercukupi atau terhibur atau lainnya namun tak pernah bosan terus menerus diulang. Luka hati rakyat terobati, seolah inilah pemimpin yang baik hati dan merakyat. Padahal di sisi dan waktu lain, ia juga yang mengetok palu Perpres Cipta Kerja yang menciptakan polemik.
Bahkan menyetujui impor beras, setelah sebelumnya mengatakan stop impor bahkan mendorong warga +62 untuk mencintai produk dalam negeri. Yang meminta rakyat Indonesia untuk tidak mencampurkan antara olahraga dan politik, yang ngotot IKN tetap dilanjut meski APBN babak belur dan lain sebagainya. Entah sumber dana darimana namun yang namanya kesejahteraan tidak cukup hanya dengan berbagai di jalanan.
Sejahtera adalah kewajiban negara kepada rakyatnya untuk dipenuhi. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,” Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan , pendidikan dan keamanan berada 100 persen dalam jaminan negara. Dan itu butuh sebuah sistem yang baku, yang bersih dari kepentingan manusia.
Sementara hari ini, rakyat masih begitu butuh pemberian tak seberapa hingga rela berebut dan bertaruh nyawa, bukankah ini pertanda mereka masih kekurangan? Dan bisa juga hanya rakyat yang berada pada area terdekat dari pembagian yang menerima bingkisan tersebut, sementara di tempat lain tidak, padahal bisa jadi beban hidup mereka sama beratnya dengan yang kini sudah mendapatkan pembagian.
Inilah watak sistem kapitalisme yang dipraktikkan oleh negara, menghilangkan peran negara dalam mengurusi urusan umat, dan memberikan jalan seluas mungkin kepada swasta atau korporasi untuk menggantikan peran negara tersebut, alhasil, setiap kebutuhan dasar rakyat dihargai, semakin berkualitas pelayanan semakin mahal harganya, di bidang kesehatan saja hingga muncul istilah orang miskin dilarang sakit.
Mengapa muncul istilah itu, karena yang mendominasi pelayanan para korporasi itu adalah bagaimana mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari rakyat. Berbagai kebutuhan pokok dikapitalisasi alias dihargai dengan harga yang tidak semua individu rakyat bisa memenuhinya.
Maka, dalam Islam, pengaturannya adalah mewajibkan setiap pria atau kepala keluarga untuk menafkahi keluarga dan kerabatnya, sehingga negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan, maupun pendidikan dan pelatihan, pemberian modal dan lain sebagainya agar individu rakyat bisa bekerja sesuai passionnya. Negara tidak mewajibkan wanita bekerja, jika seorang perempuan tidak memiliki wali yang bisa menjamin hidupnya negara akan memberinya santunan atau bantuan.
Negara akan mengelola secara profesional berbagai kekayaan alam yang statusnya adalah kepemilikan umum dan negara. Dari sinilah BUMN negara akan membutuhkan tenaga manusia yang sangat banyak, lowongan pekerjaan akan banyak seiring dengan adanya peningkatan kemakmuran. Salah satu struktur negara adalah karena ada Baitul Maal, lembaga milik negara yang bak urat nadi perekonomian negara. Menghidupkan kembali keterpurukan pasc pandemi. Negara pun tidak akan meratifikasi kesepakatan internasional apapun, sebab jelas-jelas kesepakatan itu bertentangan dengan syariat Islam.
Dengan mekanisme yang berurutan dan bersumber dari Wahyu Allah , jelas akan mampu memberikan kesejahteraan menyeluruh tidak terkotak-kotak. Kapitalisme lahir dari paham sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Pada praktiknya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, termasuk menjadikan rakyat sendiri sebagai obyek pendapatan. Maka pertanyaannya sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? “ (Qs Al-Maidah:50). Wallahu a’lam bish showab.
Komentar